Mansur
Al-Hallaj
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Husain ibn Mansur al-Hallaj atau biasa
disebut dengan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan
di kota Thur yang bercorak
Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada
tanggal 26 Maret
866M. Ia merupakan seorang keturuna Persia. Kakeknya adalah
seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Al-Hallaj merupakan
syekh sufi abad ke-9
dan ke-10
yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: "Akulah
Kebenaran", ucapan yang membuatnya dieksekusi secara brutal.
Bagi sebagian ulama islam, kematian ini dijustifikasi
dengan alasan bid'ah,
sebab Islam tidak menerima pandangan bahwa seorang manusia bisa bersatu dengan Allah dan karena Kebenaran
(Al-Haqq) adalah salah satu nama Allah, maka ini berarti bahwa al-Hallaj
menyatakan ketuhanannya sendiri. Kaum sufi sejaman dengan al-Hallaj juga
terkejut oleh pernyataannya, karena mereka yakin bahwa seorang sufi semestinya
tidak boleh mengungkapkan segenap pengalaman batiniahnya kepada orang lain.
Mereka berpandangan bahwa al-Hallaj tidak mampu menyembunyikan berbagai misteri
atau rahasia Ilahi, dan eksekusi atas dirinya adalah akibat dari kemurkaan
Allah lantaran ia telah mengungkapkan segenap kerahasiaan tersebut
Meskipun al-Hallaj tidak punya banyak pendukung di
kalangan kaum sufi sezamannya, hampir semua syekh sufi sesungguhnya memuji
dirinya dan berbagai pelajaran yang diajarkannya. Aththar, dalam karyanya
Tadzkirah al-Awliya, menyuguhkan kepada kita banyak legenda seputar al-Hallaj.
Dalam komentarnya, ia menyatakan, "Saya heran bahwa kita bisa menerima
semak belukar terbakar (yakni, mengacu pada percakapan Allah dengan nabi Musa as) yang
menyatakan Aku adalah Allah, serta meyakini bahwa kata-kata itu adalah
kata-kata Allah, tapi kita tidak bisa menerima ucapan al-Hallaj, 'Akulah
Kebenaran', padahal itu kata-kata Allah sendiri!". Di dalam syair
epiknya, Matsnawi, Rumi mengatakan, "Kata-kata
'Akulah Kebenaran' adalah pancaran cahaya di bibir Manshur, sementara Akulah
Tuhan yang berasal dari Fir'aun
adalah kezaliman."
Kehidupan Al-Hallaj
Masa kanak-kanak
Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di
kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 866M. Berbeda dengan keyakinan umum, ia
bukan orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut
Zoroaster dan ayahnya memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang
penggaru kapas (penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan
kapas dari bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai
pusat tekstil pada masa itu, kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat
Iran, dekat dengan
pusat-pusat penting seperti Bagdad,
Bashrah,
dan Kufah.
Pada masa itu, orang-orang Arab menguasai kawasan ini, dan kepindahan
keluarganya berarti mencabut, sampai batas tertentu, akar budaya al-Hallaj.
Masa remaja
Di usia sangat muda, ia mulai mempelajari tata bahasa Arab,
membaca Al-Qur'an
dan tafsir
serta teologi.
Ketika berusia 16 tahun, ia merampungkan studinya, tapi merasakan kebutuhan
untuk menginternalisasikan apa yang telah dipelajarinya. Seorang pamannya
bercerita kepadanya tentang Sahl at-Tustari, seorang
sufi berani dan independen yang menurut hemat pamannya, menyebarkan ruh hakiki
Islam. Sahl adalah seorang sufi yang mempunyai kedudukan spiritual tinggi dan
terkenal karena tafsir Al-Qur'annya. Ia mengamalkan secara ketat tradisi Nabi dan praktik-praktik
kezuhudan keras semisal puasa
dan salat sunnat
sekitar empat ratus rakaat sehari. Al-Hallaj pindah ke Tustar untuk berkhidmat
dan mengabdi kepada sufi ini.
Dua tahun kemudian, al-Hallaj tiba-tiba meninggalkan Sahl
dan pindah ke Bashrah.
Di Bashrah, ia berjumpa dengan Amr al-Makki yang secara
formal mentahbiskannya dalam tasawuf.
Amr adalah murid Junaid, seorang sufi
paling berpengaruh saat itu. Al-Hallaj bergaul dengn Amr selama delapan belas
bulan. Akhirnya ia meninggalkan Amr juga.
Ibadah haji
Pada tahun 892M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Kaum Muslimin
diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya sekali selama hidup (bagi
mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa,
melainkan berlangsung selama setahun penuh, dan setiap hari dihabiskannya
dengan puasa dari siang hingga malam hari. Tujuan al-Hallaj melakukan praktik
kezuhudan keras seperti ini adalah menyucikan hatinya menundukkannya kepada
Kehendak Ilahi sedemikian rupa agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi
oleh Allah. Ia pulang dari menunaikan ibadah haji dengan membawa
pikiran-pikiran baru tentang berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia
membahas pikiran-pikiran ini dengan para sufi lainnya. Diantaranya adalah Amr
al-Makki dan juga Junaid.
Menjadi guru
Usai membahas pemikirannya dengan sufi-sufi lain, banyak
reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj yang kemudian
memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika al-Hallaj kembali ke
Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan menarik sejumlah besar murid.
Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Walhasil, hubungan
merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau mengakuinya. Ia
pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik iparnya, yang masih setia
kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan meraih keberhasilan gemilang. Akan
tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa melupakan konflik mereka, mengirimkan
surat kepada orang-orang terkemuka di Ahwaz dengan menuduh dan
menjelek-jelekkan nama al-Hallaj, situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj
memutuskan untuk menjauhkan diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi.
Sebaliknya ia malah terjun dalam kancah hingar-bingar dan hiruk-pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan jubah sufi selama beberapa tahun,
tapi tetap terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan
apostolik pertamanya ke
batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju selatan, dan akhirnya kembali
lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai
macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme
dan Manicheanisme.
Ia juga mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan,
yang kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan. Ketika ia tiba
kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan kuliah. Ia berceramah
tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang apa yang terbersit dalam hati
jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj al-Asrar (kata Asrar bisa
bermakna rahasia atau kalbu. Jadi al-Hallaj adalah sang penggaru segenap
rahasia atau Kalbu, karena Hallaj berarti seorang penggaru) ia menarik sejumlah
besar pengikut, namun kata-katanya yang tidak lazim didengar itu membuat
sejumlah ulama tertentu takut, dan ia pun dituduh sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali
ini ia menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus
pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia memutuskan meninggalkan
Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah sufi
terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas
mengislamkan orang-orang Turki
dan orang-orang kafir.
Ia berlayar menuju India selatan,
pergi keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad.
Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya terkenal di
setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin bertambah.
Akulah Kebenaran!' dan hari-hari terakhir
Tahun 913M adalah titik balik bagi karya spiritualnya.
Pada 912M ia pergi menunaikan ibadah haji untuk ketiga kalinya dan terakhir
kali, yang berlangsung selama dua tahun, dan berakhir dengan diraihnya
kesadaran tentang Kebenaran. Di akhir 913M inilah ia merasa bahwa hijab-hijab ilusi telah
terangkat dan tersingkap, yang menyebabkan dirinya bertatap muka dengan sang
Kebenaran (Al-Haqq). Di saat inilah ia mengucapkan, "Akulah
Kebenaran" (Ana Al-Haqq) dalam keadaan ekstase. Perjumpaan ini
membangkitkan dalam dirinya keinginan dan hasrat untuk menyaksikan cinta Allah
pada menusia dengan menjadi "hewan kurban". Ia rela dihukum
bukan hanya demi dosa-dosa
yang dilakukan setiap muslim,
melainkan juga demi dosa-dosa segenap manusia.
Di jalan-jalan kota Baghdad, dipasar, dan di
masjid-masjid, seruan aneh pun terdengar: "Wahai kaum muslimin,
bantulah aku! Selamatkan aku dari Allah! Wahai manusia, Allah telah
menghalalkanmu untuk menumpahkan darahku, bunuhlah aku, kalian semua bakal
memperoleh pahala, dan aku akan datang dengan suka rela. Aku ingin si terkutuk
ini (menunjuk pada dirinya sendiri) dibunuh." Kemudian, al-Hallaj
berpaling pada Allah seraya berseru, "Ampunilah mereka, tapi hukumlah
aku atas dosa-dosa mereka."
Tetapi, kata-kata ini justru mengilhami orang-orang untuk
menuntut adanya perbaikan dalam kehidupan dan masyarakat mereka. Lingkungan sosial dan politik
waktu itu menimbulkan banyak ketidakpuasan di kalangan masyarakat. Orang banyak
menuntut agar khalifah
menegakkan kewajiban yang diembannya. Sementara itu, yang lain menuntut adanya pembaruan
dan perubahan dalam masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj pun punya banyak sahabat
dan musuh di dalam maupun di luar istana khalifah. Para pemimpin oposisi,
yang kebanyakan adalah murid al-Hallaj, memandangnya sebagai Imam Mahdi
atau juru selamat. Para pendukungnya di kalangan pemerintahan melindunginya
sedemikian rupa sehingga ia bisa membantu mengadakan pembaruan sosial.
Pada akhirnya, keberpihakan al-Hallaj berikut
pandangan-pandangannya tentang agama,
menyebabkan dirinya berada dalam posisi berseberangan dengan kelas penguasa.
Pada 918M, ia diawasi, dan pada 923M ia ditangkap.
Al-Hallaj dipenjara selama hampir sembilan tahun. Selama
itu ia terjebak dalam baku sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya.
Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan
sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai peristiwa
ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan istana khalifah.
Akhirnya, wazir khalifah, musuh bebuyutan al-Hallaj berada di atas angin,
sebagai unjuk kekuasaan atas musuh-musuhnya ia menjatuhkan hukuman mati
atas al-Hallaj dan memerintahkan agar ia dieksekusi.
Akhirnya, al-Hallaj disiksa di hadapan orang banyak dan
dihukum di atas tiang gantungan dengan kaki dan tangannya terpotong. Kepalanya
dipenggal sehari kemudian dan sang wazir sendiri hadir dalam peristiwa itu.
Sesudah kepalanya terpenggal, tubuhnya disiram minyak dan dibakar. Debunya
kemudian dibawa ke menara di tepi sungai Tigris
dan diterpa angin serta hanyut di sungai itu.
Sumber:
http://id.wikipedia.org
Tidak ada komentar:
Posting Komentar