Syekh Abdul Qodir
Jailani
10 Ramadhan, tahun 545 H. di Madrasahnya
10 Ramadhan, tahun 545 H. di Madrasahnya
“Hai orang yang mendustai agama! Anda bermain-main dan
merusak? Tidak! Tidak ada kemuliaan bagi dirimu hai para perusak, anda telah
membiarkan nafsumu untuk bicara pada manusia tanpa keahlian dalam dirimu”
DUA langkah, anda telah sampai (wushul). Satu langkah
meninggalkan dunia dan satu langkah meninggal kan akhirat. Satu langkah
meninggalkan nafsumu dan satu langkah meninggalkan makhluk. Tinggalkan nuansa
lahiriyah, anda akan sampai di wilayah bathiniyah. Permulaan, kemudian akhir.
Kokohkan dirimu dan sempurnakan di hadapan Allah Azza wa-Jalla. Darimulah
permulaan, dari Allahlah akhir tujuan. Raihlah kepahitan dan kepayahan,
duduklah pada pintu amal hingga apa yang anda cari sangat dekat dengan yang
diamalkan.
Jangan hanya duduk-duduk di atas tempat tidurmu, dengan
selimutmu, dan dibalik pintumu yang tertutup, lalu anda mencari amal dan yang
anda amalkan? Perhatikan hatimu dengan dzikir, dan mengingatNya di hari ketika
dibangkitkan. Tafakkurlah untuk merenungi pelajaran di balik alam kubur.
Renungkanlah bagaimana Allah azza wa-Jalla menggelar semua makhlukNya dan
membangkitkan mereka di hadapanNya.
Bila anda terus merenungi itu, akan sirna kekerasan hatimu,
bersih dari kotorannya. Bila sebuah bangunan ditegakkan di atas fondasi,
akan kokoh dan kuat. Bila tidak ada fondasinya akan cepat runtuhnya. Bila anda
teguh di atas aturan hukum yang pasti dan jelas, tak satu pun makhluk akan
menggerogotinya. Namun jika tidak ditegakkan di atas fondasi itu, kondisinya
akan tidak kokoh, dan anda tidak akan meraih maqom ruhani, hingga qalbu para
auliya’ shiddiqun marah pada anda, dan tidak ingin memandang anda.
Hai orang yang mendustai agama! Anda bermain-main dan
merusak? Tidak! Tidak ada kemuliaan bagi dirimu hai para perusak, anda telah
membiarkan nafsumu untuk bicara pada manusia tanpa keahlian dalam dirimu.
Padahal bicara itu hanya diperkenankan pada beberapa individu makhluk kaum
sholihin, jika tidak mereka hanya membisu, hanya berisyarat, bukan bicara.
Diantara mereka ada yang diperintahkan untuk bicara pada
sesama makhluk dengan tegas, dan setelah bicara, informasi menjadi jelas dan
terang pada hatimu dan menjernihkan batinmu.
Itulah sebabnya Amirul Mu’minin Sayyidina Ali Karromallahu
Wajhah ra, mengatakan, ”Jika saja tirai dibuka, rasa yakinku pun tidak
akan bertambah.” Bahkan beliau juga berucap,
”Aku tidak akan menyembah Tuhan yang tidak aku lihat.”
”Hatiku memperlihatkan padaku akan Tuhanku.”
Wahai orang-orang yang bodoh, bergaullah dengan para Ulama’,
berbaktilah pada mereka danbelajarlah dari mereka. Karena ilmu itu diraih dari
lisan para tokoh Ulama. Karena itu bermajlislah dengan mereka dengan adab yang
bagus, tidak kontra dengan pandangannya, meraih manfaat dari mereka, agar
kalian meraih ilmu pengetahuan, meraih barokah dan sariguna dapat kalian cerap.
Bermajlislah dengan para ’arifin dengan diam.
Bermajlislah dengan ahli zuhud dengan penuh cinta. Para ‘arif setiap saat
lebih dekat dengan Allah Azza wa-Jalla, dibanding saat-saat sebelumnya, dengan
terus menerus memperbaharui khusyu’nya dan rasa hinanya di hadapan
Tuhannya Azza wa-Jalla. Ia khusyu’ dengan penuh hadirnya qalbu bukan dengan
ghaibnya qalbu di hadapanNya.
Tambahnya khusyu’ menurut kadar kedekatannya dengan Allah
Azza wa-Jalla. Dan semakin kuat membisunya ketika musyahadah kepadaNya Azza
wa-Jalla, karena siapa yang ma’rifat kepadaNya, lisan, watak, nafsu, hawa nafsu
dan kebiasaannya serta wujudnya terbungkam. Sedangkan lisan qalbunya, rahasia
batinnya, kondisi ruhani dan maqomnya serta anugerah yang diterimanya,
senantiasa bicara karena nikmat-nikmat yang melimpah dariNya.
Karena itu mereka bermajlis dengan diam, agar meraih manfaat
dari para ‘arifun, dan meraih minuman jiwa yang memancar dari hati para
‘arifun. Siapa yang banyak bermajlis dengan para ‘arifin billah, dirinya akan
hina dina di hadapan Tuhannya Azza wa-Jalla. Lalu dikatakan, ”Siapa yang
mengenal dirinya ia mengenal Tuhannya.” Karena diri adalah hijab antara dirinya
dengan Tuhannya.
Siapa yang mengenal dirinya akan rendah hati di hadapan
Allah Azza wa-Jalla di hadapan makhlukNya. Bila ia mengenal dirinya ia akan
terus waspada, dan sibuk dengan syukur kepada Allah Azza wa-Jalla atas
pengenal terhadap dirinya itu. Dan ia pun tahu bahwa tidak akan mengenal
dirinya kecuali Allah Azza wa-Jalla hendak memberikan kebaikan dunia akhirat.
Lahiriyahnya bersyukur kepada Allah Azza wa-Jalla, batinnya
selalu memujiNya. Lahiriyahnya berpisah denganNya, batinnya berpadu denganNya.
Kegembiraannya ada pada batinnya, sedangkan kesedihannya hanya pada
lahiriyahnya belaka, demi menutupi kegembiraan kondisi ruhaninya.
Orang yang ‘arif Billah berbeda dengan umumnya orang
beriman. Susah yang dalam hatinya, wajahnya berseri. Ia tahu, dan terus berada
di hadapan pintuNya, namun tidak tahu apakah ia diterima atau ditolak. Apakah
pintu akan dibuka baginya atau ditutup selamanya.
Orang yang mengenal dirinya akan berbeda pula dengan orang
beriman biasa dalam berbagai situasi. Orang beriman biasa adalah sang
pemilik kondisi yang terus berubah, sedangkan sang arif adalah pemangku maqom
yang tetap kokoh. Orang beriman umumnya, sangat takut jika kondisi ruhaninya
berubah dan imannya hilang. Gelisahnya akan terus ada selamanya. Kegembiraannya
terus memancar di wajahnya disertai rasa gelisahnya. Bicaranya riang gembira di
hadapanmu, hatinya terasa putus oleh kegelisahannya.
Sedangkan sang arif kegelisahannya ada di wajahnya, karena
ia harus bertemu dengan sesama untuk memberi peringatan, memberikan ketegasan
dan perintah, melarang yang dilarang, sebagai pengganti Rasul Saw. Kaum Sufi
itu mengamalkan apa yang didengar, lalu amalnya mendekatkan kepada Allah Azza
wa-Jalla, beramal hanya bagi Allah Azza wa-Jalla yang mereka dengar dari
nasehatNya secara langsung tanpa perantara melalui hati mereka. Itupun ketika
mereka sedang tidak lelap dan tidur menurut makhluk, namun senantiasa terjaga
dengan Sang Khaliq.
Bila hatimu benar, engkau selamanya sirna dari
makhluk, dan tidur dari pandangan mereka, namun terus hadir dan terjaga dengan
Sang Khaliq. Hendaknya anda dal;am keramaian senantiasa sunyi denganNya,
sehingga limpahan anugerah Allah Azza wa-Jalla terus mengalir, hikmahnya terus
melimpah. Hendaknya anda menjaga rahasia batin, karena rahasia batin akan
mendekte hatimu, lalu hatimu mendekte nafsu yang muthmainnah, dan nafsu itu
tadi mendekte lisan. Lisan mendekte sesama makhluk.
Siapa yang berbicara pada publik, hendaknya dengan
kondisi seperti itu. Jika tidak, janganlah bicara. Kegilaan kaum sufi adalah
meninggalkan watak kebiasaan manusiawinya, dan tindakan-tindakan hawa nafsunya,
memejamkan diri dari kesenangan-kesenangan dan kenikmatan. Mereka bukan gila
seperti umumnya orang gila yang tidak waras akalnya.
Hasan al-Bashry ra, mengatakan, ”Bila kalian melihat mereka,
kalian pasti berkata, ”Hai orang-orang gila!”. Namun bila mereka melihatmu,
mereka balik mengatakan, ”Orang-orang ini tidak pada beriman kepada Allah Azza
wa-Jalla sekejap pun.”
Khalwatmu tidak benar, karena khalwat adalah gambaran dari
pengosongan qalbu dari segalanya. Batinmu kosong, sendiri tanpa dunia, tanpa
akhirat dan tanpa apa pun selain Allah azza wa-Jalla secara total.
Itulah keseriusan para pendahulu seperti para Nabi dan
Rasul, para Auliya’ dan kaum sholihin. Amar ma’ruf nahi mungkar lebih aku sukai
ketimbang seribu ahli ibadah yang berdiam di kamar sunyinya, namun masih
melihat nafsunya.
Karena itu pejamkan nafsu, tekan dan lem, sampai
pandangannya tidak menjadi penyebab kehancurannya, kecuali ia sabar mengikuti
perintah hatinya dan rahasia batinnya. Diantara bagian dari mengikuti jejak
batin dan hatinya, adalah tidak keluar dari konsisten hati dan batin, sehingga
dirinya benar-benar menyatu dengan hatinya, sampai perintah keduanya (hati dan
sirr), menghindari larangan keduanya, dan pilihannya.
Disinilah anda baru meraih nafsu yang muthmainnah, lalu
berserasi untuk satu tujuan dan satu pencarian. Bila nafsu sampai disitu, maka
meraih kemudahan dalam memerangi nafsunya.
Karena itu jangan membantah Allah Azza wa-Jalla atas apa pun
yang ditakdirkan padamu, dan apa yang ditakdirkan pada orang lain. Lihatlah
firman Allah azza wa-Jalla:
”Allah tidak ditanya apa yang Dia lakukan, tetapi merekalah
yang ditanya (dimintai pertanggungjawaban) apa yang dilakukan.” (Al-Anbiya’:
23)
Mana bukti anda mengikuti perintah Allah azza wa-Jalla, bila
adabmu tidak baik? Bisa-bisa anda keluar dari dunia ini dalam keadaan hina.
Perbaikilah adabmu dan berselaraslah dengan adab itu, maka anda akan duduk
mulia.
Sang pecinta Allah Azza wa-Jalla adalah tamunya Allah azza
wa-Jalla. Si tamu tidak punya pilihan terhadap sang pemilik rumah dalam hal makanan
dan minuman, serta pakaian, dan seluruh tingkah lakunya. Sebagai tamu haruslah
bersesuai dengan pemilik rumah, sabar dan ridho. Tidak mengapa jika harus
dikatakan, ”Bergembiralah atas apa yang kau lihat dan engkau temui.” Siapa yang
mengenal mengenal Allah Azza wa-Jalla, dunia dan akhirat sirna, dan apa pun
selain Allah Azza wa-Jalla sirna dari hatinya.
Sudah seharusnya ucapanmu hanya bagi Allah azza wa-Jalla,
jika tidak bisu lebih baik bagimu. Hendaknya hidupmu untuk patuh kepada Allah
Azza wa-Jalla. Jika tidak? Lebih baik kamu mati saja.
Ya Allah hidupkanlah kami dalam kepatuhan padaMu dan
hamparkan kami bersama hamba-hambaMu yang taat. Amiin.(bersambung....)
Sumber: http://sufinews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar