KINI
Melihat
perkembangan Islam di Asia Tenggara; Indonesia, Malaysia dan lainnya sepuluh
tahun belakangan, salah satu pertanda paling mencolok adalah perhatian pada
tasawuf di samping segi sosial-politik Islam yang seringkali
kontroversial. Kalau kita memperhatikan laporan media-massa, kita akan
mendapatkan betapa sering muncul laporan tentang perkembangan tasawuf itu,
tampaknya ada kecenderungan baru cara keberagaman masyarakat yang beralih ke
cara Sufistik.
Demikian yang sedang merebak adalah sufi perkotaan. Fenomena baru itu terjadi karena makin banyak santri-santri kota yang kian gemar mempelajari agama Islam. Secara historis, aktivitas tersebut merupakan pemodernan dari gerakan tasawuf sebelumnya. Dengan kata lain, orang ingin mempelajari tasawuf secara sungguh-sungguh dan tak lagi menganggap sesuatu yang kerap dipandang sebagai kekunoan, itu sebagai kajian di luar Islam.
Demikian yang sedang merebak adalah sufi perkotaan. Fenomena baru itu terjadi karena makin banyak santri-santri kota yang kian gemar mempelajari agama Islam. Secara historis, aktivitas tersebut merupakan pemodernan dari gerakan tasawuf sebelumnya. Dengan kata lain, orang ingin mempelajari tasawuf secara sungguh-sungguh dan tak lagi menganggap sesuatu yang kerap dipandang sebagai kekunoan, itu sebagai kajian di luar Islam.
Sesederhana
apa pun, aktivitas ketasawufan di perkotaan bisa dianggap sebagai kebangkitan
tasawuf. Itu karena masyarakat jenuh pada ibadah-ibadah yang hanya
mengejar legalisme dan formalisme. Ketakinginan hidup dalam kehampaan
spiritual, kehilangan visi keilahian, dan kerusakan moralitas juga turut
mendorong kebangkitan tasawuf di perkotaan.Namun, segala sesuatu ada
sejarahnya. Tasawuf sebenarnya muncul sebagai solusi
krisis. Pertamakali tasawuf muncul di dunia islam, ketika dunia Islam
dilanda oleh materialisme, pada generasi tabi'in diperiode Umayah.Ketika
materialisme melanda kaum muslimin di masa tabi'in, maka munculah Hasan al
Basri yang menawarkan paradigma lain, lahir berikutnya al Gazali dan lain
sebagainya.
Jadi setiap
kali ada krisis, akan muncul sufisme. Di Indonesia juga begitu, ketika
krisis melanda Indonesia 1997, maka fenomena tasawuf menjadi luar biasa, buku
tasawuf dan majalah semacam Cahaya Sufi ini laku keras yang dibarengi dengan
kemunculan Arifin Ilham, AA Gym, Ary Ginanjar , Amin Syukur dan masih banyak
nama lain pengusung tasawuf. Semua itu berangkat dari kebutuhan psikologis
secara massal.
Akan tetapi
perlu ditegaskan bahwa mereka yang meminati tasawuf sekarang ini masih baru
dalam kerangka defensif saja. Mereka galau menjalani realitas kehidupan,
kemudian mereka menemukan tasawuf dan merasa cocok dengan tasawuf karena
tasawuf dirasa memberi solusi yang mereka cari selama ini.
Jangankan
kita umat Islam, psikolog-psikolog Barat sekarang ini banyak yang masuk ke
wilayah kecerdasan spiritual, yang sebenarnya merupakan wilayah
tasawuf. Tapi karena pengaruh budaya sekuler, kecerdasan spiritual yang
mereka miliki hanya melayang-layang saja dan tidak akan pernah menukik menyelesaikan
masalah.
DAHULU
Sebenarnya pertama Islam masuk ke wilayah Melayu (Indonesia-Malysia) sudah bernuansa sufistik. atau dengan kata lain: Islam tasawuflah yang mula-mula berkembang dan mewarnai Islam di Indonesia-Malaysia pada tahap-tahap awal. Hampir mayoritas sejarawan dan peneliti mengakui bahwa penyebaran Islam yang berkembang secara spektakuler di negara-negara Asia Tenggara berkat peranan dan kontribusi tokoh-tokoh tasawuf.Hal itu disebabkan oleh sifat-sifat dan sikap kaum sufi yang lebih kompromis dan penuh kasih sayang. Tasawuf memang memiliki kecenderungan yang tumbuh dan berorientasi kosmopolitan, tak mempersoalkan perbedaan etnis, ras, bahasa, dan letak geografis.
Itulah sebabnya "misionarisasi" yang dilakukan kaum sufi berkembang tanpa peran. Keberhasilan itu terutama ditentukan oleh pergaulan dengan kelompok-kelompok masyarakat dari rakyat kecil dan keteladanan yang melambangkan puncak kesalehan dan ketekunan dengan memberikan pelayanan-pelayanan sosial, sumbangan, dan bantuan dalam semangat kebersamaan dan rasa persaudaraan murni.
Kaum sufi
itu ibarat psikolog yang menelusuri segenap penjuru negeri demi menyebarkan
kepercayaan Islam. Dari kemampuan memahami spirit Islam sehingga dapat
berbicara sesuai dengan kapasitas (keyakinan dan budaya) audiensnya itulah,
kaum sufi kemudian melakukan modifikasi adat istiadat dan tradisi setempat
sedemikian rupa agar tidak bertentangan dengan dasar-dasar Islam.
Dengan
kearifan dan cara pengajaran yang baik tersebut, mereka berhasil membumikan
kalam Tuhan sebagaimana yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Misalnya,
mengalihkan kebiasaan "begadang" penduduk yang diisi dengan upacara
ri-tual tertentu, saat itu menjadi sebuah halaqahzikir. Dengan
kearifan serupa, para dai memungkinkan musik tradisional gamelan yang merupakan
seni kebanggaan budaya klasik Indonesia dan paling digemari orang Jawa untuk
mengiringi lagu-lagu pujian kepada Nabi Muhammad SAW.
Maka tak
salah bila HAR Gibb menyebut keberhasilan metode dakwah pembauran yang adaptif
dan bukan konfrontatif itu sebagai keberhasilan paling spektakuler di kawasan
AsiaTenggara.
Adapun
munculnya tasawuf yang dimotori oleh gerakan-gerakan tarekat yang ditandai
dengan kemenyendirian para pengikut di beberapa pedesaan. Secara historis,
itu berkaitan dengan politik isolasi yang dilakukan penjajah. Aksi
tersebut mendorong para pengikut tarekat menarik diri dari kehidupan perkotaan,
menyingkir ke gunung-gunung, dan akhirnya mendirikan padepokan-padepokan atau
pesantren-pesantren di tempat-tempat sunyi. Mereka melepaskan diri dari
kehidupan politik, sosial, dan budaya perkotaan.
Kini,
setelah kehidupan kian modern, ternyata terjadi perubahan yang
mencolok. Sebagaimana pesantren-pesantren yang menyerbu perkotaan, tarekat
tasawuf pun makin memosisikan diri sebagai bagian kehidupan
perkotaan. Namun ada perbedaan paradigma antara tasawuf pedesaan dan
perkotaan, bahwa tasawuf di pedesaan lebih menekankan kepada amaliyah,
sedangkan tasawuf di perkotaan lebih mengarah kepada penghayatan nilai-nilai
agama. Ia lebih tampil sebagai aktivitas yang terkait dengan penghilangan
penyakit-penyakit hati dan refleksinya bermuara kepada moralitas
MASA
DEPAN
Perlu
diketahui bahwa tasawuf adalah bagian terpenting dalam Islam, umpama ruh bagi
jasad atau jantung bagi anggota tubuh lain. Maka jika tasawuf dipisahkan
dari sisi amal atau keyakinan yang sahih, jelas akan menjadi sebuah
kemusyrikan, kekafiran dan bid, ah sesat.
Kemudian, misi yang dibawa Rasulullah Saw seara garis besar ada tiga unsur:
- Ta'lim, pengajaran ilmu
pengetahuan.
- Tadzkirah atau Mauidzah, pemberi
peringatan dalam bentuk ceramah keagamaan.
- Tazkiyah atau tarbiyah,
bimbingan dan keteladanan (Qudwah).
Ketiga misi
ini telah menjadi fitur utama dai dan ulama Islam terdahulu yang tidak
terpisahkan, setiap mereka adalah seorang guru, pembicara dan
pembimbing. Meskipun secara prioritas mereka memilih menekuni salah satu
bidang tertentu, namun kapabilitas mereka dalam ketiga unsur ini tidak
diragukan.
Seorang yang
pandai ilmu pengetahuan (alim) bisa jadi tidak pandai bicara dan tarbiyah,
namun seorang pembicara (Mudzakir) harus alim meskipun bukan seorang
murobi. Adapun seorang murobi wajib alim di samping juga harus seorang
Mudzakir. Jadi tasawuf dalam posisi ini adalah sebagai tazkiyah, yang
pelakunya harus memenuhi dua syarat di atas, sebagai orang alim dalam ilmu
keislaman dan Mudzakir yang pandai membangun komunkasi dakwah kepada seluruh
masyarakat.
Namun
realitanya, para dai dan ulama sekarang belum memenuhi syarat untuk menciptakan
masyarakat yang membangun, baru sampai ke taraf membangun masyarakat. Para
murobi yang tampil mengusung tasawuf bukanlah dari mereka yang telah mencapai
puncak kecerdasan intelekual, emosional juga
spiritual atau kesusksesan ilmu pengetahuan, penguasaan retorika dan suri
teladan. Akan
tetapi mereka masih mentah dalam bidangnya, mereka meminati tasawuf masih dalam
kerangka defensif.Karena mereka memasuki tasawuf dimulai dari kegalauan dalam
menjalani realitas kehidupan, kemudian menemukan dan merasa cocok dengan
tasawuf yang dirasa memberi solusi yang mereka cari selama ini, bukan dari
proses tarbiyah intensif di tangan seorang murobi yang memiliki otoritas dari
pendahulunya sehingga mata rantai itu sampai kepada Rasulullah SAW.
Jadi bangsa
ini membutuhkan tasawuf bukan sebagai ajaran (pemikiran) dan wejangan belaka,
akan tetapi lebih membutuhkan kepada sosok pribadi sebagai suri teladan akhlak
dan qudwah dalam nilai-nilai spiritual islam.
Bangsa ini
butuh pemimpin besar. seorang yang mampu berpikir, merasa, dan cita
rasanya itu melampaui sekat-sekat ruang dimana ia berada, waktu dimana ia
hidup. Karenanya si orang besar harus berpikir 50 tahun kedepan atau 100
tahun kedepan. Kalau dia berbuat dia menyadari bahwa yang diperbuat itu
juga akan ditonton dan direspon oleh 200.000.000 orang.
Seorang
besar yang setelah menguasai ilmu pengetahuan dan retorika, ia juga punya
ghiroh (semangat) tasawuf yang akan secara alami merontokkan penyakit nasional
seperti korupsi, maksiat dan lain sebagainya.
Karena
korupsi dan segala bentuk maksiat di Indonesia sudah menjadi konsep dan
budaya. Semua orang korupsi dan tidak merasa bersalah; ah yang lain juga
begitu!. Nah ini harus diatasi dengan contoh pemimpin yang diikuti dengan
peraturan, tetapi untuk masyarakat kita keteledanan yang tinggi itu lebih
efektif ketimbang demokratisasi. Seperti pilkada, tidak melahirkan banyak
manfaat, karena orang masih bisa dibayar, tetapi keteladanan pemimpin itu
sangat efektif. Dan itu yang dicari anak-anak muda sekarang.
Kiranya
untuk konteks kekinian, hanya pemimpin yang bertasawuf saja yang dapat
memberikan keteladanan pada generasi mendatang. Sehingga pendekatan
sufistik di era sekarang ini tidak lagi pada mencari jalan keselamatan dan
keuntungan materi, lebih dari itu sebuah pendekatan sufistik yang dapat
menciptakan masyarakat yang mampu membangun masa
depan. Sumber: Ustadz Rohim
s Site
Sumber
Copas: http://sufimedan.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar