Mau Sampai Kapan Kita
Jauh dari Allah?
| Oleh: Sholiat Alhanin
dakwatuna.com - Tuhanmu
berfirman, “Wahai anak Adam! Sempatkanlah beribadah kepada-Ku, niscaya Aku akan
penuhi hatimu dengan rasa cukup dan Aku akan memenuhi tanganmu dengan rezeki.
Wahai anak Adam! Janganlah menjauh dari-Ku. Jika demikian, Aku akan memenuhi
hatimu dengan kefakiran dan Aku akan memenuhi tangan-Mu dengan kesibukan.” (HR.
Hakim, dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahihut Targhib wat Tarhib)
Masih banyak di sekitar kita menemui orang-orang yang
jauh dari Allah, hidup mereka dipenuhi dengan hal-hal tidak bermanfaat bahkan
membuat hati semakin keras dan tidak bercahaya. Seperti yang ditemui di jalan
raya menuju kampus.. Saya melihat segerombolan Bapak-Bapak yang berusia 40-60
Tahun dengan asyik menikmati domino, asyik menyabung ayam. Seharusnya usia
menedekati detik-detik kehidupan dihabiskan dengan kebaikan. Tidak hanya itu,
pernah pula menemui para wanita-wanita yang begitu seksi menjual kecantikan
dengan berbagai dalil terkadang kecantikan dipergunakan sebagai modal untuk
mengait mata laki-laki bermata keranjang atau atas nama kebebasan…#miris dan
jauhkan kami dari hal-hal yang tidak Engkau cintai Rabbi.
Mungkin pertemuan dengan para Bapak-bapak dan
cewek-cewek cantik adalah cara Allah mengiring kait untuk berpikir,
berkontemplasi serta mengambil hikmah. Senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim bahwa
berbahagialah manusia yang dianugerahi Agama, pikiran dan akhlak yang selalu
bertautan dengan Rabbi.
Bagi kita yang masih merasa jauh dari Allah (terutama
bagi penulis sendiri), sampai kapan mau jauh dari Allah? Apakah sampai kaya,
sampai sukses, sampai terkenal, sampai bahagia, sampai punya anak, sampai punya
istri/suami, sampai bumi dan seisinya milik kita, sampai mendepat musibah,
sampai tua, sampai dapat bencana, sampai ada waktu luang atau sampai titik
akhir kehidupan?! Sesungguhnya kita tidak pernah puas dengan apa dicari maupun
diperoleh. “Kebahagiaan yang paling bahagia ialah panjang umur dalam ketaatan
kepada Allah” (HR.Ad-Dailami dan Al Qodhoi).
Sejujurnya dengan dekat pada-Nya akan meraih posisi
yang begitu indah, akan dipermudahkan segala urusan, disuguhi solusi yang tiada
tara dan dicukupi persis seperti yang dialami Muhammad Alfatih menaklukkan kota
Konstantinopel yang memukau khalayak ramai bahkan menjadi pondasi bagi siapapun
untuk meraih kesuksesaan, itu harus didasari dengan mencintai aturan Rabbi dan
menjalankan perintah-Nya penuh cinta serta istiqamah. “Dan barangsiapa yang
bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”. (QS.
Ath Thalaq: 3). “Kalau sekiranya kamu bertawakkal kepada Allah dengan
sebenar-benarnya, tentu kamu akan diberi rezeki sebagaimana burung diberi
rezeki, berangkat pagi dalam keadaan lapar dan pulang sore dalam keadaan
kenyang.”(HR. Tirmidzi, ia mengatakan, “Hadits hasan shahih.”)
Atau kita merasa bahagia, merasa tenang, merasa gagah,
merasa tercukupi dengan menjauhi Allah? Atau dengan menjauhi Allah kita
diberkahi keberlimpahaan seperti realita yang sering dijumpai bahwa mereka yang
jauh dari Allah, kok berkelimpahan kenikmatan bahkan penghormatan dari
lingkungan sedangkan mereka yang dekat dengan Allah malah dicibir bahkan
dianggap sok suci. Mungkin juga dengan menjauhi Allah merasa sebebasnya tanpa
batas. Kenapa kita yang terus bersujud, berdoa, memperbaiki diri dan berdakwah
sepertinya hidup begitu saja. Mungkin pernyataan tersebut terbesit di hati.
Mari kita istighfar terus menerus agar bisa mengusir persepsi tersebut dalam
pikiran.
Dari ‘Uqbah bin Amir, dari Rasulullah SAW: “Apabila
engkau melihat Allah mengaruniakan dunia kepada seorang hamba sesuai dengan
yang ia inginkan, sementara ia tenggelam dalam kemaksiatan, maka ketahuilah itu
hanya istidraj darinya”, kemudian Rasulullah SAW bersabda: “ Maka
tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka Kami pun
membukakan semua pintu-pintu kesenangan untuk mereka; sehingga apabila mereka
bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka
dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa”.
Ibnu Abbas menjelaskan firman Allah ‘Azza wajalla:
“Nanti Kami akan menarik mereka dengan berangsur-angsur ke arah kebinasaan
dengan cara yang tidak mereka ketahui”, ia berkata: Setiap kali mereka
melakukan satu kesalahan kami beri mereka nikmat yang baru dan kami lupakan
mereka untuk beristighfar.
Sesungguhnya kita tahu bahwa kematian selalu
mengintai. Sanggupkah kita bertemu Allah dalam keadaan berlumur dosa,
sanggupkah kita bersua dengan Rabbi saat dipenuhi kerakusan dunia, sanggupkah
kita berjumpa Ilahi ketika dipenuhi dengan jiwa-jiwa yang tidak disinari cahaya
Ilahi. Tentu tidak sanggup dan tidak berdaya? Tetapi kenapa kita masih tetap
menjauhi-Nya baik dari sisi akhlak, iman, tujuan dan sisi lainnya?
Entah apa yang mendorong dan memotivasi mereka untuk
menjauhi Allah pemilik segalanya serta menentukan kehidupan. Padahal segala
kenikmatan sudah diberikan, hanya saja tidak pernah merasakan nikmat tersebut.
Apakah tidak menyadari bahwa Allah itu selalu memantau? Apakah tidak butuh
Allah? Apa kita berpikir bahwa hidup akan kekal selamanya, apaka kita berpikir
bahwa Allah tidak akan meminta pertanggungjawaban atas perilaku kita, apakah
beranggapan Allah akan meyelamati kita api neraka meskipun penuh dengan
dosa-dosa sehingga kita masih tetap menjauhi Allah.
Pada akhirnya, buka hati dan pikiran kita untuk
merenung. Apa yang melatarbelakangi kita masih betah, bertahan untuk menjauhi
Allah dan menikmati hidup tanpa aturan-Nya. Bukankah hidup tidak kekal dan
sejauh-jauhnya berjalan akan ada akhirnya dan sebebas-bebasnya pasti akan rindu
untuk mengadu pada-Nya? “Di antara Wahyu Allah kepada Nabi Dawud AS; “Tiada
seorang hamba yang taat kepada-Ku melainkan Aku memberinya sebelum dia meminta,
dan mengabulkan permohonannya sebelum dia berdoa, dan mengampuni dosanya
sebelum dia mohon pengampunan (istighfara).” (HR.Ad-Dailami)
Sumber: http://www.dakwatuna.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar