Dr. Hj. Sri
Mulyati, MA
Para ahli berpendapat bahwa islamisasi Indonesia
sampai sekarang masih berlanjut.
Ini harus diartikan bahwa Islam yang datang ke
Indonesia harus melewati jalan, rentang waktu, serta corak pemikiran yang
panjang, dimulai dari Islam datang di pelabuhan-pelabuhan, diperkenalkan,
disebarkan, dikembangkan, dimantapkan dan diperbarui.
Islam yang datang ke Indonesia melalui transportasi
laut harus menyusuri pantai Laut Merah, negeri Yaman, Hadramaut, Gujarat, Pulau
Seylon, mungkin Teluk Benggala, selanjutnya sampai Patani-Thailand Selatan,
baru sampai ke Perlak. Dari Perlak menyusuri Banten, Gresik terus ke timur
melalui Mataram (Lombok) ke Maluku, tempat-tempat itu masing-masing mempunyai
peranan dalam perkembangan Islam. Dalam perkembangannya kemudian, jaringan
hubungan seperti itu terus berlanjut timbal balik dari abad ke abad, generasi
ke generasi, mula-mula berupa jaringan perdagangan, berlanjut kepada jaringan
ulama sebagaimana disebutkan oleh Azyumardi Azra, selanjutnya kepada jaringan
tasawuf tarekat sehingga perubahan apa pun yang terjadi di pusat Islam Timur
Tengah akan sangat mempengaruhi keadaan Islam di Indonesia.
Ajaran Islam dibawa oleh Nabi Muhammad yang pada masa
awal dilaksanakan secara murni. Ketika Rasulullah wafat, cara beramal dan
beribadah para sahabat dan tabi’in masih tetap memelihara dan membina ajaran
Rasul, disebut amalan salaf al-shalih.
Pada abad pertama Hijriyah mulai ada perbincangan
tentang teologi, dilanjutkan mulai ada formalisasi syariah. Abad kedua Hijriyah
mulai muncul tasawuf. Tasawuf terus berkembang dan meluas dari mulai terkena
pengaruh luar. Salah satu pengaruh luar adalah filsafat, baik filsafat Yunani,
India maupun Persia. Muncullah sesudah abad ke-2 Hijriyah golongan sufi yang
mengamalkan amalan-amalan dengan tujuan kesucian jiwa untuk taqarrub kepada
Allah. Para sufi kemudian membedakan pengertian-pengertian syariah, thariqat,
haqiqat, dan makrifat. Menurut mereka syariah itu untuk memperbaiki
amalan-amalan lahir, thariqat untuk memperbaiki amalan-amalan batin (hati), haqiqat
untuk mengamalkan segala rahasia yang gaib, sedangkan makrifat adalah tujuan
akhir yaitu mengenal hakikat Allah baik zat, sifat maupun perbuatanNya. Orang
yang telah sampai ke tingkat makrifat dinamakan wali. Kemampuan luar biasa yang
dimilikinya disebut karamat atau supranatural, sehingga dapat terjadi pada
dirinya hal-hal luar biasa yang tidak terjangkau oleh akal, baik di masa hidup
maupun sesudah meninggal. Syaikh Abdul Qadir Jaelani (471-561/1078-1168)
menurut pandangan sufi adalah wali tertinggi disebut quthub al-auliya (wali
quthub).
Pada abad ke-5 Hijriyah atau 13 Masehi barulah muncul
tarekat sebagai kelanjutan kegiatan kaum sufi sebelumnya. Hal ini ditandai
dengan setiap silsilah tarekat selalu dihubungkan dengan nama pendiri atau
tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad itu. Setiap tarekat mempunyai syaikh,
kaifiyah zikir dan upacara-upacara ritual masing-masing. Biasanya syaikh atau
mursyid mengajar murid-muridnya di asrama latihan rohani yang dinamakan rumah
suluk atau ribath.
Mula-mula muncul Tarekat Qadiriyah yang dikembangkan
oleh Syaikh Abdul Qadir di Asia Tengah Tibristan tempat kelahiran dan
operasionalnya, kemudian berkembang ke Baghdad, Irak, Turki, Arab Saudi sampai
ke Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, India, Tiongkok. Muncul pula
Tarekat Rifa’iyah di Maroko dan Aljazair. Disusul Tarekat Suhrawardiyah di
Afrika Utara, Afrika Tengah, Sudan dan Nigeria. Tarekat-tarekat itu kemudian
berkembang dengan cepat melalui murid-murid yang diangkat menjadi khalifah,
mengajarkan dan menyebarkan ke negeri-negeri Islam, bercabang dan beranting
sehingga banyak sekali.
Organisasi tarekat pernah mempunyai pengaruh yang
sangat besar di dunia Islam. Sesudah khalIfah Abbasiyah runtuh oleh bangsa
Mongol tahun 1258 M, tugas memelihara kesatuan Islam dan menyiarkan Islam ke
tempat-tempat yang jauh beralih ke tangan kaum sufi, termasuk ke Indonesia.
Ketika berdiri Daulah Usmaniyah, peranan tarekat (Bahtesyi) sangat besar baik
dalam bidang politik maupun militer. Demikian juga di Afrika Utara, peranan Tarekat
Sanusiyah sangat besar terutama di negeri Aljazair dan Tunisia, sedangkan di
Sudan berpengaruh Tarekat Syadziliyah. Khusus di Indonesia, pengembangan Islam
pada abad ke- 16 dan selanjutnya, sebagian besar adalah atas usaha kaum sufi
sehingga tidak heran apabila pada waktu itu pemimpin-pemimpin spiritual Islam
di Indonesia bukanlah ahli syariah melainkan syaikh tarekat.
Tentang kapan pribumi nusantara memeluk Islam, para
ahli berbeda pendapat. Mungkin orang muslim asing memang sudah ada yang menetap
di pelabuhan dagang di Sumatra dan Jawa beberapa abad sebelum abad ke-16, namun
baru menjelang abad ke-10 ada bukti-bukti orang pribumi memeluk Islam di suatu
kerajaan kecil Perlak, dilanjutkan pada abad ke-13 oleh kerajaan Samudera
Pasai. Selama abad ke-14 dan 15 Islam secara berangsur-angsur menyebar ke
pantai utara Jawa dan ke Maluku.
Ketika orang pribumi Nusantara mulai menganut Islam
corak pemikiran Islam diwarnai oleh tasawuf, pemikiran para sufi besar seperti
Ibn al-‘Arabi dan Abu Hamid al-Ghazali sangat berpengaruh terhadap
pengamalan-pengamalan muslimin generasi pertama. Justru karena tasawuf ini
penduduk nusantara mudah memeluk agama Islam, apalagi ulama generasi pertama
juga menjadi pengikut sebuah tarekat atau lebih.
Secara relatif corak pemikiran Islam yang pernah
dipengaruhi oleh tasawuf selanjutnya berkembang menjadi tarekat. Justru ketika
abad ke-13 Masehi ketika masyarakat nusantara mulai memantapkan diri memeluk
Islam, corak pemikiran Islam sedang dalam puncak kejayaan tarekat.
Tasawuf secara harfiah berasal dari kata shuuf yang
berarti bulu. Waktu itu para sufi memakai pakaian dari bulu domba sebagai
lambang merendahkan diri. Secara istilah Ibn Khaldun mengartikan tasawuf adalah
salah satu ilmu syariah yang timbul kemudian dalam Islam. Asalnya tekun
beribadah dan memutuskan perhatian dengan segala selain Allah, hanya mengharap
kepada Allah semata, menolak hiasan dunia, serta membenci perkara yang selalu
memperdaya orang kepada kelezatan harta benda dan kemegahan dunia, menyendiri
menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah. Sedangkan kata “tarekat” secara
harfiah berarti “jalan”, mengacu kepada suatu sistem latihan meditasi maupun
amalan-amalan (muraqabah, zikir, wirid dan sebagainya) yang dihubungkan dengan
sederet guru sufi. Tarekat juga berarti organisasi yang tumbuh seputar metode
sufi yang khas. Pada masa permulaan, setiap guru sufi dikelilingi oleh
lingkaran murid mereka dan beberapa dari murid ini kelak akan menjadi guru
pula. Boleh dikatakan bahwa tarekat itu mensistematiskan ajaran dari metode-metode
tasawuf. Guru tarekat yang sama mengajarkan metode yang sama, zikir yang sama,
muraqabah yang sama. Seorang pengikut tarekat akan memperoleh kemajuan melalui
sederet amalan-amalan berdasarkan tingkat yang dilalui oleh semua pengikut
tarekat yang sama. Dari pengikut biasa (mansub) menjadi murid selanjutnya
pembantu Syaikh (khalifah-nya) dan akhirnya menjadi guru yang mandiri
(mursyid).
Seorang pengikut tarekat ketika melakukan
amalan-amalan tarekat berusaha mengangkat dirinya melampaui batas-batas
ke-dirian-nya sebagai manusia dan mendekatkan diri ke sisi Allah. Dalam
pengertian ini sering kali perkataan tarekat dianggap sinonim dengan istilah
tasawuf, yaitu dimensi esoteris dan aspek yang mendalam dari agama Islam.
Sebagai istilah khusus, perkataan tarekat lebih sering dikaitkan dengan suatu
“organisasi tarekat”, yaitu suatu kelompok organisasi yang melakukan
amalan-amalan zikir tertentu, dan menyampaikan suatu sumpah yang formulanya
telah ditentukan oleh pimpinan organisasi tarekat tersebut. Dalam tradisi
pesantren dijawa, istilah tasawuf dipakai semata-mata dalam kaitan aspek
intelektual dari “jalan=thariqat” itu, sedangkan aspeknya yang bersifat etis
dan praktis (yang dalam lingkungan pesantren dianggap lebih penting daripada
aspek intelektualnya) diistilahkan dengan tarekat.
Sebuah tarekat biasanya terdiri dari pensucian batin,
kekeluargaan tarekat, upacara keagamaan, dan kesadaran sosial.” Yang dimaksud
pensucian jiwa adalah melatih rohani dengan hidup zuhud, menghilangkan
sifat-sifat jelek yang menyebabkan dosa, dan mengisi dengan sifat-sifat
terpuji, taat menjalankan perintah agama, menjauhi larangan, taubat atas segala
dosa dan muhasabah introspeksi, mawas diri terhadap semua amal-amalnya.
Kekeluargaan tarekat biasanya terdiri dari syaikh tarekat, syaikh mursyid
(khalifahnya), mursyid sebagai guru tarekat, murid dan pengikut tarekat, serta
ribath (zawiyah) tempat latihan, kitab-kitab, sistem dan metode zikir. Upacara
keagamaan bisa berupa baiat, ijazah atau khirqah, silsilah, latihan-latihan, amalan-amalan
tarekat, talqin, wasiat yang diberikan dan dialihkan seorang syaikh tarekat
kepada murid-muridnya.
Dari unsur-unsur tersebut di atas, salah satunya yang
sangat penting bagi sebuah tarekat adalah silsilah. Silsilah itu bagaikan kartu
nama dan legitimasi sebuah tarekat, yang akan menjadi tolok ukur sebuah tarekat
itu mu’tabarah (dianggap sah) atau tidak. Silsilah tarekat adalah “nisbah”,
hubungan guru terdahulu sambung-menyambung antara satu sama lain sampai kepada
Nabi. Hal ini harus ada sebab bimbingan keruhanian yang diambil dari guru-guru
itu harus benar-benar berasal dari Nabi. Kalau tidak demikian halnya berarti
tarekat itu terputus dan palsu, bukan warisan dari Nabi.
Silsilah tarekat berisi rangkaian nama-nama guru yang
sangat panjang, yang satu bertali dengan yang lain. Biasanya tertulis rapi
dalam bahasa Arab, di atas sepotong kertas yang diserahkan kepada murid tarekat
sesudah ia melakukan latihan dan amalan-amalan dan sesudah menerima petunjuk
(irsyad) dan peringatan (talqin) serta sesudah membuat janji (bai’ah) untuk
tidak melakukan ma’siyat sekaligus menerima ijazah sebagai tanda boleh
meneruskan pelajaran tarekat kepada orang lain. Oleh karena itu, anggota sebuah
tarekat akan sangat menganggap penting sebuah silsilah karena silsilah tarekat
berperan sebagai sarana untuk menerangkan bahwa tarekat itu sah (mu’tabarah)
atau tidak, bahwa dasar-dasar ajaran tarekat dan pengamalan-pengamalan tarekat
yang mereka ajarkan itu berasal dari Nabi atau bukan. Setiap guru akan sangat
hati-hati menjaga silsilah yang menunjukkan siapakah gurunya dan siapa
guru-guru sebelum dia, terus-menerus sambung-menyambung sampai kepada Nabi.
Pada silsilah seorang guru abad ke-20 biasanya
tercantum antara tiga puluh sampai empat puluh orang. ldealnya setiap guru yang
tercantum dalam silsilah seharusnya merupakan murid langsung dari guru
sebelumnya. Kenyataan tidak selalu demikian. Kadang-kadang dua orang yang
berurutan dalam silsilah dapat saja tidak pernah berjumpa karena yang pertama
wafat sebelum yang kedua lahir atau karena mereka tinggal di negara yang
berjauhan. Sebagian kaum sufi menolak silsilah semacam ini dan menganggapnya
palsu. Sebab hubungan yang bertemu langsung atau tidak antara guru dengan guru
sebelumnya merupakan ukuran sebuah tarekat dianggap mu’tabarah atau tidak.
Walaupun demikian, sebagian sufi tidak menolak kemungkinan bahwa seorang wali
menerima pelajaran dari guru yang mendahuluinya bukan lewat komunikasi langsung
tetapi lewat komunikasi spiritual, melalui pertemuan secara ruhaniyah. Hubungan
semacam ini disebut barzakhi atau uwaisi.
Sebuah silsilah tarekat juga akan berhubungan dengan
peran “wasilah”, yaitu mediasi (perantara), melalui seorang pembimbing
spiritual (mursyid) sebagai sesuatu yang sangat diperlukan demi kemajuan
spiritual. Untuk sampai kepada perjumpaan dengan Yang Mutlak, seseorang tidak
hanya memerlukan bimbingan, tetapi campur tangan aktif dari pihak pembimbing
spiritualnya dan para pendahulu sang pembimbing, termasuk yang paling penting
adalah Nabi Muhammad sendiri, dan melalui wasilah dengan Nabi, sampai kepada
Tuhan. Oleh karena itu, bagian yang penting dalam pencarian spiritual adalah
menemukan seorang mursyid yang dapat diandalkan yang dapat menjadi wasilah dan
mengantarkan kepada Tuhan. Para ahli tarekat memang yakin bahwa cara-cara
pengamalan tarekat dapat dianggap sah bila dilakukan di bawah bimbingan seorang
guru. Kondisi seperti ini menjadikan para guru tarekat ini bertindak sebagai
perantara bagi para murid yang ingin berhubungan dengan Tuhan dan memiliki
otoritas mutlak atas murid-muridnya, baik persoalan kehidupan spiritual maupun
material. Sang guru tarekat berusaha dengan segala cara untuk membimbing
muridnya sampai kepada Tuhan.
Masalah lain yang erat hubungannya dengan silsilah
adalah proses tawajjuh (tatap muka). Tawajjuh semula mempunyai arti mengajar
langsung, seorang guru berhadap-hadapan mengajar langsung kepada
murid-muridnya. Dalam perkembangannya kemudian mempunyai arti khusus: tawajjuh
merupakan perjumpaan di mana seseorang membuka harinya kepada syaikhnya dan
membayangkan hatinya disirami berkah sang syaikh, sang syaikh membawa hati
tersebut ke hadapan Nabi Muhammad Saw. Hal ini dapat berlangsung sewaktu
pertemuan pribadi antara murid mursyid dan baiat merupakan pertemuan pertama.
Pemahaman silsilah juga membawa pada pemakaian teknik
rabithah mursyid, “mengadakan hubungan batin dengan sang pembimbing” sebagai
pendahuluan zikir, yaitu proses penghadiran (visualisasi) sang mursyid oleh
murid dengan membayangkan hubungan yang sedang dijalani dengan sang mursyid.
Hubungan itu sering kali dalam bentuk cahaya yang memancar dari sang mursyid.
Sang penganut tarekat membayangkan gambar pembimbingnya dan semua wali dalam
silsilahnya, lalu ia bayangkan seberkas cahaya memancar dari Allah dan turun ke
kening Rasulullah. Dari sana cahaya itu memantul melalui wali-wali satu per
satu berurutan, kemudian dari kening sang pembimbing langsung masuk ke hati
sang murid yang ketika itu sedang menyebut “Allah, Allah”, maka mulailah zikir
nama Tuhan.
Islamisasi Indonesia tidak terdokumentasi dengan baik
sehingga banyak spekulasi di kalangan ilmuwan yang menimbulkan perdebatan yang
belum selesai. Karena luasnya wilayah Indonesia tidak mungkin islamisasi
menurut pola yang seragam. Ada yang melalui perdagangan, atau aliansi politik antar
pedagang dengan putri bangsawan, atau mungkin juga melalui penaklukan. Namun,
secara umum proses tersebut berlangsung secara damai melalui peranan tasawuf
dan tarekat.
Abad-abad pertama islamisasi Indonesia berbarengan
dengan masa merebaknya tasawuf abad pertengahan dan pertumbuhan tarekat. Dalam
abad-abad ini bermunculan tokoh-tokoh sufi yang terkenal seperti Abu Hamid
al-Ghazali (w. 1111) dengan konsep tasawuf yang diterima oleh para fuqaha, Ibn
al-Arabi (w. 1240) yang mempengaruhi hampir semua sufi yang muncul belakangan,
Abdul al-Qadir al-Jilani (w. 1166) yang ajarannya menjadi dasar Tarekat
Qadiriyah, Abu al-Najib al-Suhrawardi (w. 1167) yang darinya nama tarekat
Suhrawardi diambil, Najmu al-Din al-Kubra (w. tahun 1221) tokoh sufi Asia
Tengah pendiri tarekat Kubrawiyah dan sangat berpengaruh terhadap tarekat
Naqsyabandiyah, Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 1258) sufi Afrika Utara pendiri
tarekat Syadziliyah, Rifa’iyah telah mapan sebagai tarekat menjelang 1320,
Khalwatiyah menjelma menjadi tarekat ± 1300 dan 1450, Naqsyabandiyah menjadi
tarekat khas pemberi namanya Baha al-Din Naqsyabandi (w. 1389), dan Abdullah
al-Syaththar pendiri Tarekat Syattariyah (w. 1428-1429).
Sejarawan mengemukakan bahwa karena faktor tasawuf dan
tarekatlah islamisasi Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dapat berlangsung
dengan damai. Ajaran kosmologis dan metafisis tasawuf Ibn ‘Arabi dapat dengan
mudah dipadukan dengan ide-ide sufistik India dan ide-ide sufistik pribumi yang
dianut masyarakat setempat. Konsep Insan Kamil sangat potensial sebagai
legitimasi religius bagi para raja. Bahkan sampai sekarang Islam Indonesia
masih diliputi sikap sufistik dan kegemaran kepada hal-hal yang mengandung
keramat. Di antara naskah-naskah Islam paling tua dari Jawa dan Sumatra yang
masih ada sampai sekarang (dibawa ke Eropa sekitar tahun 1600) terdapat
risalah-risalah tasawuf dan cerita-cerita keajaiban yang berasal dan Persia dan
India. Di dalam tulisan-tulisan Jawa masa belakangan, kita temukan adanya
ajaran tasawuf yang Iebih kental sedangkan perihal tarekat mendapatkan banyak
pengikut sekitar abad ke-18 dan 19 Masehi.
PARA SUFI NUSANTARA YANG MENGAJAR TAREKAT
Pada masa awal, pusat penting yang mempengaruhi
perkembangan tarekat di Indonesia adalah India (Gujarat) yang dari tempat ini
diduga Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani (w. 1630) dan Nuruddin al-Raniri
belajar mendapatkan ijazah serta menjadi khalifah. Namun, pada abad-abad
berikutnya berbagai cabang India dan beberapa tarekat besar sampai ke Indonesia
melalui jalur Makkah dan Madinah. Melalui cara ini pula Tarekat Syattariyah
yang berasal dari India berkembang di Makkah dan Madinah dan kemudian
berpengaruh Luas di Indonesia.
Sufi pertama Indonesia yang karangannya tentang
tarekat sampai kepada kita sekarang adalah Hamzah Fansuri. Dan namanya dapat
diketahui bahwa beliau berasal dan Fansur (sebutan orang Arab untuk kota Barus,
sekarang kota kecil di pantai barat Sumatera, terletak antara Sibolga dan
Singkel). Dalam bidang sufi ia mengungkapkan gagasan-gagasannya melalui syair
bercorak wahdat al-wujud, yang mendorong kepada penafsiran panteistik. Dalam
syairnya dia juga bercerita tentang kunjungannya ke Makkah, al-Quds, Baghdad
(di mana ia mengunjungi makam Abdul Qadir al-JilanI) dan Ayuthia. Di tempat
terakhir dia menerima ijazah. Namun dalam syairnya disebutkan dia menerima
ijazah di Baghdad dan berafiliasi dengan Tarekat Qadiriyah, bahkan pernah
diangkat menjadi khalifah dalam tarekat ini. Dengan demikian Hamzah (wafat
sekitar 1590) adalah orang Indonesia pertama yang kita ketahui secara pasti
menganut Tarekat Qadiriyah.
Qadiriyah adalah tarekat pertama yang disebut dalam
sumber-sumber pribumi. Di Jawa juga terdapat pengaruh Tarekat Qadiriyah,
terutama di Direbon dan Banten. Menurut tradisi rakyat setempat, Syaikh Abdul
Qadir al-Jilani pernah datang ke Jawa, bahkan mereka masih dapat menunjukkan
kuburannya. Indikasi lain tentang pengaruh Qadiriyah di Banten adalah pembacaan
kitab manaqib Abdul Qadir al-Jilani pada kesempatan tertentu di kehidupan
beragama di sana.
Tarekat Syadziliyyah tak dapat dilepaskan hubungannya
dengan pendirinya, yakni Abu Hasan al-Syadzili. Secara lengkap nama pendirinya
adalah Ali bin Abdullah bin Abd. Al-Jabbar Abu Hasan al-Syadzili (w.1258).
Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan mereka yang bergaris keturunan
Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Siti Fatimah, anak perempuan Nabi Muhammad
Saw. Al-Syadzili sendiri pernah menuliskan silsilah keturunannya sebagai
berikut: Ali bin Abdullah bin Abd. Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Batthal bin Ahmad
bin Isa bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ciri utama tarekat ini
pun masih dapat dirasakan hingga saat ini yaitu dengan variasi hizb-nya dan
terutama hizb al-bahr yang dikenal sangat memberi pengaruh yang kuat bagi
pengamalnya. Tokoh terkenal Syadziliyah lainnya yaitu Ibn ‘Afhaillah
al-Iskandari (al-Sakandari), dan ‘Abd al-Wahhab al-Sya’rani.
Sufi lain yang juga terkenal di Indonesia adalah
Syamsuddin (w. 1630), murid Hamzah yang menulis dalam bahasa Arab dan Melayu.
Dia perumus ajaran martabat tujuh pertama di nusantara beserta pengaturan nafas
pada waktu zikir (yang dianggap oleh Hamzah sebagai pengaruh yogi pranayama
dari India). Ajaran martabat tujuh merupakan adaptasi dari teori emanasi Ibn
al-‘Arabi yang tidak lama kemudian sangat populer di Indonesia. Ajaran ini
berasal dari ulama besar asal Gujarat bernama Muhammad bin Fadhlullah
Burhanpuri yang mengarang kitab Al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi. Ajaran
martabat tujuh Syamsuddin termasuk ajaran wujudiyah yang oleh Nuruddin al-Raniri
dalam kitabnya, Hujjatu al-Shiddiq lidaf’i al-Zindiq, dianggap sebagai ajaran
wujudiyah yang menegakkan tauhid (al-muwahhidah), di samping ada ajaran
wujudiyah yang dianggap menyimpang.
Burhanpuri berafiliasi kepada Tarekat Syattariyah,
diduga Syamsuddin juga demikian karena tidak ada kepastian tentang hal ini
dalam tulisan-tulisannya. Tarekat Syattariyah menjadi sangat populer di
kalangan orang Islam Indonesia yang kembali dari Tanah Arab, sesudah
kematiannya. Tidak diketahui secara jelas tahun kelahirannya, tetapi dalam
kitab Bustan al-Salatin karya Nuruddin, tahun wafatnya disebutkan tahun 1039 H
dan oleh A. Hasjmi disamakan dengan tahun 1630 M.
Nuruddin al-Raniri adalah sufi terkenal selanjutnya.
Nama lengkapnya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid
al-Raniry, berasal dari keluarga Arab Ranir (Rander) Gujarat. Tahun
kelahirannya tidak diketahui, wafat tahun 1068/1658. Ibunya seorang Melayu,
ayahnya imigran dari Hadrami. Tidak ada kejelasan kapan al-Raniry pertama kali
menetap di wilayah Melayu, namun al-Raniry pernah menjabat Syaikh al-Islam atau
mufti di kerajaan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Shafiatu
al-Din.
Ia hidup di Aceh selama tujuh tahun (1637-1644)
sebagai alim, mufti dan penulis produktif yang menentang doktrin wujudiyah. Ia
mengeluarkan fatwa untuk memburu orang yang dianggap sesat, membunuh orang yang
menolak bertobat dari kesesatan, serta membakar buku-buku yang berisi ajaran
sesat. Pada tahun 1054/1644 al-Raniry meninggalkan Aceh kembali ke Ranir karena
mendapatkan serangan balik dari lawan-lawan polemiknya yang tajam dan murid
Syamsuddin yang dituduh menganut paham panteisme.
Al-Raniry memiliki banyak keahlian sebagai sufi,
teolog, fiqh, ahli hadits, sejarawan, ahli perbandingan agama, dan politisi. Ia
seorang khalifah Tarekat Rifa’iyah dan menyebarkan ajaran tarekat ini ke
wilayah Melayu. Di samping itu, ia juga menganut tarekat Aydarusiyah dan
Qadiriyah. Ia banyak menulis masalah kalam dan tasawuf, menganut aliran
Asy’ariyah, dan menganut paham wahdat al-wujud yang moderat.
Al-Raniry merupakan tokoh terakhir yang terdokumentasi
sebagai pengaruh langsung tarekat yang berkembang di Indonesia dari India.
Sepeninggalnya, cabang-cabang tarekat dari India berkembang dulu di
Makkah-Madinah baru kemudian dibawa ke Indonesia, di antaranya adalah Tarekat
Syattariyah yang dibawa oleh Abdul Rauf Singkel.
Abdul Rauf beIajar ke Makkah-Madinah selama 19 tahun
dengan para guru besar aI-Qusyasyi, Ibrahim al-Kurani, serta putranya Muhammad
Thahir di Madinah. Sekembalinya dari Makkah tahun 1661, ia menjadi ahli fiqh
terkenal di Aceh serta seorang sufi yang mencari keseimbangan antara berbagai
pandangan para pendahulunya dengan mengajarkan zikir dan wirid Syattariyah.
Muridnya menyebarkan tarekat ini ke Sumatra Barat melalui Burhanuddin Ulakan,
serta ke Jawa melalui Muhyidin dan Pamijahan yang sampai sekarang ajarannya
masih diamalkan di pedesaan.
Al-Qusyasyi (w. 1660) dan al-Kurani (w. 1691) mewakili
sintesa antara tradisi intelektual sufi India dan Mesir. Mereka adalah pewaris
keulamaan Zakariya al-Anshari dan ‘Abd al-Wahab aI-Sya’ranI dalam bidang fiqh
dan tasawuf, sekaligus mereka berbaiat menjadi pengikut sejumlah tarekat India,
yang paling berpengaruh, di antaranya Tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah.
Kedua tarekat ini pada mulanya diperkenalkan di Madinah oleh seorang Syaikh
India pada tahun 1605 bernama Sibghatullah.
Di antara tarekat yang diajarkan al-Qusyasyi dan
al-Kurani, Tarekat Syattariyah banyak menarik murid-murid Indonesia, padahal di
Timur Tengah kedua syaikh ini lebih dikenal sebagai penganut Tarekat
Naqsyabandiyah. Keduanya merupakan ulama paling terkenal di kalangan murid yang
berasal dari Indonesia. Selama beberapa generasi murid-murid Indonesia belajar
kepada pengganti al-Kurani dan berbaiat menjadi pengikut Tarekat Syattriyah,
kadang-kadang dipadukan dengan tarekat lain. Tarekat Syattariyah sendiri
relatif mudah berpadu dengan berbagai tradisi nusantara sehingga menjadi
tarekat yang paling “mem-pribumi”. Pada sisi lain melalui Syattariyah berbagai
gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang didasarkan atas
ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.
Salah seorang ulama yang sezaman dengan Abdul Rauf
adalah Yusuf al-Makassari (1626-1699) yang menulis tentang Tarekat
Naqsyabandiyah di bawah judul Al-Risalah al-Naqsyabandiyah. Risalah ini memberi
kesan bahwa al-Makassari benar-benar mengajarkan tarekat ini. Naskah antara
lain berisi teknik-teknik meditasi dan ketentuan-ketentuan zikir sehingga
tarekat ini menjadi tarekat yang pertama terkenal secara luas. Tarekat ini
sudah ada di Indonesia dua abad sebelum Belanda mengenalnya untuk pertama kali.
Ulama dan sufi Indonesia yang pertama sekali menyebut tarekat dalam tulisannya
adalah Syaikh Yusuf al-Makassari.
Al-Makassari mempelajari Tarekat Naqsyabandiyah di
Yaman melalui Syaikh Arab bernama Muhammad Abdul Baqi, walaupun kemudian
belajar dan berguru lagi kepada tokoh Naqsyabandi terkenal lainnya di Madinah
bernama Ibrahim al-Kurani (guru ini di Indonesia lebih terkenal sebagai seorang
syaikh Tarekat Syattariyah yang mengirim Abdul Rauf Singkel sebagai khalifah
untuk menyebarkan Tarekat Syattariyah di Indonesia). Selanjutnya ketika
al-Makassari belajar di Damaskus, ia berguru dan berbaiat menjadi khalifah
Tarekat Khalwatiyah dan mendapat ijazah untuk mengajar tarekat ini. Namun
tarekat ini nanti hanya disebarkan kepada suku Makassar saja, sehingga secara
etnis tarekat ini dikaitkan dengan suku ini. Barangkali dialah orang pertama
yang memperkenalkan Tarekat Khalwatiyah di Indonesia. Di Sulawesi tarekat ini
dihubungkan dengan namanya melalui “Si buta” yang merupakan salah seorang
muridnya bernama Abdul Basir al-Dharir al-Khalwati yang lebih terkenal dengan
nama Tuang Rappang I Wodi.
Syaikh Yusuf al-Makassari sebenarnya dibaiat oleh
sejumlah tarekat dan memperoleh ijazah untuk mengajarkan Tarekat
Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Syattariyah, Ba’alawiyah, Khalwatiyah, juga mengaku
pernah menjadi pengikut Tarekat Dasuqiyah, Syadziliyah, Chistiyah,
‘Aydarusiyah, Ahmadiyah, Kubrawiyah dan beberapa tarekat kurang terkenal
lainnya. Ketika pulang ke Indonesia tahun 1670 dia mengajarkan ajaran spiritual
yang dia sebut Khalwatiyah yang ternyata merupakan gabungan berbagai teknik
spiritual Khalwatiyah dengan berbagai teknik yang dipilih dari tarekat-tarekat
lainnya. Tarekat Khalwatiyah Yusuf ini sekarang mengakar di Sulawesi Selatan,
terutama di kalangan para bangsawan Makassar.
Hampir satu abad kemudian orang Indonesia yang
bermukim di Arab tertarik kepada ajaran Muhammad bin Abdul Karim al-Samman (w.
1775) di Madinah, pendiri Tarekat Sammaniyah yang merupakan gabungan
Tarekat-tarekat Khalwatiyah, Qadiriyah dan Naqsyabandiyah dengan tarekat Afrika
Utara Syadziliyah. Ia mengembangkan cara berzikir baru yang ekstatik dan
menyusun sebuah ratib (bacaan yang mengandung doa-do’a dari ayat al-Qur’an)
sendiri. Secara formal tarekat ini merupakan salah satu cabang Tarekat
Khalwatiyah, dalam arti silsilah Samman hanya menyebut afiliasi Khalwatiyahnya
melalui gurunya Musthafa al-Bakri, namun ia telah menjadi sebuah tarekat
tersendiri, dengan zawiyah sendiri, dengan kelompok pengikut lokal ketika sang
syaikh masih hidup. Murid Indonesia al-Samman yang paling terkenal adalah Abdul
Shamad al-Palimbani, pengarang sejumlah kitab penting berbahasa Melayu. Beberapa
ulama Palembang lainnya berafiliasi dengan tarekat ini sehingga tarekat ini
mendapat kedudukan yang kokoh di kesultanan Palembang di mana Sultan Palembang
menyediakan sejumlah dana untuk membangun zawiyah Samman di Jeddah.
Orang Indonesia yang bermukim di Arab sesudah syaikh
Samman wafat belajar ke khalifahnya yang bernama Shiddiq bin Umar Khan. Salah
seorang yang menyebarkan tarekat ini ke Indonesia adalah Nafis al-Banjari yang
menulis karyanya al-Durr al-Nafis dalam bahasa Melayu, dan menyebarkan tarekat
ini di Kalimantan. Nafis al-Banjari diketahui juga menganut berbagai tarekat
lain seperti Qadiriyah, Syattariyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah dan
Sammaniyah.
Tarekat Tijaniyyah didirikan oleh Syaikh Ahmad bin
Muhammad al-Tijani (1150-1230 H/1737-1815 M) yang lahir di ’Ain Madi, Aljazair
Selatan, dan meninggal di Fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Perkembangan yang
cukup mencolok dari Tarekat Tijaniyyah ini ternyata dinilai dapat menyaingi
otoritas Usmaniyyah sehingga al-Tijani dan para pengikutnya dipaksa
meninggalkan Aijazair. Al-Tijani kemudian pindah ke Fez pada 1798, dan hidup di
sana hingga wafat. Ketika bangkit gerakan Wahhabiyah yang memusuhi kaum sufi
dan tarekat yang menjauhi dunia dan melestarikan tradisi penghormatan kuburan
syaik-syaikh tarekat, Tarekat Tijaniyyah justru Iebih berkembang. Perkembangan
tarekat ini semakin pesat terutama setelah mendapat dukungan dan penguasa
Maroko, Maulay Sulaiman, yang berkepentingan mendekati al-Tijani untuk
menghadapi persaingan dengan zawiyah-zawiyah para syarif yang dinilai dapat
merongrong kekuasaannya. Tarekat Tijaniyyah masuk ke Indonesia di tahun dua
puluhan, dan banyak mendapat pengikut terutama di Pulau Jawa.
Di Sulawesi Selatan Tarekat Sammaniyah bertemu dengan
Tarekat Khalwatiyah Yusuf. Keduanya bersaing dan saling mempengaruhi sehingga
menjadi tarekat Khalwatiyah Samman. Tarekat Khalwatiyah Samman ini telah
berkembang menjadi sedikit berbeda dengan ritual cabang-cabang Sammaniyah
lainnya di nusantara. Keanggotaannya terbatas pada kelompok etnis Bugis.
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan tarekat gabungan
serupa dengan Sammaniyah, yakni teknik-teknik spiritual Tarekat Qadiriyah dan
Naqsyabandiyah menjadi unsur utamanya ditambah dengan unsur-unsur tarekat lain.
Tarekat ini merupakan satu-satunya tarekat di antara tarekat-tarekat
mu’tabarah, yang didirikan oleh ulama asli Indonesia Ahmad Khatib Sambas
(Kalimantan Barat) yang lama belajar di Makkah dan sangat dihormati. Ia ahli
dalam bidang fiqh, ajaran tentang ketuhanan dan amalan-amalan sufi. Ia mempunyai
banyak pengikut, menjadi guru Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang
menggantikan Tarekat Sammaniyah sebagai tarekat paling populer di Indonesia.
Ketika ia wafat tahun 1873 atau 1875, khalifahnya, Abdul Karim dari Banten,
menggantikannya sebagai syaikh tertinggi tarekat ini. Abdul Karim harus ke
Makkah untuk menggantikan kedudukan sang syaikh. Dua orang khalifah utama
lainnya adalah Kiai Thalhah dari Cirebon dan seorang Kiai Madura bernama Kiai
Ahmad Hasbullah. Abdul Karim adalah pimpinan pusat terakhir tarekat ini. Sejak
wafatnya tarekat ini terpecah menjadi sejumlah cabang yang masing-masing
berdiri sendiri yang berasal dari ketiga orang khalifah tersebut.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sekarang merupakan
salah satu dari dua tarekat yang memiliki jumlah pengikut paling besar di
Indonesia. Tarekat lainnya adalah Naqsyabandiyah Khahidiyah yang tersebar ke
seluruh Indonesia berkat zawiyah yang didirikan oleh khalifah dan Maulana
Khalid bernama Abdullah al-Arzinjani di Jabal Abu Qubais di Makkah. Para
pengganti Abdullah, Sulaiman al-Qirimi, Sulaiman al-Zuhdi dan Ali Ridha
mengarahkan penyebaran tarekatnya kepada orang-orang Indonesia yang mengunjungi
Makkah dan Madinah dalam jumlah yang Iebih besar lagi selama dasawarsa terakhir
abad ke-19. Ribuan orang dibaiat menjadi pengikut tarekat ini dan menjalani
latihan selama berkhalwat di zawiyah tersebut. Di tempat ini pula lusinan orang
Indonesia menerima ijazah untuk mengajarkan tarekat ini di kampung halamannya.
Tarekat Chisytiyah, sebuah tarekat kelahiran India.
Syaikh Mu’in al-Din Chisyti (w. 1236) telah berhasil mempopulerkan tarekat ini
keluar India. Di awal pendirinya, tarekat ini berideologi Sunni. Hal ini
terbukti bahwa para sufi awal Chisti di India menjadikan ‘Awarifal-Ma’arif
karya Syaikh Syihab al-Din Abu Hafs Umar Suhrawardi (539 H./1 145 M -632 H/i
234 M) sebagai kitab pegangan mereka. Kitab itu juga menjadi dasar bagi mereka
para guru Chisytiyah dalam mengajar murid-muridnya. Selain ‘Awarif, Kasyf
al-Mahjub karya al-Hujwiri juga sangat populer digunakan kaum Chisti. Syaikh
Nizam al-Din Auliya sampai mengatakan, “Siapa pun (seorang salik) yang tak
memiliki referensi spiritual, maka Kasyf al-Mahjub cukup baginya (untuk
dijadikan pegangan). Selain kedua kitab di atas, Malfhuzat Syaikh Nizam al-Din
Auliya, Syaikh Nashir al-Din Chiragi Dihli, Syaikh Burhan al-Din Gharib,
Khwajah Bandah Nawaz Gizu Daraz, juga menjadi gagasan-gagasan yang kuat dan
akurat bagi pembentukan ajaran Tarekat Chisytiyah.
Tarekat Mawlawiyah kelahiran Turki ini dikenal luas
baik di negeri Muslim ataupun di Barat, terutama melalui ‘whirling darvish’nya.
Maulana Jalal al-Din Rumi (w. 1273) dengan ‘Matsnawi’ nya, menjadikan
puisi-puisi karangannya sebagai salah satu pusat inspirasi karya puitis
spiritual. Seorang orientalis yang telah sangat berjasa dalam memperkenalkan
Rumi ke dunia Barat adalah Reynold A. Nicholson yang telah bukan hanya mengedit
secara kritis semua naskah matsnawi, tetapi juga menerjemahkan dengan baik
seluruh naskah tersebut (sebanyak 6 buku) ke dalam bahasa Inggris. Demikian
juga ia telah menerjemahkan dan menyeleksi dari Divani Syams-i Tabriz.
Sedangkan karya Rumi yang lain, Fihi Ma Fihi, telah diterjemahkan oleh Arberry
dengan judul Discourse of Rumi. Tokoh lain yang sangat berjasa dalam
memperkenalkan Rumi ke dunia Barat adalah Prof. Annemarie Schimmel (w. 2003),
yang telah menulis dengan penuh penghargaan dan kebanggaan tentang karya-karya
Rumi, seperti 'l am Wind You Are Fire: The Life and Work of Rumi', dan 'The
Triumphal Sun: A Study of the Works of Jalaludin Rumi'.
Tarekat Ni’matullahi, sebuah tarekat kelahiran Iran,
dikenal di dunia Muslim Syi’i baik di tanah kelahirannya ataupun di dunia
Barat. Tokoh tarekat ini di masa kontemporer sekarang yaitu Javad Nurbakhsy
yang cukup produktif menulis karya-karyanya. Menurutnya Tarekat Ni’matullah
saat ini mempunyai banyak pengikut di Amerika Serikat, Eropa, dan khususnya di
Persia. Dalam spiritualitas Ni’matullahi dan disiplin-disiplin kontemplatif,
tarekat Nimatullahi ini menekankan persaudaraan dan kesetaraan seluruh umat
manusia, penghormatan tanpa prasangka pada semua di dunia ini, juga pengabdian
dan cinta kepada sesama manusia tanpa mempedulikan perbedaan keyakinan, budaya,
dan kebangsaan. Dalam tarekat ini praktik tasawuf bertujuan menciptakan
karakter yang sangat etis dalam kepribadian lahiriah (zhahir), dan membimbing
hati untuk menghimpun pelbagai kualitas dan keutamaan manusia serta mencapai
pemahaman dan visi tunggal dan utuh dalam jiwa batiniah (bathin). Penyebaran
tasawuf mestilah bertujuan membidik realitas Islam agar dapat dibangkitkan
sikap cinta yang mampu menyatukan para pemeluk dari pelbagai agama dan
keyakinan. Dengan energi tasawuf, segala perbedaan dan perselisihan sektarian
dihilangkan, karena seorang sufi mengarahkan perhatiannya pada wilayah Keesaan
Ilahi (tauhid), dan dari sudut pandang ini memandang setiap orang dalam
persaudaraan dan persamaan.
Tarekat Sanusiyah yang didirikan oleh Muhammad bin
‘Ali al-Sanusi (1787-1859), pengarang kitab al-Salsabil al-Ma’infi al-Thara’iq
al-Arba’in dan al-Masa’il al-’Ashar. Di antara literatur lainnya, melalui kitab
ini sejumlah tarekat mu’tabarah disebut dan dijelaskan. Kedua kitab ini
termasuk rujukan yang digunakan oleh Jam’iyah Ahlith Thoriqoh Mu’tabaroh
An-Nahdliyyah. Trimingham mencatat bahwa beliau telah mendirikan sebuah zawiyah
di Abu Qubais Makkah. Beliau terpaksa meninggalkan Makkah pada tahun 1840 dan
kemudian tinggal di bukit yang bernama Jabal Akhdhar di daerah Cyrenaica.
Sumberhttp://sufinews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar