Perjalanan bersama Ilmu Amaliah dan Amal Ilmiah Menyambut Pecinta Kesucian jiwa mengarungi Lautan Tanpa Tepi Mencari Barokah dan Menabur Barokah untuk Sesama.

Selasa, 20 Desember 2011

Thoriqoh Chistiyyah

Chisytiyyah Pernah Bertemu Syekh Abdul Qodir Jaelani
INDIA, negara jajahan Inggris ini ternyata tidak saja kreatif melahirkan film-film yang populer di Indonesia. Tapi, juga melahirkan tarekat Chisytiyyah. Imam tarekat
Chisytiyyah ini adalah Khwaja Mu’inuddin Hasan Sanjari Chisyti, ia juga dijuluki Nabi al-Hind (Nabi India), Gharib Nawaz (penyantun orang-orang miskin), Khwaja-I-khwajagan (imam segala imam), Khwaja-I-Buzurg (Imam Agung), Atha’ al Rasul (Pemberian Nabi), dan Khwaja-I-Ajmeri (wali dari Ajmer). Chisyti lahir pada 1142 M atau sebagian ahli tarekat menyebutkan tahun 1136 M di Sanjar, sebuah kota di Sistan, pinggiran Khurasan, dan masa mudanya dihabiskan di Sanjar, India.

Ia murid dari dan pengganti Khwaja Utsman Haruni. Sesudah berbaiat, selama 20 tahun Chisyti hidup bersama Syekh Najmuddin Kubro, Syekh Awhaduddin Kirmani, Syekh Syihabuddin Suhrawardi, dan Khwaja Yusuf Hamadani. Pertemuannya dengan Syekh Abdul Qodir Jaelani yang dibuktikan dengan berbagai catatan sejarah. Ia wafat pada hari Jumat, bulan Rajab 632 H/1235 M dan dimakamkan di Ajmer, India.

Dalam tarekat Chisytiyyah sebelum Syekh memberikan perintah labih jauh kepada murid, ia menyuruhnya untuk berpuasa sehari, terutama pada hari Kamis. Kemudian Syekh menyuruhnya untuk mengucapkan istighfar dan durud sepuluh kali serta membaca ayat al-Quran; Annisa: 103: “…Maka ingatlah Allah di waktu kamu berdiri, duduk, dan berbaring,…”

Para Syekh tarekat Chisytiyyah menganjurkan metode zikir berikut ini: Murid mesti duduk bersila, dan menghadap kiblat. Ia tidak harus berwudhu lebih dahulu, namun akan lebih sempurna jika ia berwudhu. Duduk dengan tegak, menutup kedua matanya, dan meletakkan kedua tangannya di atas lututnya. Jika ia duduk bersila, ia harus menahan kima atau nadi kaki kirinya dengan jari kaki kanannya. Posisi ini bisa membuat hati merasa hangat mampu menghilangkan bisikan-bisikan was-was. Dengan duduk seperti itu murid mulai melakukan zikir jali (keras) atau khafi (diam).

Dalam tarekat Chisytiyyah, Dzikr-I-Haddadi juga diamalkan sebagaimana dalam tarekat Qodiriyah. Seperti dituturkan Imam Abu Hafsh Haddad. Metode pengamalannya adalah: sang Dzakir (orang yang berdzikir) mesti duduk dengan melipat kedua kakinya sedemikian rupa sehingga kedua pahanya berada dalam keadaan istirahat di tanah. Kemudian ia mesti membentangkan kedua tangannya tinggi-tinggi ke atas. Dan ketika mengucapkan Laailaaha, ia berdiri di atas kedua lututnya dan kemudian kembali ke posisi semula. Lalu meletakkan kedua tangannya di antara kedua pahanya yang terlipat dan sampil mengucapkan illallaah-dengan memukul dadanya dengan kata-kata yang sarat (penuh) dengan makna keagungan dan kebesaran Allah swt. Sebagian orang mengucapkan Laailaaha dari hati dan membawanya ke bahu kanan, serta mengetukkan kalimat illallaah. Sebagian lagi mengetukkan kalimat hu (Dia Yang Maha Esa) pada dada.

Sang Dzakir antara lain diperintahkan melakukan zikir tiga ketukan: zikr-I-she-paaya. Ada tiga rukun dalam zikir ini: yaitu nama Allah, perenungan atas sifat-sifat-Nya (Maha Melihat, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, dan sebagainya), serta adanya perantara. Sang Dzakir dengan memahami maknanya-mengucapkan Allaahu ‘alimun, Allaahu bashirun, Allaahu sami’un. Ini disebut nuzul atau tangga turun. Gerakan ganda ini disebut sebuah dawr atau sirkulasi yakni sebuah zikir yang terdiri atas ‘uruj dan nuzul. Rahasia ‘uruj dan nuzul adalah bahwa jangkauan pendengaran lebih terbatas dibandingkan dengan jangkauan penglihatan, dan jangkauan penglihatan lebih terbatas dibandingkan dengan jangkauan pengetahuan.

Karena menurut Chisytiyyah dalam tahap awalnya, sang hamba terbelenggu oleh akalnya dan apa yang diamatinya, yang lebih sempit ketimbang semua tahap lainnya. Karena itu, ia menempatkan sami’ lebih dahulu dan ketika sesudah mengalami kemajuan, ia sampai pada tahap kegaiban yang luas, ia pun menempatkan bashir lebih dahulu. Ketika sesudah mengalami kemajuan, ia sampai pada tahap “kegaiban dalam kegaiban” yang bahkan lebih luas lagi, ia pun memikirkan ‘alim, dan kemudian ia kembali.

Dalam zikir tiga ketukan ini sang dzakir mesti menahan napasnya sedemikian rupa sehingga secara berangsur-angsur, dari dua hingga tiga kali, zikir ini bisa diulangi sebanyak 40 kali sampai 50 kali. Ini bisa membantu menghangatkan hati, agar lemak dalam hati tempat penghasut yang melahirkan berbagai perasaan kemunafikan dalam hati, bisa terbakar, dan sehingga sang dzakir diliputi oleh cinta Allah dan keadaan fana (kesementaraan) diri bisa dikembangkan.

Selain itu jamaah tarekat Chisytiyyah mengamalkan dzikir pas-I-anfas atau zikir menjaga napas sebagai berikut: Orang yang berzikir mengucapkan Laailaaha dalam napas yang dihembuskan, dan illallaah dalam napas yang dihirup, dengan lidah hati. Artinya, penafian (Laailaaha) dilakukan ketika napas keluar, dan penegasan dilakukan ketika napas masuk. Selama keluar-masuknya napas ini pandangan diarahkan kepada pusar. Zikir ini mesti sering diulang-ulang agar pernapasan itu sendiri menjadi dzakir, baik di waktu sang dzakir itu tidur maupun terbangun.

Bahkan zikir di bawah ini sangat efektif untuk mengobati berbagai penyakit: yaitu sang dzakir memukul sisi sebelah dada kiri dengan Ya Ahad (Wahai Yang Mahaesa), pada sisi sebelah kanan dengan Ya Shamad (Wahai zat tempat meminta), dan Ya Witr (Wahai Yang Mahaganjil) pada hati. Para sufi terkemuka berpandangan bahwa ketika diri manusia terlepas dari segenap kesenangan duniawi, dan wujud bathiniyahnya makin bertambah kuat dengan mengingat Allah, maka terjalinlan sebuah hubungan antara dirinya dengan alam ruhani. Disebabkan hubungan ini hati manusia pun tercerahkan dan ia pun melihat zat Allah serta mengetahui perintah-perintah dan keridhaan Allah. Kini cahaya pun terpantul dari pandangan batin pada mata lahir dan ia pun mulai melihat dengan indera-indera lahiriah berbagai alam spiritual batiniah. Pada tahap ini, ia sudah terlepas dari alam lahiriah dan batiniah.

Kontemplasi yang ditetapkan Sufi Chisytiyyah:
1. Kontemplasi atas nama diri Allah; Sang penempuh jalan spiritual pergi ke suatu tempat terpencil dan merenungkan bahwa kata Allah tertulis dengan tinta emas di hatinya bahwa ia tengah membaca dengan penuh gairah dan semangat, dan berada di hadapan Allah. Ia merasa asyik dengan itu sehingga kehilangan kesadaran tentang dirinya sendiri.

2. Kontemplasi Allahu hadir; Allah Maha Melihat dan Allah bersamaku. Sang penempuh jalan spiritual mestilah berpandangan bahwa Allah senantiasa bersama dirinya dan bahwa mustahil Allah berpisah darinya. Dilakukan dengan menutup matanya dan memusatkan perhatian pada hatinya dan berpandangan bahwa Allah bersamanya dan melihatnya.

3. Kontemplasi Nashirah; sang penempuh jalan spiritual membuka matanya dan mengarahkan pandangannya pada ujung hidungnya. Ini dilakukan sampai bagian hitam matanya sama sekali hilang (tidak terlihat), dan yang tinggal hanya bagian putihnya. Dan saat melakukan ini ia memikirkan bahwa Allah hadir dan melihat dirinya. Berbagai perasaan munafik bisa dihilangkan dengan kontemplasi ini serta kedamaian bias diraihnya.

4. Kontemplasi Mahmudah; dengan membuka matanya dan mengarahkan pandangannya ke tengah-tengah alis mata serta merenungkan kebesaran dan keesaan Allah.

5. Kontemplasi Aku tidak ada, yang ada hanya Allah; dilakukan dengan dia dan merenungkan hanya untuk Allah.

6. Kontemplasi Mi’raj al-Arifin (kenaikan kaum arif). Di sini mesti menyadari bahwa segenap wujud yang bersifat mungkin bagaikan cermin. Dan segenap capaian mereka yang bersifat material maupun spiritual di dalamnya tidak lain kecuali cerminan dari nama-nama dan sifat-sifat Allah swt. Seseorang mesti membayangkan seluruh alam semesta ini sebagai cermin dan melihat Allah di dalamnya dengan segenap nama dan sifat-Nya, agar ia bisa dimasukkan ke dalam orang-orang yang telah menyaksikan Allah (ahl al-musyahadah).

7. Kontemplasi Pendekatan (Muqarabah), Penyaksian (Musyahadah), Pengawasan (Mu’ayanah); seseorang duduk seperti salat, bersama syekhnya, merenungkan alim, sami’, bashir (Maha Mengetahui, Maha Mendengar, Maha Melihat). Kemudian mengarahkan pandangannya ke hati, lalu menutupnya. Dan lalu melihat hatinya dengan mata batin dan berpikir bahwa ia tengah menyaksikan Allah. Kemudian menengadahkan tangannya ke langit dan tetap membuka tangannya. Lalu ia membayangkan bahwa ruhnya telah meninggalkan tubuhnya dan, sambil menembus langit ia menyaksikan Allah secara bertatap-muka.

8. Kontemplasi atas Ayat al-Quran: “Tidakkah engkau lihat Tuhanmu?… (Al-Furqan; 45). Sesudah merenungkan ayat ini, seseorang yang sedang mengalami ekstase (puncak spiritual) mengungkapkan keadaan mentalnya dalam-bait syair:
Engkaulah yang kucari, wahai kekasihku!
Ke manapun kuedarkan pandangan, yang kucari hanya diri-Mu!
Mataku bermaksud mencar-iMu semata,
Doa ungkapkan Diri-Mu kepadaku, siapapun yang kulihat!
Seribu jendela terbuka untuk melihat-Mu,
Jendela mana saja yang kubuka, tujuanku hanya Diri-Mu!
Kematianlah jika aku tak melihat-Mu,
Jauh lebih baik aku memandang-Mu daripada mati!

Kaum sufi dalam tarekat Chisytiyyah juga merenungkan ayat-ayat al-Quran ini untuk mengosongkan sirr dan mencapai kehadiran abadi bersama Allah:


1. …ke mana pun engkau menghadapkan wajahmu, di situ ada wajah Allah,…(Albaqarah: 115).
2. …Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya (Qaf;:16).
3. Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat (Al-Waqi’ah: 85).
4. …Dia bersamamu di mana pun kamu berada… (Al-Hadid: 4).
5. Dan juga dalam dirimu, apakah tidak kamu perhatikan? (Adzdzaariyat:21). Dan lain sebagainya.

Syekh Kalimullah adalah seorang syekh berkedudukan tinggi dalam tarekat Chisytiyyah. Ia adalah khalihah dan murid syekh Yahya Madani Chisyti, lahir pada 1060 H/1460 M, dan meninggal pada 1142 H/1720 M.
Sumber: http://sufinews.com
Catatan harianku
Suara knalpot mulai bising
Teriakan para kenek dan calo angkot
Gemuruh dengusan kereta Rangkas
Peluit peluit pengatur jalan
Kumandang pedagang kaki lima menjajakan barangnya
Orang gila menjadi idola
TSSB ……..( telaten saat saat begini ) judi masa kini
Kawanku ………
Sibuk bermain kartu
Mengadu nasib dengan ………(harapan dan mimpi mimpi )
Lupa waktu lupa mantu
Bagaimana ini ? kataku
Siang ini …………
Kamis Pon malam Jum'at Wage
Malam satu Romadlon
Seribu Empat Ratus sebelas Hijriyah
Malam satu Poso
Seribu sembilan ratus dua belas pada tahun HE
Malam lima belas Maret ,
Seribu sembilan ratus sembilan puluh satu Masehi
Di pinggir jalan kereta Jakarta - Merak
Kavling atas Serpong ,Tangerang ,Jabar waktu itu
Aku lahir
"Marsudi luhur ing Jiwo" namaku
Saudara saudaraku,teman temanku
Menyambutku dengan harap harap cemas
Seperti menunggu nomer lotre
Waktu berjalan sepihak
Tak perdulikan aku ,
Dari detik ke menit ,dari menit ke jam ,
Dari hari ke minggu ,dari minggu ke bulan ,
Dari bulan ke tahun ,kini aku berusia tiga tahun ,
Aku mulai bersolek ,berjalan ,belajar ngomong ,
Orang pun mulai mengenalku
Dadaku bergambar bintang ,
Bintang lima yang ada didada Gatotkaca ,
Kutang gundil Onto kusumo,
Terbang ke mana mana ,ada di mana mana ,
Bersama siapa saja
Sakti mandra guna ,otot kawat balung wesi
Tangguh dalam menempuh dan mengarungi kehidupan
Sinar ke emasan memancar dari sembilan penjuru
Berputar setiap waktu ,mengembalikan kea rah takdir
Mengikuti putaran roda kehidupan ,
Bagaikan cakra wicaksononya Sri Batoro Kresno !
Memancar ke setiap celah ,mengalir ke setiap lubang
Delapan penjuru mata angin dan stu kesempatan
Di tengahku ada lambing cinta ,merah putih
Berani berniat suci ,meraih cita cita ,
"Migunani Marang Liyan ,Ora Gawe Kapitunaning Liyan ,Marsudi Luhurr Ing Jiwo"
Biru Langit warna bajuku ,coklat tanah warna celanaku
Berpijak pada kebijaksanaan ,tinggi cita cita dan harapanku
Aku berjalan menyusuri jalan sepi
Menembus mega ,menerjang awan
"Maju terus pantang mundur , Berakit rakit ke hulu ,Berenang renang ketepian
Aku mencari diriku sendiri , di gundukan sampah
Di meja meja judi ,di pasar ,di meja para dukun ,
Di tukang ramal ,dibotol minuman ,di celoteh anak anak kecil
Aku selalu bertanya siapa aku ?
Aku selalu bertanya siapa bapakku?
Siapa ibuku ?
Di mana aku ?
Di mana engkau ?
Di mana siapa?
Aku berjalan terus ,mengikuti guratan cahaya cahaya
Meski tertatih tatih aku tetap berjalan ,
Tidak akan berhenti sebelum ajal tiba
****531***

Rabu, 14 Desember 2011

Meraih Kebahagiaan Sejati
Oleh. Cecep Zakarias El Bilad
“Pikiran yang benar ialah yang membuka jalan; jalan yang benar ialah yang dilalui seorang raja spiritual.”
(Rumi)

“Jiwa yang rela itu seperti samudera. Kedalaman dan keluasannya akan menyerap setiap benda yang jatuh ke dalamnya. Seberapa besar pun benda itu. Ia tetap tenang bergelombang.”
(Haidar Bagir)
Seperti halnya manusia, dunia pun berumur. Tapi berbeda dengan manusia, dunia, semakin senja umurnya, semakin menawan rupa dan penampilannya. Semakin banyak manusia terpikat. Semakin dunia, dengan segala gemerlap dan kenikmatannya, menjadi puncak impian hampir setiap insan.

Namun bersamaan insan-insan berjibaku, bertengkar atau bahkan saling menghancurkan demi mengejar impian masing-masing, waktu terus berjalan. Dunia tetap bernafas seolah abadi. Sementara manusia datang dan pegi. Satu lahir, membawa impian-impian baru. Yang lain mati membawa serta impian-impian yang tinggal impian.

Demikian kurang lebih refleksi dari fenomena kehidupan. Banyak sekali orang yang menganggap hidup ini segala-galanya. Mereka rela menghabiskan hampir seluruh umurnya untuk meraih semua hasrat dan impian hidupnya. Bahkan tak sedikit yang melakukan semua cara ,meski mengorbankan orang lain dan nilai-nilai kepatutan. Seolah hidup ini bagi mereka, adalah satu-satunya dan untuk selamanya.

Anggapan demikianlah yang menjadi sumber malapetaka di muka bumi tanpa kecuali tanah air kita: korupsi, kemiskinan, perang, penjajahan, kediktatoran, kerusakan alam, dan lain sebagainya. Tak satu pun negeri di muka bumi ini yang benar-benar terbebas dari malapetaka itu. Negeri semakmur Amerika dan Singapura pun, nyatanya menyangga kedigdayaannya dengan eksploitasi negeri-negeri lain yang lemah seperti Indonesia ini. Berapa banyak kekayaan alam negeri kita diangkut ke Amerika. Berapa triliun uang haram yang ditanam di Singapura oleh para koruptor negeri ini.

Paradigma/cara pandang hidup menjadi kunci persoalan. Artinya, bagaimana cara kita memandang kehidupan berpengaruh secara mendasar terhadap kondisi sosial, sebab kita menjadi bagian darinya. Paradigma egoistik, misalnya, akan melahirkan penindasan. Ini berlaku bagi siapa saja. Sebab, relasi sosial menindas-ditindas adalah persoalan kesempatan. Yang saat ini menindas ialah mereka yang mempunyai kesempatan untuk itu. Namun yang saat ini tertindas pun, jika satu saat memperoleh kesempatan, tak menutup kemungkinan akan melakukan penindasan pula. Saat para pejabat menyalahgunakan wewenangnya, saat pedagang mengurangi timbangan, saat para produsen makanan memproduksi makanan tak layak makan, saat para penyedia transportasi menarik ongkos melampaui tarif, dan lain sebagainya, saat itulah relasi sosial yang dzolim itu terjadi.

Jika ditelusuri, benang merahnya adalah paradigma hidup seperti direfleksikan di atas: seolah hidup ini selamanya; apapun layak dilakukan demi mencapai semua hasrat dan impian. Maka paradigma hidup menjadi hal utama dan pertama yang perlu dibenahi. Sebab paradigma menentukan cara berpikir, cara bersikap dan bertindak, termasuk cara membangun relasi sosial. Ia merupakan kerangka manusia untuk melihat dan memahami realitas kehidupan.

Solusi yang berfokus pada paradigma individual inilah yang ditawarkan agama-agama, tak terkecuali Islam. Diakui atau tidak, dalam sejarah manusia agama telah membuktikan diri sebagai satu-satunya ‘sosok’ yang mampu menawarkan solusi terbaik. Ini bisa dilihat, paling tidak dari fakta bahwa mayoritas umat manusia menganut sebuah kepercayaan agama. Bahkan tak sedikit yang berpindah dari satu agama ke agama lain mencari paradigma yang menurut mereka terbaik.

Jika kemudian ada sejarah penindasan yang berbasis agama, seperti yang terjadi di Eropa pada Zaman Pertengahan, ini hanya sekelumit contoh penyelewengan agama. Akhirnya, agama pula (kaum Protestan) yang menjadi basis perlawanan terhadap para penindas itu. Fakta historis serupa juga ditemukan dalam sejarah Islam. Tanpa terkecoh dengan sejarah kelam kaum-kaum beragama, agama tetaplah agama. Sebuah tata nilai suci yang menawarkan solusi problematika umat manusia demi kebahagiaan sejati.

Universalitas Islam

Universal ialah sifat dasar sebuah agama, sehingga ia bisa tumbuh di mana saja dan berumur panjang sepanjang umur peradaban manusia. Islam ialah agama. universalitasnya ditegaskan sendiri dalam diktum terkenal dalam al-Quran, rahmatan li al-‘ālamīn (rahmat bagi semesta alam).

Dan Kami (Allah) mengutus engkau Muhammad sebagai rahmat bagi seluruh alam (al-Anbiya:107).

Rahmat di sini bisa dimaknakan sebagai kebaikan, kedamaian atau keselamatan. Secara etimologis, kata tersebut seakar dengan kata ‘rahmân’ dan ‘rahîm’, dua nama Allah, yakni kata ‘rahima’ yang berarti penuh kasih sayang, penuh perhatian tulus. Pada ayat tersebut, Muhammad SAW dijuluki sebagai rahmat bagi semesta alam. Ia adalah sosok yang dipilih Tuhan untuk menyampaikan pesan-pesan keselamatan dan perdamaian. Sosok Muhammad di samping sebagai penyampai, juga merupakan pelaksana yang representatif dari pesan-pesan tersebut. Pribadinya menjadi teladan sepanjang zaman. Setiap kata, sikap dan tindakannya merupakan interpretasi dan penjelasan wahyu.

Penjelasan ayat ini dalam Tafsir al-Kabīr, karya Syaikh Muhammad Fakhruddin al-Razi mengatakan, bahwa Islam merupakan rahmat bagi seluruh umat manusia. Ia tidak hanya berbicara tentang soal-soal yang dikategorikan sebagai agama, tetapi juga nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini tercermin dari sosok Muhammad SAW yang kesantunan dan keadilannya merangkul seluruh kalangan masyarakat di sekitarnya, tidak hanya kaum Muslimin.

Secara kosmologis, bahwa Allah berbicara kepada umat manusia melalui sosok Nabi adalah sebuah kehormatan besar yang tak diperoleh mahluk-mahluk lain. Ini karena, sebagaimana dikatakan Allah sendiri, manusia adalah ciptaan-Nya yang terbaik, dikaruniai akal, dan dinobatkan sebagai khalifah/pemimpin di muka bumi. Manusia mampu mengolah, mengelola atau bahkan menghancurkan alam lingkungannya. Maka dipilihnya manusia sebagai penerima pesan-pesan ilahiah adalah agar pesan-pesan tersebut bisa terpancar ke seluruh alam semesta.

Sementara dari sisi karakter pesan-pesannya, yang membuat Islam universal ialah karena ia berbicara tentang fitrah/hakekat dari alam semesta, segala sesuatu di dalamnya, dan Penciptanya. Ia merupakan pengakuan Allah tentang diri-Nya, prinsip-prinsip penciptaan dan pengaturan ciptaan-ciptaan-Nya. Pengakuan kepada manusia, ciptaannya yang paling sempurna. Pengakuan-Nya ini menjadi setetes pengetahuan Allah untuk manusia dalam menjalankan misi kepemimpinannya di alam semesta (QS.2:30). Sebagai pemimpin, mereka perlu mengetahui hal-hal prinsipil dari apa yang dipimpinnya, agar mampu memahami setiap persoalan yang dihadapi dan mampu merumuskan solusi yang tepat. Demikianlah posisi manusia di alam semesta. Demikian pula maksud Islam diturunkan.

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menciptakan wakil di bumi”. Para malaikat merespon, “apakah Engkau hendak menciptakan para pembuat kerusakan dan huru-hara di muka bumi (sebagai wakil-Mu), padahal kami lah yang selama ini memuji dan mensucikan-Mu?”. Allah menjawab, “Aku mengetahui semua hal yang tidak kalian ketahui”. Kemudian Allah mendeskripsikan kepada Adam segala sesuatu, lalu menyodorkan segala sesuatu tersebut kepada para malaikat. Lalu Allah berkata, “deskripsikan ini semua jika benar kalian itu memang bisa dipercaya!” Para malaikat menjawab, “Maha Suci Engkau, kami tidak mengetahui selain sebatas yang telah Engkau ajarkan pada kami. Engkau Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.” Allah lalu berfirman, “Hai Adam, deskripsikan ini semua!” Pada saat Adam memaparkan deskripsinya, Allah berkata, “bukankah sudah Aku katakana bahwa Aku mengetahui rahasia langit dan bumi, dan juga mengetahui semua yang kalian tunjukan maupun yang kalian sembunyikan?” (al-Baqoroh:30-33).

Maha Suci Dia yang telah menurunkan al-Furqon (al-Quran) melalui seorang hamba-Nya sehingga dia bisa menjadi pemberi peringatan bagi seluruh penghuni semesta. Dia lah Sang Penguasa langit dan bumi; Dia tidak beranak dan tidak pula memiliki (membutuhkan) partner dalam berkuasa. Dia menciptakan segala sesuatu dan menetapkan ukuran yang tepat untuk semuanya itu (al-Furqon:1-2).

Maka dari perspektif kemanusiaan, tema utama Islam ialah seputar identitas manusia. Untuk itu, secara mendasar ayat-ayat al-Quran dan hadits-hadits Nabi berbicara tentang siapa manusia, siapa Tuhan, siapa sesuatu selain manusia dan Tuhan, dan bagaimana relasinya satu sama lain. Itu semua disampaikan melalui simbol-simbol berupa kisah, peristiwa, perintah dan larangan agar mudah dipahami. Islam diturunkan untuk manusia dan dengan bahasa manusia.

Mengenal Diri

Kembali pada soal paradigma hidup. Sebagai Muslim, tentu kita selayaknya membangun sebuah pandangan dasar hidup yang sesuai dengan informasi-informasi Allah dalam al-Quran dan Sunnah. Ada empat pertanyaan yang bisa diajukan sebagai kerangka untuk mengumpulkan dan mengkaji informasi-informasi tersebut: siapa sebenarnya kita? Apa yang sedang kita lakukan di dunia ini? Dari mana kita berasal? Dan, akan ke mana kita esok hari?
Empat pertanyaan tersebut akan kami urai satu per satu sebagai berikut:

1. Siapa sebenarnya kita?

Ada beberapa ayat al-Quran yang memberikan petunjuk jawabannya. Tiga di antaranya adalah:

“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang telah menciptakanmu (al ‘Alaq:1)

“Allah menciptakan manusia dari air mani…” (an-Nahl:4)

“Dan Dialah yang menciptakan dari air itu seorang manusia”… (al-Furqan:54).

Sangat tegas dari ketiganya bahwa manusia adalah wujud yang diciptakan. Allah adalah Sang Pencipta. Dalam konteks ini, kita tidak berbeda dengan wujud-wujud lain di sekitar kita. Semuanya masuk dalam kategori hasil kreasi (mahlūq). Artinya, dalam batas-batas tertentu manusia memang mampu berkreasi/mencipta, sehingga terciptalah peradaban-peradaban. Begitu pun hewan seperti laba-laba yang menciptakan sarangnya. Namun, proses kreasi manusia dan hewan sejatinya hanya merubah dari satu bentuk ke dalam bentuk lain dari bahan-bahan dasar yang telah tersedia seperti air, tanah, api, udara, tumbuhan dan lain sebagainya. Dan hingga kini tak satu pun manusia mampu menciptakan bahan-bahan dasar tersebut. Tak satu pun hasil kreasi manusia yang murni tanpa bahan-bahan dasar tersebut.

Maka jauh dari kemungkinan manusia dapat menciptakan dirinya sendiri atau manusia lainnya. Manusia itu diciptakan. Berarti seluruh potensi, baik fisik maupun non-fisiknya pun adalah ciptaan, termasuk potensi kreatifnya. Siapa yang menciptakan? Dialah Dia, yang dikenal sebagai Tuhan. Maka Tuhan, melalui manusia pilihan-Nya, memperkenalkan diri sebagai Allah, al-Rahmān, al-Rahĭm, al-Awwal, al-Ăkhir, dan lain sebagainya.

Fakta dikotomis antara yang diciptakan (mahlûq) dan yang mencipta (khâliq) ini menjadi pesan, bahwa hakekatnya kita manusia berada pada kelas yang sama dengan hewan, tumbuhan, air, dan entitas-entitas lain di alam raya ini: kelas mahluk. Dari sekian itu, kita manusia memang menempati posisi teratas sebagai yang paling sempurna. Manusia ditunjuk Allah sebagai wakil dengan tugas kepemimpinan di antara para mahluk lain. Namun ini tidak menjadi alasan bagi kita untuk bersikap angkuh, berbangga diri dan sombong. Sebab diri kita, seluruh potensi yang dimiliki, seluruh kekuasaan yang diraih, tak lebih sekedar pemberian (pinjaman). Yang semuanya bisa kapan saja diambil oleh Sang Pemilik. Yang semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban. Maka dalam Islam, semua sikap dan tindakan yang bersumber dari kebanggaan, keangkuhan, kesombongan pribadi dikategorikan sebagai terlaknat/dosa. Allah memperingatkan hal ini dalam sebuah hadits qudsi, seperti terekam dalam buku Misykāt al-Anwār karya Ibn ‘Arabĭ, yang kira-kira artinya, “Arogansi adalah baju kebesaran-Ku, dan kebanggan diri adalah selendang-Ku. Maka siapapun manusia yang menandingiku dengan salah satu dari keduanya, Aku akan melemparnya ke dalam neraka!”

2. Apa yang sedang kita lakukan di dunia ini?
Jawabannya cukup tegas diinformasikan Allah dalam QS.Al-Dzariyat:56:

“Dan Aku ciptakan jin dan manusia hanya untuk menyembah-Ku.”

Kata ‘ya’budūn’ di ayat ini umum diterjemahkan ‘beribadah’. Sementara kata ‘ibadah’ sendiri adalah derivasi dari kata bahasa Arab ‘îbâdah’, dari kata dasar ‘âbada’. Kita diciptakan untuk beribadah, bukan untuk lainnya. Sehinga jawabannya adalah, kita di dunia ini adalah dalam rangka beribadah kepada Allah.

Di masyarakat, kata ‘ibadah’ tidak jarang dipahami sebagai aktifitas-aktifitas tertentu yang diwajibkan atau dianjurkan agama seperti shalat, puasa, zakat, wudhu, sedekah, dan lain-lain. Sehingga ayat ini sering dijadikan dalil bagi sementara orang untuk beragama dengan berhenti pada tingkat ritual. Sementara pandangan hidup, sikap dan perilaku kesehariannya tidak mencerminkan pribadi yang beragama. Atau, bagi bagi mereka yang meninggalkan pergaulan sosial dan menenggelamkan diri sehari-harinya dalam aktifitas ritual.

Jika demikian, tentu akan banyak waktu hidup kita yang habis bukan untuk ibadah, seperti mandi, makan, pergi ke pasar, tidur, berdagang, dan lain-lain. Sebab aktifitas-aktifitas yang diwajibkan atau dianjurkan itu jumlahnya terbatas. Apalagi kemampuan fisik kita pun terbatas untuk melaksanakan seluruhnya. Bukankah ini sebuah pelanggaran atas ayat tersebut? Maka, ‘ya’budūn’ pada ayat itu perlu dimaknakan secara generik, yakni menghamba, patuh dengan penuh kepasrahan, atau mencintai secara totalitas. Sehingga ayat tersebut bisa diartikan secara bebas “Aku menciptakan jin dan manusia tidak lain agar mereka tunduk-patuh kepada-Ku atas dasar cinta yang tulus’.

Ini kiranya sejalan dengan pemaknaan Syaikh al-Razi terhadap ibadah dalam ayat ini, sebagai sikap hidup yang menjunjung tinggi nilai-nilai suci Allah baik yang berupa perintah, larangan, anjuran maupun informasi-informasi. Serta bersikap penuh kasih kepada seluruh ciptaan-Nya. Ayat ini juga berarti bahwa, cara pandang, sikap, perilaku dan aktifitas keseharian kita selayaknya diorientasikan sebagai wujud penghambaan kepada Allah SWT.

Maka seorang Mukmin yang sejati ialah dia yang selalu sadar akan hakekat penciptaannya ini, dan yang kesadarannya ini memancar ke dalam langgam berpikir dan kepribadiannya. Setiap helai pemikiran, kata dan perilakunya dimaknakan secara filosofis sebagai ekspresi ketundukan tulus kepada Allah SWT. Makan, minum, olahraga, berpakaian, bekerja, berkeluarga dimaknakan serupa dengan shalat, puasa, zakat dan ritualisme lainnya sebagai rangkaian peribadatan sehari-hari. Dengan begitu, tidak akan ada ruang, atau paling tidak sedikit ruang bagi aktifitas-aktifitas yang bukan ibadah. Dengan kata lain, komitmen pada kesadaran ini akan memberi sedikit ruang bagi berkembangnya potensi-potensi kemaksiatan dalam diri seorang insan. Jadi, nilai setiap aktifitas kita di hadapan Allah tergantung pada pemaknaannya secara filosofis, baik sebelum, selama maupun sesudah pelaksanaannya.

Penafsiran ini kiranya berkorelasi positif dengan sebuah hadits terkenal:

“Setiap perbuatan itu tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan memperoleh apa yang diniatkannya. Jika dia berhijrah dengan niat rela untuk Allah dan Rasul-Nya, maka demikianlah Allah dan Rasul akan menilainya. Namun jika ia berhijrah karena perkara duniawi atau karena perempuan yang hendak dipinang, maka nilai hijrahnya akan bernilai tidak lebih dari itu saja ” (HR.Bukhori-Muslim). (bersambung)
* Penulis adalah Anggota LDNU PCNU Kab.Bogor; Mahasiswa Pascasarjana Islamic Philosophy di the Islamic College of Advanced Studies (ICAS) Jakarta.
Sumber: http://www.nu.or.id/

Minggu, 11 Desember 2011

Perjalanan Hidup Manusia
Oleh : Nurlaila Zahra
Manusia hidup dengan jalan hidupnya masing-masing. Ada yang kuliah, ada yang kerja, bahkan ada pula yang pengangguran. Ada yang kaya, ada yang sederhana, bahkan tidak sedikit pula mereka yang miskin. Jalan hidup memang merupakan kapasitas dan kadar kemampuan dari seorang hamba yang telah Allah berikan untuknya. Orang kaya di uji dengan kekayaannya, dan orang miskin di uji dengan kemiskinannya. Dengan segala perbedaan ujian itu, dapat dipastikan bahwa kapasitas dan kadar kemampuan seorang hamba pun juga berbeda-beda.
Banyak yang mengira bahwa menjadi kaya itu pasti menyenangkan. Tapi tak sedikit pula orang yang hartanya berlimpah justru kecemasannya berlebih dari orang yang kurang mampu. Cemas akan hartanya yang takut kehilangan, cemas akan kenikmatan duniawi yang dapat membuatnya lalai akan adanya Allah, dan cemas apabila dia mati nanti, dia akan meninggalkan hartanya yang tidak sedikit jumlahnya. Kecemasan-kecemasan seperti itulah yang akhirnya membuat banyak orang kaya menjadi stress.
Banyak, atau mungkin hampir semua orang yang kurang mampu, berharap bisa menjadi orang kaya. Bisa kerja, kuliah, mempunyai hand phone terbaru, memiliki banyak uang, selalu punya sepatu dan baju baru, dan segala kenikmatan-kenikmatan duniawi yang sebenarnya semua itu hanyalah teman sesaat kita di kala hidup di dunia ini. Setelah itu, tak dapat lagi mereka menemani kita di kehidupan selanjutnya. Hanyalah sebuah kain kafan berwarna putih, pakaian agung dari yang teragung, yang akan kita gunakan untuk menghadap Allah swt.
Jangan mengira memiliki semua kemewahan itu bisa membuat kita bahagia. Biasanya kemewahan itu hanyalah modal utama dari rasa keserakahan kita untuk memonopoli diri kita sendiri. SADARLAH! Mungkin semua itu bukan yang terbaik untuk kita. Bisa saja kemewahan itu akan membuat kita lupa akan adanya Allah, akan adanya alam akhirat, akan adanya surga dan neraka, sehingga kita lalai akan kewajiban-kewajiban kita sebagai umat Nabi Muhammad saw.
Jangan pernah mengutuk diri sendiri jika kita terlahir sebagai seorang yang tidak berada. Sebab bisa jadi, yang sedikit itu mungkin bisa membawa kita pada keberkahan, membawa kita pada kebaikan, dan membawa kita pada ketenangan. Bisa jadi yang sedikit itu adalah amal untuk kita sebagai hamba yang selalu berucap syukur pada Allah swt di setiap keadaan. Insya Allah.
Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Mas'ud ra. berkata, Rasulullah bersabda kepada kami, sedang beliau adalah orang jujur dan terpercaya, "Sesungguhnya setiap kalian dikumpulkan penciptaannya dalam rahim ibunya selama empat puluh hari berupa nutfah (sperma) kemudian menjadi ‘alaqah (segumpal darah) selama waktu itu juga kemudian menjadi mudghah (segumpal daging) selama waktu itu pula, kemudian Allah mengutus malaikat untuk meniupkan roh kepadanya dan mencatat empat perkara yang telah ditentukan yaitu rizki, ajal, amal perbuatan, dan sengsara atau bahagianya.
Maka demi Allah yang tiada Tuhan selainNya, sesungguhnya ada seseorang diantara kalian beramal dengan amalan penghuni surga, sehingga tidak ada jarak antara dirinya dengan surga kecuali sehasta saja, namun ketetapan (Allah) mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan ahli neraka, maka ia pun masuk neraka.
Ada seseorang diantara kalian beramal dengan amalan penghuni neraka, sehingga tidak ada jarak antara dirinya dengan neraka kecuali sehasta saja, namun ketetapan (Allah) mendahuluinya, sehingga ia beramal dengan amalan penghuni surga, maka ia pun masuk surga" (HR. Bukhari dan Muslim)
Yakinlah pada diri sendiri. Rizki, jodoh, dan kematian sudah ditentukan oleh Allah. Kita sebagai hambaNya hanya tinggal menjalani tanpa terlepas dari ikhtiar, do'a, dan tawakkal padaNya, sesuai dengan jalan hidup kita masing-masing.
Sumber: http://www.dudung.net

Minggu, 04 Desember 2011

. AJARAN KEDELAPANBELAS
Kunasehatkan kepadamu supaya kamu tidak muram atau mengeluhkan tentang kesusahan yang menimpa kamu dan mengadukannya kepada sahabatmu atau musuhmu. Dan jangan pula kamu menyalahkan Tuhanmu yang menjadikan kesusahan atau ujian itu. Adalah lebih baik kamu menerangkan kebaikan yang diberikan Allah kepadamu dan kesyukuranmu terhadap kebaikan itu. Kamu berbuat bohong dengan menerangkan kesyukuranmu atas karunia apa saja adalah lebih baik daripada kamu menyatakan dan menghebohkan dengan benar kesusahan yang kamu alami. Siapakah orangnya yang tidak pernah mendapatkan karunia Allah ? Allah SWT berfirman, “Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu menghitung ni’mat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zhalim dan sangat mengingkari (ni’mat Allah)” (QS 14:34)
Berapa banyakkah karunia yang telah diberikan Allah kepadamu, sehingga kamu masih tidak sadar juga ? Janganlah kamu merasa senang kepada mahluk, janganlah kamu cinta kepada mahluk dan janganlah kamu menceritakan hal ihwal kamu kepada siapapun. Hendaklah cintamu itu kamu tujukan hanya kepada Allah semata, hendaklah kamu hanya merasa senang kepada-Nya dan hendaklah kamu mengadukan kesusahanmu hanya kepada-Nya pula.
Janganlah kamu melihat yang lain selain Allah, karena yang lain selain Allah iti tidak dapat memberikan mudharat atau manfaat, untung atau rugi, kebaikan atau kejahatan, menghina atau memuliakan, meninggikan atau merendahkan, memiskinkan, menggerakkan dan mendiamkan. Segala apa saja selain Allah, itu adalah ciptaan Allah dan berada di dalam kekuasaan-Nya serta pergerakan merekapun dengan ijin dan kehendak-Nya pula. Mereka akan tetap ada, selagi Allah masih menghendaki mereka untuk ada. Segala sesuatu itu ada di dalam masa yang telah ditentukan oleh Allah. Apa yang telah didahulukan tidak dapat dikemudiankan, dan apa yang telah dikemudiankan tidak dapat di didahulukan. Jika Allah hendak menimpakan bahaya kepada kamu, maka tidak ada yang dapat mengelakkan bahaya itu selain Dia juga. Jika Dia hendak memberikan kebaikan kepada kamu, maka tidak ada yang dapat mengelakkan kebaikan itu datang kepadamu, selain Dia jua.
Oleh karena itu, jika kamu muram dan mengeluh karena hatimu tidak puas ketika kamu mendapatkan kesenangan dan kemewahan, hanya lantaran kamu menginginkan untuk dilebihi dan ditambah nikmat kemewahan dan kesenangan itu, dan kamu menutup mata dari kesenangan dan kemewahan yang telah ada pada kamu dengan menuduh bahwa Allah SWT itu tidak berbuat baik kepadamu, maka Dia akan murka kepadamu, akan menarik kembali kesenangan dan kemewahan dari kamu, akan menyusahkanmu lebih berat lagi dan kamu akan dijauhkan daripada-Nya.
Maka, janganlah kamu mengeluh dan merintihm walaupun badanmu dipotong-potong dengan gunting. Peliharalah diri kamu. Takutlah kepada Allah dan berhati-hatilah.
Sesungguhnya kebanyakan bencana yang menimpa anak Adam itu adalah akibat keluhan dan ketidak ridhaan terhadap Allah. Patutkah seorang hamba Allah untuk mengeluh, muram dan tidak berpuas hati, padahal Allah itu Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Adil, Maha Tahu dan Maha Bijaksana ?
Nabi Muhammad pernah bersabda, “Kasih Allah kepada hamba-Nya adalah melebihi kasih ibu kepada anaknya.”
Wahai manusia, tunjukkanlah sopan santunmu yang baik. Bersabarlah di dalam menghadapi kesusahan, walaupun kamu merasa lesu letih untuk bersabar itu. Bersabarlah, di samping kamu bertawakal dan berserah diri kepada Allah. Ridhalah dengan Dia.
Jika kamu masih mendapatkan dirimu masih ada, maka hapuskanlah ke-ada-an kamu itu. Jika kamu sudah tidak ada, maka berada di manakah kamu ? Pernahkah kamu mendengar firman Tuhan, “Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS 2:216)
Pengetahuan tentang hakekat sesuatu telah jauh dari kamu dan kamu telah tertutup dari hakekat itu. Oleh karena itu, janganlah kamu menunjukkan ketidaksopananmu jika kamu menyukai atau tidak menyukai sesuatu. Jika kamu berada dalam peringkat pertama, yaitu peringkat orang-orang yang saleh, maka patuhlah kepada syari’at dalam semua perkara yang terjadi kepada kamu. Jika kamu berada pada peringkat kedua, yaitu peringkat wilayah (kewalian), maka ikutilah segala perintah dan janganlah kamu melampaui batas. Pada peringkat terakhir, hendaklah kamu ridha dengan ketentuan Allah, serasikanlah dirimu dengan-Nya, lenyaplah dan masuklah kamu ke dalam kedudukan dan posisi Abdal, Ghauts dan Shiddiq. Janganlah kamu mencoba menentang takdir, hadapkanlah selalu diri dan kehendak kamu kepada Allah dan janganlah kamu mengeluh dan tidak berpuas hati.
Apabila kamu telah berbuat demikian dan takdirmu adalah baik, maka Allah akan menambah lagi kebaikan untuk kamu, kehidupan yang sentosa dan kebahagiaan. Jika takdir untuk kamu itu tidak baik, maka Allah akan melindungi kamu dari perkara-perkara yang tidak baik itu melalui kepatuhan kamu kepada-Nya, dan Dia akan menghindarkan kamu dari kesalahan hingga berakhir masanya. Inilah nasehat untukmu.
Ketahuilah, bahwa di dalam diri manusia itu terdapat bermacam-macam kesalahan, dosa dan noda yang semua itu akan menjauhkan manusia dari Allah, kecuali jika manusia itu dibersihkan dari segala dosa dan noda itu. Tidak ada seorangpun yang dapat dekat dengan Allah, kecuali jika orang itu telah bersih dari kotoran takabur dan dosa, sebagaimana halnya orang itu tidak dapat duduk dekat raja, jika orang itu berbau busuk dan berbadan kotor. Oleh karena itu, bencana itu adaah pembersih dan penukar untuk mendapatkan yang baik. Nabi pernah bersabda, “Demam sehari itu akan menyapu bersih dosa setahun.
Sumber: Sumber : http://www.scribd.com/doc/28543643/futuhul-ghaib