Perjalanan bersama Ilmu Amaliah dan Amal Ilmiah Menyambut Pecinta Kesucian jiwa mengarungi Lautan Tanpa Tepi Mencari Barokah dan Menabur Barokah untuk Sesama.

Sabtu, 15 Desember 2012

AJARAN KEDUAPULUH SEMBILAN

Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Kemiskinan itu hampir dapat membawa kekufuran.”
Orang yang benar-benar hamba Allah akan percaya kepada-Nya dan menyerahkan seluruh keadaan dirinya kepada-Nya. Ia percaya kepada karunia-Nya, pemberian rizki-Nya dan yakin bahwa apa saja yang telah ditetapkan oleh Allah baginya, pasti akan ia dapati serta apa saja yang dijauhkan oleh Allah darinya, pasti tidak akan ia dapati.
Firman Allah, “Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat. Barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar. Dan memberinya rizki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan) nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan (yang dikehendaki)-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS 65:2-3)

Senin, 03 Desember 2012

Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Dikisahkan dari asy-Syibli, bahwa suatu hari ia pernah berusaha untuk wajd (tawajud) di majelisnya, lalu ia berkata, “Ah, tak ada yang tahu apa yang ada dalam hatiku selain Dia.”
Kemudian ditanya, “Ah dari apa?” Ia menjawab, “Ah dari segala sesuatu.”
Juga disebutkan darinya, bahwa pada suatu hari ia pernah ber-tawajud, kemudian memukulkan tangannya ke tembok hingga luka memar. Kemudian para sahabatnya memanggil seorang dokter. Ketika dokter itu datang, ia berkata, “Dengan bukti (syahid)
apa Anda datang kemari?” Dokter itu menjawab, “Saya datang kemari untuk mengobati tangan Anda.” Lalu asy-Syibli menempeleng dokter itu dan mengusirnya.

Selasa, 13 November 2012


Tarekat Sanusiyah bukan semata-mata tarekat biasa, melainkan ia adalah sebuah gerakan. Gerakan tajdid dan islam. Pengasasnya adalah Syeikh Muhammad Ali as-Sanusi.

Syeikh Muhammad bin Ali as-Sanusi telah dilahirkan pada hari Isnin 12 Rabiulawal 1202H/22 Disember 1787M di sebuah tempat yang bernama al-Wasitah, di Mustaghanim, Algeria.

Syeikh Muhammad Ali as-Sanusi adalah seorang ulama yang ikhlas dan suka merendahkan dirinya. Oleh itu, beliau telah mencapai kemajuan yang pesat di atas jalan kerohanian.

Tarekatnya bebas dari syirik dan khurafat. Beliau menyeru kepada ijtihad dan memerangi taqlid. Syeikh as-Sanusi yang bermazhab Maliki, akan menyalahi pendapat mazhabnya jika ada mazhab lain yang lebih mendekati kepada kebenaran.

Antara bintang dari tarekat ini adalah Umar Mukhtar sang Singa Padang Pasir yang terkenal itu.

Senin, 29 Oktober 2012

  Syekh Yusuf al-Taj al-Khalwatiyyah dari Makasar dan baru diangkat sekitar tanggal 9 November 1995 sebagai salah satu Pahlawan Nasional, dikarenakan juga ikut berjuang melawan kekejaman kolonial Belanda pada abad ke-17 M. Beliau telah dibai’at lebih dari 17 macam tarekat yang berlainan, seperti Qodiriyyah, Naqsyabandiyyah, Syadziliyyah, Syatariyyah, Suhrawardiyyah, Dasukiyyah, Jistiyyah, Aidrusiyyah, Kabrutiyyah, Khalwatiyyah, Ba’alawiyyah, Rifa’iyyah, Maduriyyah, Mahmudiyyah,Madyaniyyah, Kawabiyyah dan lainnya. Beliau telah mengarang kurang lebih 23 kitab, adapun ringkasan dari kitab-kitab beliau yang dapat kami petik dan diulas disini adalah :
1.Al-Barakat al-Saylaniyyah
Kitab ini ditulis Syech Yusuf sekitar tahun 1221 H/1806 M di Sailan, pada saat pembuangan zaman Belanda. Adapun isi kitab mengulas 3 macam Dzikir :
•Dzikir lafadz “Laa Ilaaha Illa Allah” adalah dzikir lisan yang diamalkan oleh orang-orang awam
•Dzikir Lafadz “Allah..Allah” adalah dzikir hati (Qolb) yang diamalkan oleh orang-orang khusus
•Dzikir Lafadz “Hu..Hu..(Huwa)” adalah dzikir Rahasia atau Perasaan (Sirri) yang diamalkan oleh orang khususnya orang khusus (Syech, dzikir ini tidak semua orang dapat mengalaminya, disebabkan dzikirnya orang paling istimewa (akhas al-khawas)

Sabtu, 20 Oktober 2012

SILSILAH THORIQOH NAQSHABANDIYYAH
mbahsomo
BISMILLAHIR RAHMANIR RAHIM
(Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang)

Allahumma Shalli ala saidina Muhammad wa’ala alihi washabihi ajma’in maka inilah mula-mula Thariqat Naqsabandiyah Mujadidiyah Khalidiyah, maka mewahyukan Allah Ta’ala kepada Jibril As. rahasia yang amat halus, disuruh berikan kepada Hambanya yang suci dan putus pengenalannya dan kuat yakin, kemudian maka turun Jibril ke Dunia, diberikan rahasia itu kepada Nabi kita, Nabi Muhammad SAW, dan daripadanya turun kepada sahabatnya:

1. SAIDINA ABU BAKAR SIDDIQ Ra, dan daripadanya turun kepada:
2. SAIDINA SULAIMAN Ra, Saidina Sulaiman itu setengah dari keluarga Rasulullah SAW, dan daripadanya turun kepada: 

Sabtu, 13 Oktober 2012

Syekh Saman Al-Madani
Nama beliau adalah Gauts Zaman al-Waly Qutbil Akwan Syekh Muhammad bin Abdul Karim as-Samman al-Madani keturunan Sayyidina Hasan bin Sayyidina Ali dengan Sayyidah Fatimah az-Zahra binti Sayyidina Rasulullah Saw.
Beliau adalah ulama besar dan wali agung berdarah AHLUL BAIT NABI beraqidah ahlussunnah wal jamaah dengan Asy’ari dalam bidang teologi atau aqidah, dan Syafii mazhab fiqih furu’ ibadatnya, dan Junaid al-Baghdadi dalam tasawufnya.
Beliau r.a tinggal di Madinah menempati rumah yang pernah ditinggali Khalifah pertama, yakni Sayyidina Abu Bakar Shiddiq r.a (seorang Shiddiq yang paling agung yang tiada bandingnya, kecuali para Anbiya wal mursalin).

Rabu, 03 Oktober 2012

Ada 2 fenomena yang mengawali gerakan tarekat Tijaniyah di Indonesia, yaitu pertama, kehadiran Syaikh Ali bin Abdullah at-Thayyib, dan kedua, adanya pengajaran tarekat Tijaniyah di Pesantren Buntet Cirebon. Tarekat Tijaniyah diperkirakan datang ke Indonesia pada awal abad ke-20 (antara 1918 dan 1921 M). Cirebon merupakan tempat pertama yang diketahui adanya gerakan Tijaniyah. Perkembangan tarekat Tijaniyah di Cirebon mulanya ber pusat di Pesantren Buntet di Desa Mertapada Kulon. Pesantren ini dipimpin oleh lima bersaudara, diantaranya adalah K.H Abbas sebagai saudara tertua yang menjabat sebagai ketua Yayasan dan sesepuh Pesantren dan KH Anas sebagai adik kandungnya.

Rabu, 19 September 2012

AJARAN KEDUAPULUH DELAPAN

Kamu menginginkan kesentosaan, kebahagiaan, keselamatan, kedamaian, keberkatan dan kemerdekaan, sedangkan kamu masih saja berada dalam proses penghapusan nafsu-nafsu kebinatanganmu, kamu masih berjuang dengan hawa nafsumu, masih juga ingin kembali ke dunia atau ke akhirat dan masih ada sisa-sisa semua itu dalam diri kamu. Berjuanglah lagi sampai kamu kuat. Jangan terburu-buru. Berjalanlah dengan lambat, asalkan kamu selamat. Bersihkan diri kamu dari sisa-sisa semua itu. Kamu belum masuk ke dalam ‘fana’, selagi kamu masih mempunyai keinginan-keinginan kepada dunia atau mahluk-mahluk lain. Dengan lain perkataan, kamu masih juga menginginkan selain Allah. Jika kamu telah dapat melepaskan hati kamu dari apa saja selain Allah, maka barulah kamu terlepas dari ikatan-ikatan yang menambat kamu untuk menuju kepada Allah. Apabila kamu telah terlepas dari semua itu dan kamu sedang berada di hadapan Allah, maka kamu akan dimuliakan dan firman Allah berikut ini akan ditujukan kepada kamu,

Sabtu, 15 September 2012



Islam Masuk ke Indonesia Sejak Abad ke 1 H

Mereka mengatakan bahwa ibadah kaum muslim di negeri kita mengikuti nenek moyang. Apakah prasangka mereka kita mengikuti kaum Hindu atau Buddha ?  Itu sama saja mereka terhasut pencintraan yang dilakukan kolonialisme Belanda.
Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya “API SEJARAH” jilid 1 mengungkapkan.
Dengan sengaja, sejarawan Belanda pada masa pemerintah kolonial Belanda membuat periodisasi sejarah Indonesia, memundurkan waktu masuknya agama Islam berada jauh di belakang atau sesudah keruntuhan kekuasaan politik Hindu atau Keradjaan Hindoe Majapahit. 

Sabtu, 01 September 2012

Syeikh Abul Hasan Asy-Syadzily
Barangsiapa  memutuskan diri untuk tidak mengurus dirinya dan melimpahkan urusannya pada Allah; memutuskan pilihannya hanya pada pilihan Allah;  memutuskan pandangannya  hanya memandang Allah;  memutuskan kebaikannya hanya pada ilmu Allah disebabkan oleh disiplin kepatuhan dan ridhanya; kepasrahan total dan  tawakalnya pada Allah;
maka Allah benar-benar menganugerahkan kebaikan  nurani hati, yang juga disertai dengan dzikir, tafakkur dan hal-hal lain yang sangat istimewa.
 (Syeikh Abul Hasan berkata pada salah satu muridnya): Aku melihatmu senantiasa mengekang nafsumu dan menarik perkaramu dalam memerangi nafsumu itu. Engkau wahai Luka’ bin  Luka’, maksudku dengan itu menyatakan dua nafsu, terhadap leluhur dan pada anak-anak. 

Kamis, 02 Agustus 2012

SYEKH MUHASIBI: BAPAK PSIKOLOGI & ETIKA SUFI
Mbah Kanyut

Beliau adalah Syekh Sufi dari Baghdad yang terkenal pada zamannya, yang diakui sebagai “Bapak Psikologi dan Etika Sufi” yang menyatukan ilmu syari’at dan hakikat. Beliau tersohor berkat teorinya tentang hakikat jiwa manusia. Julukannya, “Al-Muhasibi” mengacu pada amalan muhasaba yang dilakoninya, yakni melakukan perhitungan dan pemeriksaan atas segala tindakan, motif dan keadaan spiritual dirinya sendiri. Beliau adalah salah satu perumus teori etika Sufistik yang amat teliti. Teori jiwanya ditulis dalam kitabnya yang terkenal, Al-Riaya li-Huquq Allah wa al-Qiyam Biha.
Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah al-Harits ibn Asad al-Bashri al-Muhasibi. Beliau lahir di Bashrah pada 165 H atau 781 M. Sewaktu kecil beliau pindah ke Baghdad. Beliau mendalami ilmu hadits, ilmu kalam, tafsir dan bergaul dengan ulama-ulama besar pada zaman itu. Sebagai ahli hadits beliau menyusun kitab hadits, namun tulisan beliau di bidang ini dikritik keras oleh Imam Ahmad ibn Hanbal, pendiri mazhab Hanbali.

Senin, 23 Juli 2012


Seperti didalam kitab al-munqidz min al-dhalal (Pengetasan Kesesatan) adalah karya Imam Ghazali yang ia tulis sebagai memoar pengembaraan intelektual, dalam upaya menemukan titik-titik KENYAKINAN dari BISIK-BISIK KERAGUAN. Memoar itu ia maksudkan sebagai semacam motivasi untuk para Pencari: mesti bersungguh-sungguh dan pantang berhenti untuk menemukan apa yang ia cari, sampai ia tidak tahu apa yang harus dicarinya lagi. Dan semuanya itu ia lakukan lewat jalan pengembaraan Sufisme.

Pengembaraan intelektual Imam Ghazali bermula dari obsesinya mengetahui hakikat dari setiap sesuatu, dan itu mengharuskan adanya perangkat keilmuan yang ia sebut dengan al-ilmu al-yaqini; istilah abstrak untuk menyebut seperangkat keilmuan yang mampu menyingkap hakikat sesuatu, tanpa ada sisa-sisa keraguan dan kemungkinan kekeliruan.

Sabtu, 21 Juli 2012

Tarekat Naqsyabandiyah
Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebaran nya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim (meskipun sedikit di antara orang-orang Arab) serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani (“Pembaru Milenium kedua”, w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).

Kamis, 12 Juli 2012

AJARAN KEDUAPULUH TUJUH
Anggaplah kebaikan dan kejahatan itu sebagai dua biji dari dua dahan yang berbeda, tetapi berasal dari satu akar yang sama. Satu dahan mengeluarkan buah yang pahit, sedangkan satu dahan lagi mengeluarkan buah buah yang manis. Oleh karena itu, tinggalkanlah kampung dan pasar tempat buah-buahan itu dijajakan dan jauhkanlah dirimu dari orang-orangnya. Pergila ke akar itu sendiri, jadilah penjaga akar itu dan dapatkanlah pengetahuan tentang kedua dahan dan buah tersebut serta tentang sekitarnya, kemudian tetaplah kamu tinggal berada dekat dahan yang mengeluarkan buah-buahan yang manis. Makanlah buah yang manis itu dan jadikanlah ia sumber kekuatanmu. Jauhkanlah dirimu dari dahan yang mengeluarkan buah- buahan yang pahit, karena buah-buahan itu mungkin dapat meracuni kamu. Jika kamu bersikap demikian, maka akan selamatlah kamu dari semua kejahatan, karena kejahatan dan bencana itu datang dari buah-buahan yang pahit itu. Jika kamu menjauhi akar itu dan berada di tempat-tempat yang jauh, lalu buah-buah itu dibawa ke hadapanmu setelah dicampur adukkan antara buah-buah yang manis dengan buah-buah yang pahit, sehingga kamu tidak lagi dapat membedakannya, kemudian kamu terus memakannya, maka mungkin kamu akan mengambil buah yang pahit dan terkena racun buah yang pahit itu.

Senin, 02 Juli 2012

SILSILAH TQN SURYALAYA DAN TQN DI BEBERAPA DAERAH DI INDONESIA
  1.      ALLAH  S.W.T.
                   
    2.      Jibril As
                      
   3.  Kanjeng  Nabi  Muhammad S.A.W.
                                                                   
            4. Ali bin Abi Thalib                           4. Abu Bakar Al-Sidiq
                                                                                       
            5. Husain bin Ali                                 5. Salman al-Farisi
                                                                                       
            6. Zainal Abidin                                  6. Qasim ibn Mhmd bin Abu Bakar
                                                                                       
            7. M. Al-Baqir                                     7. Imam Ja’far al-Shadiq
                                                                                       

Selasa, 26 Juni 2012



Hakim at-Tirmidzi lahir di Tirmidz, Uzbekistan, Asia Tengah pada tahun 205 H/820 M. Nama lengkapnya adalah Abu Abd Allah Muhammad bin Ali bin Hasan al-Hakim at-Tirmidzi. Ia berasal dari keluarga ilmuwan ahli fiqih
dan hadits. Memasuki puncak ketasawufan setelah mengalami goncangan batin sebagaimana yang di kemudian hari dialami al-Ghazali. Ia mendefinisikan Wali Allah adalah seorang yang demikian kokoh di dalam peringkat kedekatannya kepada Allah (fi martabtih), memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu seperti bersikap shidq (jujur dan benar) dalam perilakunya, sabar dalam ketaatan kepada Allah, menunaikan segala kewajiban, menjaga hukum dan perundang-undangan (al-hudud) Allah, mempertahankan posisi (al-) kedekatannya kepada Allah. Dalam keadaan ini, menurut at-Tirmidzi, seorang wali mengalami kenaikan peringkat sehingga berada pada posisi yang demikian dekat dengan Allah, kemudian ia berada di hadapan-Nya, dan menyibukkan diri dengan Allah sehingga lupa dari segala sesuatu selain Allah.

Sabtu, 23 Juni 2012

ADAB MURID
Untuk menjaga hubungan yang begitu penting antara seorang murid dan guru mursyidnya, maka seorang murid harus memiliki kriteria-kriteria dan adab-adab serta tata krama seperti yang disebutkan oleh Syaikh Ahmad Al-Khomisykhanawiy dalam kitab Jami’ul Ushul fil Aulia’, yaitu sebagai berikut;
1. Setelah yakin dan mantap dengan seorang syaikh (mursyid), dia segera mendatanginya seraya berkata: ”Aku datang ke hadapan tuan agar dapat ma’rifat (mengenal ) Allah SWT.. ”setelah diterima oleh sang mursyid, hendaknya ia berkhidmah dengan penuh kecondongan dan penuh kecintaan agar dapat memperoleh penerimaan di hatinya dengan sempurna.
2. Tidak membebani orang lain untuk menyampaikan salam kepada mursyidnya, karena hal seperti itu tidak sopan.

Selasa, 12 Juni 2012

 AJARAN KEDUAPULUH ENAM
Hijab atau tabir yang menghalangi kamu itu tidak akan terbuka, sekiranya kamu tidak keluar dari mahluk dan membebaskan hati dari mahluk dalam semua keadaan dan kedudukan hidup. Hijab itu juga tidak akan terbuka, sekiranya hawa nafsu kamu tidak hancur lebur, begitu juga tujuan dan kerinduan kamu kepada mahluk serta kepada dunia dan akhirat. Hendaklah kamu menjadi seperti bak yang bocor yang tidak berisikan air. Hendaklah kamu mengosongkan hatimu dari apa saja selain Allah dan hendaklah hanya kamu penuhi dengan Allah semata-mata. Sehingga kamu akan menjadi penjaga pintu hatimu dan kamu akan diberi pedang Tauhid, kekuatan dan kekuasaan. Apa saja selain Allah yang hendak merasuk ke dalam hatimu, hendaknya kamu penggal dengan pedang Tauhid, agar tidak ada lagi diri kamu, nafsu kamu dan kerinduan kamu kepada dunia dan akhirat. Hendaklah Allah saja yang bersemayam di dalam hatimu itu. Jadilah kamu hamba Allah yang sejati dan janganlah kamu menjadi hamba manusia, atau hamba pendapat mereka, atau hamba perintah mereka dan atau hamba apa saja selain Allah.

Senin, 28 Mei 2012


IMAM IBNU TAYMIYYAH “PENGAGUM TASHOWWUF”
By mbahlalar
Sebuah sejarah yang hilang dari ibnu Taymiah
 Para pengagum beliau menganggap bahwa ahli fikih dan hafidz hadis dari mazhab Hambali ini adalah musuh kaum sufi, dan beliau merupakan tokoh utama gerakan “Salafi” yang bertanggung jawab atas lahirnya gerakan masa sekarang yang mengarah pada ketidak tahuan sama sekali berkenaan dengan tasawuf. Padahal, Ibn Taymîyah sendiri sebenarnya adalah seorang sufi. Kaum “Salafi” berhati-hati sekali untuk tidak pernah memperlihatkan Ibn Taymîyah yang sufi, seakan beliau secara tegas menghalangi gerakan anti sufi, yang mereka arahkan kepada beliau. Perbincangan Ibn Taymîyah mengenai tasawuf penuh dengan hal-hal yang bertentangan dan membingungkan. Meskipun beliau menyamaratakan semua jenis tudingan terhadap kaum sufi, beliau tidak dapat mengingkari keagungan tasawuf seperti yang disepakati oleh umat, jauh sebelum beliau muncul. Walhasil, beliau sering tersaksikan merendahkan tasawuf, mempertanyakan orang-orang sufi sezamannya, dan membuat keutamaan kelompok kecil kaum Muslim ini menjadi kelompok biasa-biasa saja. Pada saat yang sama, beliau berbangga sebagai orang sufi dari tarekat Qâdiriyyah yang memiliki garis suksesi langsung ke Syekh ‘Abd al-Qâdir al-Jîlâni, sebagaimana ditunjukkan dalam uraian berikut.

Minggu, 27 Mei 2012

AJARAN KEDUAPULUH TIGA

Puaskanlah hatimu dengan apa yang ada pada kamu, sampai datang takdir Allah untuk meninggikan derajatmu, di mana kamu diselamatkan dari kesusahan hidup di dunia dan di akhirat dan dari dosa serta noda. Kamu akan dinaikkan ke derajat yang lebih tinggi, sehingga kamu puas dan bahagia. Apa yang telah ditetapkan untuk kamu, pasti akan kamu dapatkan dan apa yang tidak ditetapkan untuk kamu, tidak akan kamu dapatkan. Karenanya, senantiasalah kamu bersabar dan ridha dengan keadaan yang telah ada pada kamu. Janganlah kamu berpura-pura pintar dan menuruti kehendakmu sendiri, melainkan tunggulah sampai kamu mendapatkan perintah.
Janganlah kamu bertindak sendiri dan jangan pula kamu berdiam diri, karena hal ini akan merendahkan kedudukanmu dan menganiaya dirimu sendiri. Tuhan tidak akan lupa kepada orang yang berbuat aniaya (zhalim). Firman Allah, “Dan demikianlah Kami jadikan sebagian orang-orang yang zhalim itu menjadi teman sebagian yang lain, disebabkan apa yang mereka usahakan.”

AJARAN KEDUAPULUH EMPAT

Janganlah kamu ingkar kepada Allah. Berpegang teguhlah kepada-Nya. Kembalilah kepada-Nya dengan penuh kekhusyuan dan dengan merendahkan diri. Bertawakallah kepada-Nya dengan sepenuh penyerahan. Janganlah kamu menuruti hawa nafsu kebinatanganmu. Janganlah kamu hanya mencari kepentingan di dunia atau di akhirat saja atau mencari kedudukan yang lebih tinggi atau lebih mulia. Ketahuilah bahwa kamu itu adalah hamba-Nya. Sedangkan hamba dan segala yang dimilikinya adalah kepunyaan tuannya. Si hamba tidak mempunyai apa-apa. Tuannyalah yang memiliki segalanya. Hendaklah kamu bersopan santun dan jangan pula menyalahkan tuan kamu itu. Segalanya telah ditentukan olehnya. Apa yang telah didahulukan olehnya tidak dapat dikemudiankan dan apa yang dikemudiankan tidak dapat didahulukan. Dia telah memberi kamu tempat kediaman yang kekal di akhirat. Dialah Tuan kamu. Dia memberimu karunia yang tidak pernah dilihat oleh mata, tidak pernah didengar oleh telinga dan tidak pernah dirasa oleh hati. Firman Tuhan, “Seorangpun tidak mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam ni’mat) yang menyedapkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS 32:17).
Ini adalah ganjaran bagi mereka dari perbuatan mereka di dunia ini, seperti mematuhi hukum-hukum Allah, bersabar diri untuk tidak melakukan dosa dan maksiat serta bertawakal penuh kepada Allah dan ridha dengan-Nya.

HABIB AL-’AJAMI ra

Sang Sufi dari Persia
Habib bin Muhammad al-’Ajami al-Bashri, seorang Persia yang menetap di Bashrah, adalah seorang ahli Hadits terkenal yang merawikan hadits-badits dari Hasan al-Bashri, Ibnu Sirin dan tokoh-tokoh terpercaya lainnya. Pertaubatannya dari kehidupan yang ugal-ugalan dan berfoya-foya adalah karena dalil-dalil yang dikemukakan oleh Hasan dengan sedemikian fasihnya. Habib aI•’Ajami sering mengikuti pengajaran-pengajaran yang disampaikan oleh Hasan sehingga akhirnya ia menjadi salah seorang sahabat beliau yang paling akrab.
KISAH HABIB Sl ORANG PARSI
Semula Habib adalah seorang yang kaya raya dan suka membungakan uang. la tinggal di kota Bashrah, dan setiap hari berkeliling kota untuk menagih piutang-piutangnya. Jika tidak memperoleh angsuran dari langganannya maka ia akan menuntut uang ganti rugi dengan dalih alas sepatunya yang menjadi aus di perjalanan. Dengan cara seperti inilah Habib menutupi biaya hidupnya sehari-hari.

Sabtu, 26 Mei 2012

Perkembangan Tarekat


Perkembangan Tarekat di Indonesia
Pada awalnya, negara yang mempengaruhi berkembangnya tarekat di Indonesia adalah India (Gujarat), dari sanalah Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumatrani (w. 1630) dan Nuruddin ar-Raniri belajar menimba ilmu dan mendapatkan ijazah serta menjadi khalifah. Namun pada abad-abad berikutnya, beberapa tarekat besar masuk ke Indonesia melalui Makkah dan Madinah. Dengan cara ini pula Tarekat Syattariyah yang berasal dari India berkembang di Makkah dan Madinah dan kemudian berpengaruh luas di Indonesia. Shufi Indonesia yang pertama kali menulis karangan tentang tarekat adalah Hamzah Fansuri. Dari namanya saja kita tahu bahwa beliau berasal dari kota Fansur (sebutan orang Arab untuk kota Barus, kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak antara Sibolga dan Singkel). Dalam tulisannya, ia mengungkapkan gagasan nya melalui syair bercorak wihdatul-wujud yang cendrung kepada penafsiran panteistik. Dalam syairnya Hamzah juga bercerita tentang kunjungannya ke Makkah, al-Quds, Baghdad (disana ia mengunjungi makam syekh ‘Abdul-Qadir al-Jilani) dan ke Ayuthia. Dalam syairnya juga ia mengaku menerima ijazah Tarekat Qadiriyah di Baghdad bahkan diangkat menjadi khalifah dalam tarekat ini. Dengan demikian jelaslah, bahwa Hamzah Fansuri (w 1590) adalah shufi pertama di Indonesia yang diketahui secara pasti menganut Tarekat Qadiriyah.

Kamis, 24 Mei 2012

Hierarki Kewalian

Syaikhul Akbar Ibnu Araby dalam kitab Futuhatul Makkiyah membuat klasifikasi tingkatan wali dan kedudukannya. Jumlah mereka sangat banyak, ada yang terbatas dan yang tidak terbatas. Sedikitnya terdapat 9 tingkatan, secara garis besar dapat diringkas sebagai berikut :
1. Wali Aqthab atau Wali Quthub Wali yang sangat paripurna. Ia memimpin dan menguasai wali diseluruh alam semesta. Jumlahnya hanya seorang setiap masa. Jika wali ini wafat, maka Wali Quthub lainnya yang menggantikan.
2. Wali Aimmah Pembantu Wali Quthub. Posisi mereka menggantikan Wali Quthub jika wafat. Jumlahnya dua orang dalam setiap masa. Seorang bernama Abdur Robbi, bertugas menyaksikan alam malakut. Dan lainnya bernama Abdul Malik, bertugas menyaksikan alam malaikat.

Kamis, 17 Mei 2012

AJARAN KEDUAPULUH LIMA

Wahai orang-orang yang miskin harta benda, mereka yang dijauhkan dari dunia dan wahai orang- orang yang tidak terkenal, yang lapar dan dahaga, yang tidak berpakaian, yang remuk hatinya, yang berkelana dari satu mesjid ke mesjid lainnya dan tempat-tempat sunyi, yang dibenci oleh orang-orang lain dan yang jauh dari cita-citanya, janganlah kamu menyangka bahwa Allah telah menjadikan kamu miskin papa, mencabut dunia dari kamu, memurkai kamu, memusuhi kamu dan menghinakan kamu, padahal saudara-saudara kamu dilebihkan oleh Allah dengan kesenangan dan kekayaan dunia ini. Janganlah kamu mengira bahwa Tuhan itu menganiaya kamu.
Sebab, kamu, keluargamu dan sudara-saudaramu adalah orang-orang Islam dan beriman juga serta keturunanmu dan keturunannya adalah keturunan Adam dan Hawa pula. Allah menjadikan kamu seperti itu, karena kamu adalah orang yang suci dan rahmat Allah yang berupa kesabaran, tawakal, keridhaan, keimanan dan ilmu senantiasa meliputimu dengan tiada henti-hentinya.

Minggu, 06 Mei 2012

PERAN TASAWWUF DALAM ISLAMISASI INDONESIA

 
Oleh : Dr. Ikzan Badruzzaman
Islamisasi di Indonesia terjadi pada saat tasawuf menjadi corak pemikiran dominan di dunia Islam. Umum nya, sejarawan Indonesia mengemukakan bahwa meskipun Islam telah datang ke Indonesia sejak abad ke-8 M., namun sejak abad ke-13 M. mulai berkembang kelompok-kelompok masyarakat Islam. Hal ini bersamaan dengan periode perkembangan organisasi-organisasi thariqat. Agaknya hal ini yang menyebabkan berkembangnya ajaran tasawwuf dengan organisasi thariqatnya di Indonesia. Dapat dikatakan bahwa sukses dari penyebaran Islam di Indonesia berkat aktivitas para pemimpin thariqat. Tidak dapat disangkal bahwa Islam di Indonesia adalah islam versi tasawauf Tasawuf dan thariqat pernah menjadi kekuatan politik di Indonesia. Tasawuf dan thariqat mempunyai peran yang penting memperkuat posisi Islam dalam negara dan masyarakat, serta pengembangan lingkungan masyarakat lebih luas. Beberapa peran itu di antaranya :

Kamis, 26 April 2012

ABDUL MUHYI PAMIJAHAN:

 Wali Penyebar ‘Martabat Tujuh” di Tatar Sunda
By Mbah Kanyut
Wali Allah yang amat terkenal, khususnya di wilayah Jawa Barat, salah satu ulama yang berjasa besar menyebarluaskan Tarekat Syattariyyah di pulau Jawa. Beliau juga menyebarkan ajaran doktrin “martabat tujuh” yang kelak mempengaruhi pemikiran Tasawuf di Pulau Jawa. Makamnya yang berada di Pamijahan, Tasikmalaya, Jawa Barat, menjadi salah satu pusat ziarah utama. Banyak yang berziarah kesanaterutama pada bukan maulid (Rabiul Awwal) untuk mengharapkan berkah dan tujuan-tujuan keduniawian. Tidak diketahui pasti kapan Syekh Abdul Muhyi dilahirkan – setidaknya ada dua versi, yakni tahun 1640 dan atau 1650. Salah satu riwayat menyatakan beliau lahir di Kartasura. Ibundanya, Nyi R. Ajeng Tangenjiah, masih keturunan Rasulullah, sedangkan ayahandanya, Sembah Lebe Wartakusumah adalah keturunan Raja Galuh. Syekh Abdul Muhyi menghabiskan masa remajanya di Gresik, Jawa Timur. Kemudian, pada usia 19 tahun, beliau pergi ke Aceh untuk berguru kepada Syekh ABDUR RAUF SINGKEL

Minggu, 01 April 2012

Imam Muslim
By azhar suhaimi
Imam Muhadits Muhsin dari Naisabur
Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Imam Muslim dilahirkan di Naisabur tahun 202 H atau 817 M. Naisabur, saat ini termasuk wilayah Rusia. Dalam sejarah Islam, Naisabur dikenal dengan sebutan Maa Wara'a an Nahr, daerah-daerah yang terletak di belakang Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah.

Naisabur pernah menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan tidak kurang 150 tahun pada masa Dinasti Samanid. Tidak hanya sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan, kota Naisabur juga dikenal saat itu sebagai salah satu kota ilmu, bermukimnya ulama besar dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah.

Kecenderungan Imam Muslim kepada ilmu hadits tergolong luar biasa. Keunggulannya dari sisi kecerdasan dan ketajaman hafalan, ia manfaatkan dengan sebaik mungkin. Di usia 10 tahun, Muslim kecil sering datang berguru pada Imam Ad Dakhili, seorang ahli hadits di kotanya. Setahun kemudian, Muslim mulai menghafal hadits dan berani mengoreksi kekeliruan gurunya ketika salah dalam periwayatan hadits.

Seperti orang yang haus, kecintaanya dengan hadits menuntun Muslim bertuangalang ke berbagai tempat dan negara. Safar ke negeri lain menjadi kegiatan rutin bagi Muslim untuk mendapatkan silsilah yang benar sebuah hadits.

Dalam berbagai sumber, Muslim tercatat pernah ke Khurasan. Di kota ini Muslim bertemu dan berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih. Di Ray ia berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu 'Ansan. Pada rihlahnya ke Makkah untuk menunaikan haji 220 H, Muslim bertemu dengan Qa’nabi,- muhaddits kota ini- untuk belajar hadits padanya.

Selain itu Muslim juga menyempatkan diri ke Hijaz. di kota Hijaz ia belajar kepada Sa'id bin Mansur dan Abu Mas 'Abuzar. Di Irak Muslim belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah. Kemudian di Mesir, Muslim berguru kepada 'Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya. Termasuk ke Syam, Muslim banyak belajar pada ulama hadits kota itu.

Tidak seperti kota-kota lainnya, bagi Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah Imam Muhaddits ini berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama ahli hadits. Terakhir Imam Muslim berkunjung pada 259 H. Saat itu, Imam Bukhari berkunjung ke Naisabur. Oleh Imam Muslim kesempatan ini digunakannya untuk berdiskusi sekaligus berguru pada Imam Bukhari.

Berkat kegigihan dan kecintaannya pada hadits, Imam Muslim tercatat sebagai orang yang dikenal telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, menyebutkan, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim, Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan.
Bila dihitung dengan pengulangan, lanjutnya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sedang menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim berjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang ditulis dalam Shahih Muslim merupakan hasil saringan sekitar 300.000 hadits. Untuk menyelasekaikan kitab Sahihnya, Muslim membutuhkan tidak kurang dari 15 tahun.

Imam Muslim dalam menetapkan kesahihan hadits yang diriwayatkkanya selalu mengedepankan ilmu jarh dan ta'dil. Metode ini ia gunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Selain itu, Imam Muslim juga menggunakan metode sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat). Dalam kitabnya, dijumpai istilah haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarani (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), maupun qaalaa (ia berkata). Dengan metode ini menjadikan Imam Muslim sebagai orang kedua terbaik dalam masalah hadits dan seluk beluknya setelah Imam Bukhari.

Selain itu, Imam Muslim dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah. Keramahan yang dimilikinya tidak jauh beda dengan gurunya, Imam Bukhari. Dengan reputasi ini Imam Muslim oleh Adz-Dzahabi disebutan sebagai Muhsin min Naisabur (orang baik dari Naisabur).

Maslamah bin Qasim menegaskan, "Muslim adalah tsiqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam)." Senada dengan Maslamah bin Qasim, Imam An-Nawawi juga memberi sanjungan: "Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits."

Seperti halnya Imam Buhari dengan Al-Jami' ash-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari, Imam Muslim juga memiliki kitab munumental, kitab Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih karya Imam Muslim lainnya, Shahih Muslim yang memuat 3.033 hadits memiliki karakteristik tersendiri. Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada penjabaran hadits secara resmi. Imam Muslim bahkan tidak mencantumkan judul-judul pada setiap akhir dari sebuah pokok bahasan.

Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis.

Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Perbedaan ini terjadi bila dilihat dari sisi pada sistematika penulisannya serta perbandingan antara tema dan isinya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an agar dapat dipastikan sanadnya bersambung. Sementara Imam Muslim menganggap cukup dengan "kemungkinan" bertemunya kedua rawi dengan tidak adanya tadlis.

Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsiqqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Selain itu, kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding al-Bukhari.

Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan, seperti yang dijelaskan Ibnu Hajar, Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya. Muslim juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab seperti yang dilakukan Bukhari lakukan. Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H dengan mewariskan sejumlah karyanya yang sangat berharga bagi kaum Muslim dan dunia Islam.

Karya-karya Imam Muslim
Sepanjang hidup Imam Muslim, karya-karya yang berhasil ia tulis antara lain: 1) Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8) At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin, 16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19) Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad.
Sumber: http://1001tokohislam.blogspot.com

Sabtu, 24 Maret 2012

Mengenal al-Husain bin Mansur Al Hallaj
Bahan-bahan:
Antara Drama Ilahi dan Tragedi Penyingkapan Rahasia

Abad ketiga hijriyah merupakan abad yang paling monumental dalam sejarah teologi dan tasawuf. Lantaran, pada abad itu cahaya Sufi benar-benar bersinar terang. Para Sufi seperti Sari as-Saqathy, Al-Harits al-Muhasiby, Ma’ruf al-Karkhy, Abul Qasim al-Junaid al-Baghdady, Sahl bin Abdullah at-Tustary, Ibrahim al-Khawwash, Al-Husain bin Manshur al-Hallaj, Abu Bakr asy-Syibly dan ratusan Sufi lainya.

Di tengah pergolakan intelektual, filsafat, politik dan peradaban Islam ketika itu, tiba-tiba muncul sosok agung yang dinilai sangat kontroversial oleh kalangan fuqaha’, politisi dan kalangan Islam formal ketika itu. Bahkan sebagian kaum Sufi pun ada yang kontra. Yaitu sosok Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj. Sosok yang kelak berpengaruh dalam peradaban teosofia Islam, sekaligus menjadi watak misterius dalam sejarah Tasawuf Islam.

Nama lengkapnya adalah al-Husain bin Mansur, populer dipanggil dengan Abul Mughits, berasal dari penduduk Baidha’ Persia, lalu berkembang dewasa di Wasith dan Irak. Menurut catatan As-Sulamy, Al-Hallaj pernah berguru pada Al-Junaid al-Baghdady, Abul Husain an-Nury, Amr al-Makky, Abu Bakr al-Fuwathy dan guru-guru lainnya. Walau pun ia ditolak oleh sejumlah Sufi, namun ia diterima oleh para Sufi besar lainnya seperti Abul Abbad bin Atha’, Abu Abdullah Muhammad Khafif, Abul Qasim Al-Junaid, Ibrahim Nashru Abadzy. Mereka memuji dan membenarkan Al-Hallaj, bahkan mereka banyak mengisahkan dan memasukkannya sebagai golongan ahli hakikat. Bahkan Muhammad bin Khafif berkomentar, “Al-Husain bin Manshur adalah seorang a’lim Rabbany.”

Pada akhir hayatnya yang dramatis, Al-Hallaj dibunuh oleh penguasa dzalim ketika itu, di dekat gerbang Ath-Thaq, pada hari Selasa di bulan Dzul Qa’dah tahun 309 H.

Kelak pada perkembangannya, teori-teori Tasawuf yang diungkapkan oleh Al-Hallaj, berkembang lebih jauh, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Araby, Al-Jiily, Ibnu Athaillah as-Sakandary, bahkan gurunya sendiri Al-Junaid punya Risalah (semacam Surat-surat Sufi) yang pandangan utuhnya sangat mirip dengan Al-Hallaj. Sayang Risalah tersebut tidak terpublikasi luas, sehingga, misalnya mazhab Sufi Al-Junaid tidak difahami secara komprehensif pula. Menurut Prof Dr. KH Said Aqiel Sirraj, “Kalau orang membaca Rasailul Junaid, pasti orang akan faham tentang pandangan Al-Hallaj.”

Pandangan Al-Hallaj banyak dikafirkan oleh para Fuqaha’ yang biasanya hanya bicara soal halal dan haram. Sementara beberapa kalangan juga menilai, kesalahan Al-Hallaj, karena ia telah membuka rahasia Tuhan, yang seharusnya ditutupi. Kalimatnya yang sangat terkenal hingga saat ini, adalah “Ana al-Haq”, yang berarti, “Akulah Allah”.

Tentu, pandangan demikian menjadi heboh. Apalagi jika ungkapan tersebut dipahami secara sepintas belaka, atau bahkan tidak dipahami sama sekali.

Para teolog, khususnya Ibnu Taymiyah tentu mengkafirkan Al-Hallaj, dan termasuk juga mengkafirkan Ibnu Araby, dengan tuduhan keduanya adalah penganut Wahdatul Wujud atau pantheisme.

Padahal dalam seluruh pandangan Al-Hallaj tak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan Wahdatul Wujud (kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq). Wahdatul Wujud atau yang disebut pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosufis atas wacana-wacana Al-Hallaj. Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.Para pengkritik yang kontra Al-Hallaj, menurut Kiai Abdul Ghafur, Sufi kontemporer dewasa ini, melihat hakikat hanya dari luar saja. Sedangkan Al-Hallaj melihatnya dari dalam.

Sebagaimana Al-Ghazali melihat sebuah bangunan dari dalam dan dari luar, lalu menjelaskan isi dan bentuk bangunan itu kepada publik, sementara Ibnu Rusydi melihat bangunan hanya bentuk luarnya saja, dan menjelaskannya kepada publik pula. Tentu jauh berbeda kesimpulan Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi.

Setidak-tidaknya ada tiga keleompk besar dari kalangan Ulama, baik fuqaha’ maupun Sufi terhadap pandangan-pandangan Al-Hallaj ini. Mereka ada yang langsung kontra dan mengkafirkan; ada pula yang secara moderat tidak berkomentar; dan ada yang langsung menerima dan mendukungnya. Menurut penelitian Dr. Abdul Qadir Mahmud, dalam bukunya Al-Falsafatush Shufiyah fil Islam, mengatakan:



Mereka yang mngkafirkannya, antara lain adalah para Fuqaha’ formalis, dan kalangan mazhab Dzahiriyah, seperti Ibnu dawud dan Ibnu Hazm. Sedangkan dari kalangan Syi’ah Imamiyah antara lain Ibnu Babaweih al-Qummy, ath-Thusy dan al-Hilly. Dari kalangan mazhab Maliki antara lain Ath-Tharthusy, Iyyadh, Ibnu Khaldun. Dari kalangan mazhab Hanbaly antara lain Inu Taymiyah. Dan kalangan Syafi’iyah antara lain Al-Juwainy dan ad-Dzahaby.

Sementara itu dari kalangan Mutakallimin yang mengkafirkan: Al-Jubba’i dan al-Qazwiny (Mu’tazilah); Nashiruddin ath-Thusy dan pengukutnya (Imamiyah); Al-Baqillany (Asy’ariyah); Ibnu Kamal dan al-Qaaly (Maturidiyah).

Dari kalangan Sufi antara lain, Amr al-Makky dan kalangan Salaf, diantaranya juga para Sufi mutakhir, selain Ahmad ar-Rifai’y dan Abdul Karim al-Jily, keduanya tidak berkomentar.


Mereka yang mendukung pandangan Al-Hallaj, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: At-Tusytary dan Al-Amily (Imamiyah); Ad-Dilnajawy (Malikiyah); Ibnu Maqil dan an-Nabulisy (Hambaliyah),; Al-Maqdisy, Al-Yafi’y, Asy-Sya’rany dan Al-Bahtimy (Syafi’iyah). Dari kalangan Mutakallimin, Ibnu Khafif, Al-Ghazaly dan Ar-Razy (kalangan Asy’ary) serta kalangan Mutakallim Salaf.

Dari kalangan Filosuf pendukungnya adalah Ibnu Thufail. Sedangkan dari kalangan Sufi antara lain asSuhrawardy al-Maqtul, Ibnu Atha’ as=Sulamy dan Al-Kalabadzy.


Kelompok yang tidak berkomentar, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: Ibnu Bahlul (Hambaliyah), Ibnu Suraij, Ibnu Hajar dan As-Suyuthy (Syafi’iyah).

Dari kalangan Sufi antara lain, Al-Hushry, Al-Hujwiry, Abu Sa’id al-Harawy, Al-Jilany, Al-Baqly, Al-Aththar, Ibnu Araby, Jalaluddin ar-Ruumy, Ahmad Ar-Rifa’y, dan Al-Jiily.


Kontroversi Al-Hallaj, sebenarnya terletak dari sejumlah ungkapan-ungkapannya yang sangat rahasia dan dalam, yang tidak bisa ditangkap secara substansial oleh mereka, khususnya para Fuqaha’ (ahli syariat). Sehingga Al-Hallaj dituduh anti syari’at, lalu ia harus disalib. Padahal tujuan utama Al-Hallaj adalah bicara soal hakikat kehambaan dan Ketuhanan secara lebih transparan.

Tudingan bahwa Al-Hallaj penganut Wahdatul Wujud semata juga karena tidak memahami wahana puncak-puncak ruhani Al-Hallaj sebagaimana dialami oleh para Sufi. Banyak sekali wacana Tasawuf yang mirip dengan Al-Hallaj. Dan Al-Hallaj tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah Allah sebagaimana pengakuan Fir’aun dirinya adalah Tuhan. Dalam sejumlah wacananya, Al-Hallaj senantiasa menyatakan dirinya adalah seorang hamba yang hina dan fakir. Apa yang ditampakkan oleh Al-Hallaj adalah situasi dimana wahana ruhaninya menjadi dominan, sehingga kesadarannya hilang, sebagaimana mereka yang sedang jatuh cinta di puncaknya, atau mereka yang sedang terkejut dalam waktu yang lama.

Toh Al-Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al-Fana’, Fana’ul Fana’ dan al-Baqa’, sebagaimana dalam wacana-wacana Sufi lainnya.

Al-Hallaj juga tidak pernah mengajak ummat untuk melakukan tindakan Hulul. Sebab apa yang dikatakan semuanya merupakan Penyaksian kepada Allah atau sebagai etiuk murni dari seorang Sufi yang sangat dalam.

Sejarawan Al-Baghdady mengisahkan tragedi kematian dan peradilannya:

“Ketika mereka hendak membunuh Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj, para Fuqaha’ dan Ulama dihadirkan, sementara Al-Hallaj diseret di hadapan Sultan. Para dewan kepolisian juga dihadirkan di sisi barat, tepatnya di hari Selasa, bulan Dzul Qa’dah Minggu kedua, TAHUN 309. Ia dicambuk sekitar seribu kali cambukan, lalu kedua kakinya dipotong, menyusul kedua tangannya, lalu lehernya ditebas. Lalu tubuhnya dibakar dengan api.

Kepalanya yang dipenggal itu diangkat, ditunjukkan kepada publik dalam kerangkeng besi, sementara kedua tangan dan kakinya diletakkan di sisi kepalanya. Ketika Al-Hallaj mendekati saat-saat penyaliban, ia membisikkan kata-kata, “Wahai yang menolong kefanaan padaku…tolonglah diriku dalam kefanaan….Tuhanku, Engkau mengasihi orang yang menyakitiMu, maka bagaimana engkau tidak mengasihi orang yang lara dalam DiriMu…Cukuplah yang satu menunggalkan yang satu bagiNya….”. Lalu ia membaca sebuah ayat, “

Sebelum meninggal dengan hukuman tragis itu, Al-Hallaj mengalami hidup dari satu tahanan ke tahanan lainnya, akibat iri dan kedengkian para Fuqaha’ dan para Ulama yang merasa tersaingi oleh pengaruh Al-Hallaj yang mulai meluas. Bisa jadi penguasa sangat terpengaruh pula oleh bahaya massa Al-Hallaj. Kalau toh Al-Hallaj harus dihukum mati dengan disalib, sebagaimana pernah ia ramalkan sendiri, adalah karena ia harus menghadapi ketidakberdayaan kekuasaan. Tetapi sekali lagi, Al-Hallaj adalah penganut amaliyah Syariat yang sangat patuh, yang digambarkan, sebagai sosok yang hafidz Al-Qur’an, tekun sholat sepanjang malam, puasa sepanjang siang, dan melakukan ibadah haji berulang kali. Hukuman mati baginya, sama sekali tidak ada kaitannya dengan legitimasi bahwa dirinya salah dan benar.

Rasanya Tragedi Al-Hallaj menjadi hikmah yang luar biasa dalam perkembangan Tasawuf. Mereka akan mehamami substansi Al-Hallaj, manakala mereka juga menjalankan dan merasakan apa yang dialami oleh Al-Hallaj. Sekadar menvonis Al-Hallaj begini dan begitu, tanpa pernah menghayati substansi terdalam dalam praktek Sufistik, siapa pun akan selalu gagal memahaminya.

Ada ungkapan Sufi yang sangat arif bisa jadi renungan kita bersama untuk sekadar merasakan sedikit dari rasa Al-Hallaj. “Orang yang sedang tenggelam di lautan, tidak akan pernah bisa bicara, bercerita, berkata-kata, tentang tenggelam itu sendiri. Ketika ia sudah mentas dari tenggelam, dan sadar, baru ia bicara tentang kisah rahasia tenggelam tadi. Ketika ia bicara tentang tenggelam itu, posisinya bukan lagi sebagai amaliyah tenggelam, tetapi sekadar ilmu tentang tenggelam.

Bedakan antara amal dan ilmu. Sebab banyak kesalah pahaman orang yang menghayati tenggelam, tidak dari amalnya, tetapi dari ilmunya. Maka muncullah kesalahpahaman dalam memahami tenggelam itu sendiri.”
Diantara Ucapan-ucapan Al-Hallaj :


Allah menghijab mereka dengan Nama, lantas mereka pun menjadi hidup. Seandainya Dia menampakkan Ilmu Qudrat pada mereka, mereka akan hangus. Seandainya hijab hakikat itu disingkapkan niscaya mereka mati semua.

Tuhanku, Engkau tahu kelemahanku jauh dari rasa bersyukur kepadaMu, karena itu bersykurlah pada DiriMu bukan dariku, karena itulah sesungguhnya Sukur, bukan yang lain.

Siapa yang mengandalkan amalnya ia akan tertutupi dari yang menerima amal. Siapa yang mengandalkan Allah yang menerima amal, maka ia akan tertutupi dari amal.

Asma-asma Allah Ta’ala dari segi pemahaman adalah Nama ansich, tapi dari segi kebenaran adalah hakikat.

Bisikan Allah adalah bisikan yang sama sekali tidak mengandung kontra.

Suatu ketika Al-Hallaj ditanya tentang al-Murid, “Ia adalah orang yang dilemparkan menuju kepada Allah, dan tidak akan berhenti naik sampai ketika ia sampai.”

Sama sekali tidak diperbolehkan orang yang mengenal Allah Yang Maha Tunggal atau mengingat Yang Maha Tunggal, lalu ia mengatakan, “Aku mengenal Al-Ahad” padahal ia masih melihat individu-individu lainnya.

Siapa yang dimabukkan oleh cahaya-cahaya Tauhid, ia akan tertupi dari ungkapan-ungkapan Tajrid (menyendiri bersama Allah). Bahkan, siapa yang dimabukkan oleh cahaya-cayaha Tajrid, ia akan bicara dengan hakikat Tauhid, karenakemabukan itulah yang bicara dengan segala hal yang tersembunyi.

Siapa yang menempuh kebenaran dengan cahaya Iman, maka ia seperti pencari matahari dengan cahaya bintang gemintang.

Ketika Allah mewujudkan jasad tanpa sebab, demikian pula Allah mewujudkan sifat jasad itu tanpa sebab, sebagaimana hamba tidak memiliki asal usul pekerjaannya, maka, hamba itu pun tidak memiliki pekerjaannya.

Sesungguhnya Allah Ta’ala, Maha Pemberi Berkah dan Maha Luhur, serta Maha Terpuji, adalah Dzat Yang Esa, Berdiri dengan DiriNya Sendiri, Sendiri dari yang lain dengan Sifat QidamNya, tersendiri dari yang lainNya dengan KetuhananNya, tidak dicampuri oleh apa pun dan tidak didampingi apa pun, tidak diliputi tempat, tidak pula di temukan waktu, tidak mampu difikirkan dan tidak bisa tercetus dalam imajinasi, tidak pula bisa dilihat pandangan, tidak bisa darusi kesenjangan.

Akulah Al-Haq, dan Al-Haq (Allah) Benar, Mengenakan DzatNya, di sana tak ada lagi perbedaan.

Ketika ditanya tentang Tauhid,ia menjawab, “Memisahkan yang baru dengan Yang Maha Dahulu, lalu berpaling dari yang baru dan menghadap kepada Yang Maha Dahulu, dan itulah hamparan Tauhid. Sedangkan substansinya.

Petunjuk
http://www.sufinews.com
Sumber: http://irdy74.multiply.com

Kamis, 22 Maret 2012

AJARAN KEDUAPULUH SATU

Di dalam mimpiku aku melihat setan dan seakan-akan aku berada di tengah-tengah kumpulan orang banyak. Kemudian aku bersiap-siap hendak membunuh setan, namun setan itupun berkata, “Mengapa kamu hendak membunuhku, apakah dosaku ? Jika Tuhan telah menakdirkan kejahatan itu terjadi, maka aku tidak berkuasa untuk merubahnya dan menjadikannya kebaikan. Demikian sebaliknya, jika Tuhan telah menakdirkan sesuatu kebaikan itu terjadi, maka akupun tidak berkuasa untuk merubahnya menjadi kejahatan. Maka apakah yang berada dalam kekuasaanku ?” Kemudian, kudapati setan itu berupa seperti orang kasim (eunuch), suaranya lembut, rambutnya terurai sampai ke dagunya dan mukanya sangat pucat, seakan-akan ia tersenyum kepadaku, penuh rasa malu dan takut. Itu terjadi pada malam Ahad, 12 Dzul Hijjah 401 H.

AJARAN KEDUAPULUH DUA 
Biasanya Allah SWT menguji hamba-hamba-Nya yang beriman sesuai dengan derajat keimanan mereka. Sekiranya keimanan seseorang itu kuat, maka ujian keimanannya itupun kuat pula. Oleh karena itu, ujian kepada Rasul lebih hebat daripada ujian kepada Nabi, ujian kepada Nabi lebih hebat daripada ujian kepada Abdal dan ujian kepada Abdal lebih hebat daripada ujian kepada Wali. Setiap orang diuji menurut tinggi atau rendahnya keimanannya. Nabi pernah bersabda, “Sesungguhnya ujian bagi kami, para Nabi, lebih hebat daripada ujian bagi orang-orang lain.”
Allah akan terus memberikan ujian ini kepada mereka sesuai dengan tingkatan mereka, agar mereka senantiasa berada di samping Tuhan dan tidak pernah lalai. Allah mengasihi mereka dan Allah tidak mau orang yang dikasihi-Nya itu jauh dari-Nya.
Oleh karena itu, ujian diibaratkan sebagai pengikat hati dan penjara mereka serta menjauhkan mereka dari kecenderungan kepada apa saja yang bukan tujuan hidup mereka dan menjauhkan mereka dari perasaan senang dan condong kepada apa saja selain Allah Yang Maha Pencipta. Apabila ini telah menjadi keadaan mereka yang abadi, maka hancurlah diri dan hawa nafsu amarah dan kebinatangan mereka. Dapatlah mereka membedakan antara yang haq (benar) dengan yang bathil (palsu). Segala tanda-tanda keserakahan dan kehendak mereka terhadap kemewahan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat hilang lenyap dari sisi mereka dan mereka merasa tenteram berada di sisi Tuhan, ridha dengan Allah, sabar terhadap ujian, selamat dari kejahatan mahluk-Nya dan mereka mendapat kepuasan di sisi Allah SWT.
Dengan demikian, kekuasaan hati akan bertambah hebat dan dapat mengontrol anggota-anggota badan. Ujian dan bencana itu menguatkan hati dan meneguhkan iman dan kesabaran serta melemahkan nafsu- nafsu kebinatangan yang berada dalam diri. Karena, apabila kesusahan datang menimpa si mu’min dan ia menunjukkan kesabaran dan keridhaannya serta berserah bulat kepada Allah, Allah ridha dan menolong mereka serta memberi kekuatan kepada mereka. Allah SWT berfirman, “Jika kamu bersyukur, sesungguhnya aku akan menambah lagi karunia itu.”
Apabila diri manusia itu menggerakkan hatinya untuk mecari sasaran pemuasan hawa nafsu dan berfoya-foya, dan hati itupun menurutinya saja tanpa perintah dan ijin Allah, maka akibatnya adalah lupa kepada Allah, menyekutukan-Nya dan berbuat dosa, lalu Allah akan menimpakan bencana, kesusahan dan derita kepada mereka yang lupa itu dan pikiran serta hati mereka akan sakit.
Jika hati mereka tidak mengindahkan panggilan pemuasan tersebut sampai Allah mengijinkannya melalui ilham (bagi Wali) dan wahyu (bagi Nabi dan Rasul), lalu tindakan diambil atas dasar ilham dan wahyu tersebut, baik berupa pemberian karunia maupun bukan, maka Allah akan memberikan ganjaran kepada hati itu berupa rahmat, ampunan, kesentosaan, keridhaan, cahaya dan ilmu, kedekatan kepada Allah, terlepas dari segala kebutuhan dan selamat dari bahaya dan bencana. Oleh karena itu, ketahuilah dan ingatlah selalu serta selamatkan dirimu dari ujian dengan sungguh-sungguh dan waspada, tanpa tergesa-gesa menuruti panggilan pikiran dan kehendaknya, tetapi hendaklah kamu menunggu dengan sabar ijin Allah, agar kamu selamat di dunia dan di akhirat kelak.
Sumber: Sumber : http://www.scribd.com/doc/28543643/futuhul-ghaib

Kamis, 15 Maret 2012

Tasawuf Embun untuk Jiwa yang Dahaga
Menurut Dr. Lwiss Saliba, pakar tasawuf dan perbandingan agama di Universitas Sorbonne, Prancis, dewasa ini masyarakat Barat sedang gelapan mencari dimensi spiritualis sebagai penyeimbang epistemologi dan cara pandang mereka yang materialistik.
Zaman terus berputar. Kini, di usianya yang semakin senja, zaman seperti hendak mengulang sejarah masa silam. Akhlak yang sudah ditata rapi oleh para ulama sedikit demi sedikit mulai memudar. Manusia hanya disibukkan dengan pelbagai macam dimensi duniawi. Sehingga, semakin larut ke dalam masalah duniawi, jiwa terasa bertambah kering. Maka, membutuhkan oase yang menyejukkan.Apakah zaman benar-benar akan mengulang sejarah?
Syahdan, pada abad ke-2 Hijriyyah manusia terbuwai dengan aneka macam urusan duniawi. Umat Muhamad semakin banyak yang jauh dari ajaran penutup para rasul itu. Orang-orang yang masih bersih hatinya dari godaan dunia pergi menyepikan diri, mejauhi dunia dan kehidupan hedonis. Perilaku kelompok terakhir dewasa ini kita kenal dengan tasawuf.
Kini, di usianya yang senja, dunia semakin dekat menuju ke titik nadi kehancuran atau kembali ke masa silam. Nabi sudah mengingatkan ratusan tahun silam, ”Suatu saat akan datang kerusakan di mana manusia tidak lagi bersifat humanis.” Ronggowarsito, seorang pujangga jawa, sudah membuktikan sabda nabi dalam kata kesaksiannya, ”Ngamenagni zaman edhan.” Atau dalam istilah mentereng¬ Alvin Toffler-nya ”The shock age.”
Saat ini—pada zaman yang sudah benar-benar edhan–keberadaan tasawuf semakin dibutuhkan sebagaimana saat kehadirannya pada abad ke-2 Hijriyah. Ia jadi embun yang bisa menghilangkan dahaga. Jiwa yang kering bisa merasakan kesejukan dengan membaca dzikir-dzikir bersama para mursyid. Dari pelosok desa sampai gemerlap ibu kota pesona tasawuf memancar indah. Dari gubung reot sampai hotel mewah, kajian-kajian tasawuf selalu ramai peminat.
Fenomena itu terjadi tidak lain karena jiwa manusia dewasa ini tidak memiliki dimensi penyeimbang sehingga seperti kafilah yang berjalan di gurun sahara tanpa bekal air dan makanan: terasa kering dan gersang. Maka dari itu, membutuhkan mata air untuk sekedar minum dan mengisi perbekalan secukupnya agar mereka bisa melanjutkan perjalanan dan sampai pada tujuan. Air itu adalah spiritualis-sufistik.
Bukan hanya masyarakat di nusantara yang merasakan kekeringan jiwa. Fenomena ini sudah jadi ”wabah” dunia, khususnya nun jauh di Barat sana. Di era global ini kebutuhan materi tidak bisa memberikan jaminan ketenangan bagi masyarakat Barat. Justru sebaliknya: kehidupan materialistik malah membuat mereka bagaikan–meminjam istilah Dr. Lwiss Saliba, pakar tasawuf dan perbandingan agama di Universitas Sorbonne–orang dewasa berkaki bayi. Akibatnya, mereka berjalan pincang.
Oleh sebab itu, lanjut pakar tasawuf dan perbandingan agama di Universitas Sorbonne, Prancis itu, orang Barat sedang gelagapan (Jawa: ngoyo) mencari dimensi lain yang dapat mengimbangi epistemologi dan cara pandang mereka yang materialistik. Sehingga, mereka berharap, perkembangan materi dan rohani bisa berjalan secara seimbang. Inilah bukti petapa dibutuhkannya kehadiran tasawuf dewasa ini sekaligus bukti tasawuf Islam juga mempengaruhi epistema pemikiran Barat.
***
Kehadiran tasawuf tidak pernah kering dari kritik dan menjadi lahan studi kritis. Bukan hanya kalangan muslim yang melakukakannya, non-muslim pun tidak sedikit yang ikut andil. Bahkan banyak cendikiawan dan ilmuwan Barat yang terpengaruh pemikiran sufistik Islam. Misalnya—untuk menyebutkan beberapa contoh—Annimare Schimmel, Pierre Lorry, Louis Massignon, dan CF. Hatman.
Diantara orientalis yang megkaji tasawuf secara intens adalah nama yang saya sebutkan di atas, Lwiss Saliba. Dalam disertasi doktoralnya, L’Hindouisme et Son Influence sur La Pens?e Musulmane Selon Al Biruni, Saliba menguraikan pemetaan korelasi mistis antara tasawuf Hindu-India dengan Islam.
Dari kalangan santri yang mengkaji tasawuf secara intens, antara lain, adalah Prof DR. K.H. Said Aqiel Siradj, MA dan Dr. K.H. A. Najib Afandi, MA.
Selain itu, tasawuf pun tidak sepi dari tudingan miring dan pandangan sinis. Oleh golongan terakhir ini, term tasawuf hanya diidentikkan dengan hal-hal yang ”ketinggalam zaman,” anti kemajuan, darwisy (pakaian para sufi), menyepi, dan lain-lain.
Benarkah demikian? Sesempit itukah tasawuf? Apakah haram bagi esoterisme (baca: kaum sufi) mempunyai mobil mewah, menjadi apatur negara dengan batik dan sepatu mengkilap?
Sayyid Ali Abu Hasan Al Syadzili, pendiri tarekat Sadiliyyah, dengan moderat menerjemahkan zuhud (asketis) dengan bahasa elegan, yaitu bentuk rasa syukur terhadap Sang Pencipta. Sederhanya, ketika kita berpakaian batik dan sepatu mengkilap sambil mengemudikan mobil mewah, misalnya, (asalkan di hati kita tidak terbersit rasa sombong) tidak akan keluar dari tasawuf. Dengan cacatan: niat mensyukuri nikmat Tuhan yang telah limpahkan pada kita.
Bukankah nabi, dan para sahabatnya juga para sufi?
Ahl shuffah adalah santri-santri pilihan nabi yang memilih tinggal di masjid bersama nabi dari pada bergumul dengan masalah duniawi secara berlebihan. Nabi seorang pemimpin agama, sekaligus pemimpin pemerintahan. Lalu, kenapa tidak, jika sufi juga merangkap sebagai (misalnya) kepala daerah atau bahkan RI satu.
Contoh lain bahwa tasawuf tidak haram terjun ke ”dunia” ialah tarekat Sanusiyyah di Libya. Tarekat yang dibidani oleh Ali El Sanusi, pria kelahiran Aljazair, ini bukan hanya gerakan Islam esoterik, tetapi juga kekuatan politik yang solid. Bahkan Ali El Sanusi, sang pendiri, termasuk salah seorang yang punya andil saat renainsanse Eropa. Tokoh Sanusiyyah yang lain, Omar El Mukhtar, adalah pejuang yang gigih melawan penjajah Italia sampai akhirnya Libya meraih kemerdekaan, cucu pendiri tarekat ini mendapat kepercayaan rakyat Libya untuk jadi raja Libya pertama. Mulai saat itu, Libya jadi ”Negara Sufi.”
Syeikh Ahmad Musthafa Al Khulli, muryid tarekat Al Syadziliyyah Al Hamidiyyah Mesir, meluruskan pemahan keliru itu. Menurutnya, justru orang sufi harus beretos kerja tinggi. Nabi pernah mencium tangan (kasar) salah seorang sahabatnya karena ia pekerja keras. Jadi, seorang sufi harus tetap berkeja keras; orang perkasa yang tidak akan menelantarkan keluarga. Harta hanya di tangan buka di hati; hati hanya untuk mengingat Tuhan sebagaimana statemen Sayid Abu Bakar dalam Kifayah Al Atqiya’,
?????? ????????? ????????? ?????????? ? ???????? ???? ?????? ????????
”Menghilangkan ketergantungan hati terhadap harta benda (dunia), bukan berarti tidak punya harta.”
Ibnu Thufail jadi representasi seorang sufi yang filosop, pakar ilmu kedokteran, dan seorang menteri, Al Ghazali adalah cerita lain. Ia perwakilan dari seorang sufi yang mahir ilmu fikih, kalam, dan filsafat. Magnum opusnya, Ihya Ulumuddin, jadi rudal yang meroketkan namanya di dunia ini. Dari sini bisa diambil benang merah esensi tawasuf atau kehidupan zuhud adalah tidak menggantungkan kehidupan kita pada dunia; harta hanya di tangan sedangkan hati tetap untuk (mengingat) Tuhan.
Sufi juga tidak harus selamanya menyepi. Sebaliknya, seorang sufi tidak selayaknya hanya mengenal dzikir-dzikir, tetapi juga pakar dalam bidang yang lain, seperti nama-nama di atas.
Sumber: http://www.muntahaafandi.web.id

Kamis, 08 Maret 2012

NANA ASMA’U FODIYO: Sufi Wanita
Mbah Kanyut
Beliau adalah Sufi wanita, anggota Tarekat Qadiriyyah, yang juga terkenal sebagai penyair, ulama, guru dan aktivis perempuan. Beliau menjadi legenda di kalangan wanita Muslim di Afrika Barat karena perjuangannya dalam memajukan pendidikan wanita, karena kegiatannya dalam persoalan-persoalan sosial dan juga kecerdasan dan kesalehannya.
Asma’u binti Utsman Dan Fodiyo lahir pada 1793, putri dari Shehu Utsman Dan Fodiyo, pemimpin gerakan Sokoto Jihad di Afrika Barat. Sebagai anggota dari klan Fulani Fodiyo, Asma’u menganut Islam Sunni dan menjadi anggota Tarekat Qadiriyyah. Ajaran tarekat inilah yang menjadi pedoman hidupnya di sepanjang hayatnya. Saat masih anak-anak, beliau tinggal bersama dua istri lain ayahnya, Aisha dan Hauwa. Mereka mengajarinya praktik suluk tarekat dan zuhud. Sejak kecil beliau telah menyadari bahwa tugas mengurusi rumah adalah bagian dari pelatihan spiritualnya. Selain mempelajari berbagai macam ilmu agama dan umum, beliau juga belajar menghafal al-Qur’an hingga menjadi hafizah. Beliau mempelajari empat bahasa (Arab, Fulfude, Hausa dan Tamchek). Belakangan beliau menjadi penyair dan cendekiawan yang terkenal hingga ke luar wilayah maghribi.
Asma’u berperan penting dalam proses transformasi tatanan sosial Hausa-Fulani setelah terjadi pergolakan yang disebabkan oleh jihad yang dilancarkan oleh ayahnya. Beliau mengorganisir guru perempuan yang dikenal sebagai jajis untuk mengajar wanita pedesaan. Sajak-sajaknya dipakai sebagai alat untuk mengajarkan prinsip Islam kepada para pengungsi dan wanita pedesaan. Salah satu puisi panjangnya memuat beragam tema seperti pentingnya al-Qur’an, Tauhid, Wali Allah wanita, tanda-tanda kiamat, jihad, cinta kepada Rasulullah SAW, dan puji-pujian kepada para Awliya. Sebagai penganut Tarekat Qadiriyyah beliau menganjurkan kepada umat agar mencari kebenaran tertinggi (hakikat), mementingkan kehidupan akhirat dan bersikap zuhud terhadap dunia. Beliau meninggal pada 1864, dan makamnya yang berada Sokoto, Nigeria, masih menjadi tempat ziarah banyak umat Muslim.
Sumber: http://warkopmbahlalar.com

Selasa, 14 Februari 2012

SYAIKH NAWAWI AL BANTANI( Digelar Imam Nawawi Kedua )

NAMA Imam Nawawi tidak asing lagi bagi dunia Islam terutama dalam lingkungan ulama-ulama Syafi'iyah. Ulama ini sangat terkenal kerana banyak karangannya yang dikaji pada setiap zaman dari dahulu sampai sekarang. Pada penghujung abad ke-18 lahir pula seorang yang bernama Nawawi di Banten, Jawa Barat. Setelah dia menuntut ilmu yang sangat banyak, mensyarah kitab-kitab bahasa Arab dalam pelbagai disiplin ilmu yang sangat banyak pula, maka dia digelar Imam Nawawi ats-Tsani, ertinya Imam Nawawi Yang Kedua. Orang pertama memberi gelaran demikian ialah Syeikh Wan Ahmad bin Muhammad Zain al-Fathani.

Gelaran yang diungkapkan oleh Syeikh Ahmad al-Fathani dalam seuntai gubahan syairnya itu akhirnya diikuti oleh semua orang yang menulis riwayat ulama yang berasal dari Banten itu. Sekian banyak ulama dunia Islam sejak sesudah Imam Nawawi yang pertama (wafat 676 Hijrah/1277 Masehi) sampai sekarang ini belum ada orang lain yang mendapat gelaran Imam Nawawi ats-Tsani, kecuali Syeikh Nawawi, ulama kelahiran Banten yang dibicarakan ini. Rasanya gelaran demikian memang dipandang layak, tidak ada ulama sezaman dengannya mahupun sesudahnya yang mempertikai autoritinya dalam bidang ilmiah keislaman menurut metode tradisional yang telah wujud zaman berzaman dan berkesinambungan.


Sungguhpun Syeikh Nawawi ats-Tsani al-Bantani diakui alim dalam semua bidang ilmu keislaman, namun dalam dunia at-thariqah ash-shufiyah, gurunya Syeikh Ahmad Khathib Sambas tidak melantik beliau sebagai seorang mursyid Thariqat Qadiriyah-Naqsyabandiyah, tetapi yang dilantik ialah Syeikh Abdul Karim al-Bantani, iaitu ayah saudara kepada Syeikh Nawawi al-Bantani, yang sama-sama menerima thariqat itu kepada Syeikh Ahmad Khathib Sambas. Apakah sebabnya terjadi demikian hanya diketahui oleh Syeikh Ahmad Khathib Sambas dan Syeikh Nawawi al-Bantani. Syeikh Nawawi al-Bantani mematuhi peraturan yang diberikan itu, sehingga beliau tidak pernah mentawajuh/membai'ah seseorang muridnya walaupun memang ramai murid beliau yang menjadi ulama besar yang berminat dalam bidang keshufian.

LAHIR DAN PENDIDIKAN
Nama lengkapnya adalah Syeikh Muhammad Nawawi bin Umar ibnu Arabi bin Ali al-Jawi al-Bantani. Beliau adalah anak sulung seorang ulama Banten, Jawa Barat, lahir pada tahun 1230 Hijrah/1814 Masehi di Banten dan wafat di Mekah tahun 1314 Hijrah/1897 Masehi. Ketika kecil, beliau sempat belajar kepada ayahnya sendiri, dan di Mekah belajar kepada beberapa ulama terkenal pada zaman itu, di antara mereka yang dapat dicatat adalah sebagai berikut: Syeikh Ahmad an-Nahrawi, Syeikh Ahmad ad-Dumyati, Syeikh Muhammad Khathib Duma al-Hanbali, Syeikh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Maliki, Syeikh Zainuddin Aceh, Syeikh Ahmad Khathib Sambas, Syeikh Syihabuddin, Syeikh Abdul Ghani Bima, Syeikh Abdul Hamid Daghastani, Syeikh Yusuf Sunbulawani, Syeikhah Fatimah binti Syeikh Abdus Shamad al-Falimbani, Syeikh Yusuf bin Arsyad al-Banjari, Syeikh Abdus Shamad bin Abdur Rahman al-Falimbani, Syeikh Mahmud Kinan al-Falimbani, Syeikh Aqib bin Hasanuddin al-Falimbani. Demikian saja para gurunya yang dapat dicatat daripada berbagai-bagai sumber, dan berkemungkinan banyak yang belum dapat dicatat di sini.

Dipercayai beliau datang ke Mekah dalam usia 15 tahun dan selanjutnya setelah menerima pelbagai ilmu di Mekah, beliau meneruskan pelajarannya ke Syam (Syiria) dan Mesir. Setelah keluar dari Mekah kerana menuntut ilmu yang tidak diketahui berapa lamanya, lalu beliau kembali lagi ke Mekah. Keseluruhan masa beliau tinggal di Mekah dari mulai belajar, mengajar dan mengarang hingga sampai kemuncak kemasyhurannya lebih dari setengah abad lamanya. Diriwayatkan bahawa setiap kali beliau mengajar di Masjidil Haram sentiasa dikelilingi oleh pelajar yang tidak kurang daripada dua ratus orang. Kerana sangat terkenalnya beliau pernah diundang ke Universiti al-Azhar, Mesir untuk memberi ceramah atau fatwa-fatwa pada beberapa perkara yang tertentu.

Belum jelas tahun berapa beliau diundang oleh ahli akademik di Universiti al-Azhar itu, namun difahamkan bahawa beliau sempat bertemu dengan seorang ulama terkenal di al-Azhar (ketika itu sebagai Syeikhul Azhar), iaitu Syeikh Ibrahim al-Baijuri (wafat 1860 Masehi) yang sangat tua dan lumpuh kerana tuanya. Kemungkinan Syeikh Ibrahim al-Baijuri, Syeikhul Azhar yang terkenal itu termasuk salah seorang di antara guru kepada Syeikh Nawawi al-Bantani.

MURID MURID
Diriwayatkan bahawa Syeikh Nawawi al-Bantani mengajar di Masjidil Haram menggunakan bahasa Jawa dan Sunda ketika memberi keterangan terjemahan kitab-kitab bahasa Arab. Barangkali ulama Banten yang terkenal itu kurang menguasai bahasa Melayu yang lebih umum dan luas digunakan pada zaman itu. Oleh sebab kurang menguasai bahasa Melayu, maka tidak berapa ramai muridnya yang berasal dari luar pulau Jawa (seperti Sumatera dan Semenanjung Tanah Melayu dan Patani). Tetapi Tok Kelaba al-Fathani menyebut bahawa beliau menerima satu amalan wirid daripada Syeikh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani, dan Syeikh Abdul Qadir itu menerimanya daripada Syeikh Nawawi al-Bantani. Syeikh Abdul Qadir al-Fathani (Tok Bendang Daya II) sebenarnya bukan peringkat murid kepada Syeikh Nawawi al-Bantani tetapi adalah peringkat sahabatnya. Syeikh Nawawi al-Bantani (1230 Hijrah/1814 Masehi) lebih tua sekitar empat tahun saja daripada Syeikh Abdul Qadir al-Fathani (Tok Bendang Daya II, 1234 Hijrah/1817 Masehi). Adapun murid Syeikh Nawawi al-Bantani di pulau Jawa yang menjadi ulama yang terkenal sangat ramai, di antara mereka ialah, Kiyai Haji Hasyim Asy'ari, Pengasas Pondok Pesantren Tebuireng, Jawa Timur, bahkan beliau ini dianggap sebagai bapa ulama Jawa dan termasuk pengasas Nahdhatul Ulama. Murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang terkenal pula ialah Kiyai Haji Raden Asnawi di Kudus, Jawa Tengah, Kiyai Haji Tubagus Muhammad Asnawi di Caringin, Purwokerto, Jawa Barat, Syeikh Muhammad Zainuddin bin Badawi as-Sumbawi, Syeikh Abdus Satar bin Abdul Wahhab as-Shidqi al-Makki, Sayid Ali bin Ali al-Habsyi al-Madani dan ramai lagi.
Salah seorang cucunya, yang juga mendapat pendidikan sepenuhnya daripada beliau ialah Syeikh Abdul Haq bin Abdul Hannan al-Jawi al-Bantani (1285 Hijrah/1868 Masehi - 1324 Hijrah/1906 Masehi). Pada halaman pertama Al-Aqwalul Mulhaqat, Syeikh Abdul Haq al-Bantani menyebut bahawa Syeikh Nawawi al-Bantani adalah orang tuanya (Syeikhnya), orang yang memberi petunjuk dan pembimbingnya. Pada bahagian kulit kitab pula beliau menulis bahawa beliau adalah `sibthun' (cucu) an-Nawawi Tsani. Selain orang-orang yang tersebut di atas, sangat ramai murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang memimpin secara langsung barisan jihad di Cilegon melawan penjajahan Belanda pada tahun 1888 Masehi. Di antara mereka yang dianggap sebagai pemimpin pemberontak Celegon ialah: Haji Wasit, Haji Abdur Rahman, Haji Haris, Haji Arsyad Thawil, Haji Arsyad Qasir, Haji Aqib dan Tubagus Haji Ismail. Semua mereka adalah murid Syeikh Nawawi al-Bantani yang dikaderkan di Mekah.


KARYA KARYA

Berapa banyakkah karya Syeikh Nawawi ats-Tsani al-Bantani yang sebenarnya belum diketahui dengan pasti. Barangkali masih banyak yang belum masuk dalam senarai yang ditulis oleh penulis-penulis sebelum ini. Saya telah memiliki karya ulama Banten ini sebanyak 30 judul. Judul yang telah saya masukkan dalam buku berjudul Katalog Besar Persuratan Melayu, sebanyak 44 judul. Semua karya Syeikh Nawawi al-Bantani ditulis dalam bahasa Arab dan merupakan syarahan daripada karya orang lain. Belum ditemui walau sebuah pun karyanya yang diciptakan sendiri. Juga belum ditemui karyanya dalam bahasa Melayu, Jawa ataupun Sunda. Oleh sebab kekurangan ruangan di antara 44 judul di bawah ini saya catat sekadarnya saja, ialah:
1. Targhibul Musytaqin, selesai Jumaat, 13 Jamadilakhir 1284 Hijrah/1867 Masehi. Cetakan awal Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1311 Hijrah.
2. Fat-hus Shamadil `Alim, selesai awal Jamadilawal 1286 Hijrah/1869 Masehi. Dicetak oleh Mathba'ah Daril Kutubil Arabiyah al-Kubra, Mesir 1328 Hijrah.

3. Syarah Miraqil `Ubudiyah, selesai 13 Zulkaedah 1289 Hijrah/1872 Masehi. Cetakan pertama Mathba'ah al-Azhariyah al-Mashriyah, Mesir 1308 Hijrah.
4. Madarijus Su'ud ila Iktisa'il Burud, mulai menulis 18 Rabiulawal 1293 Hijrah/1876 Masehi. Dicetak oleh Mathba'ah Mustafa al-Baby al-Halaby, Mesir, akhir Zulkaedah 1327 Hijrah.
5. Hidayatul Azkiya' ila Thariqil Auliya', mulai menulis 22 Rabiulakhir 1293 Hijrah/1876 Masehi, selesai 13 Jamadilakhir 1293 Hijrah/1876 Masehi. Diterbitkan oleh Mathba'ah Ahmad bin Sa'ad bin Nabhan, Surabaya, tanpa menyebut tahun penerbitan.
6. Fat-hul Majid fi Syarhi Durril Farid, selesai 7 Ramadan 1294 Hijrah/1877 Masehi. Cetakan pertama oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1304 Hijrah.
7. Bughyatul `Awam fi Syarhi Maulidi Saiyidil Anam, selesai 17 Safar 1294 Hijrah/1877 Masehi. Dicetak oleh Mathba'ah al-Jadidah al-'Amirah, Mesir, 1297 Hijrah.
8. Syarah Tijanud Darari, selesai 7 Rabiulawal 1297 Hijrah/1879 Masehi. Cetakan pertama oleh Mathba'ah `Abdul Hamid Ahmad Hanafi, Mesir, 1369 Masehi.
9. Syarah Mishbahu Zhulmi `alan Nahjil Atammi, selesai Jamadilawal 1305 Hijrah/1887 Masehi. Cetakan pertama oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1314 Hijrah atas biaya saudara kandung pengarang, iaitu Syeikh Abdullah al-Bantani.
10. Nasha-ihul `Ibad, selesai 21 Safar 1311 Hijrah/1893 Masehi. Cetakan kedua oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1323 Hijrah.
11. Al-Futuhatul Madaniyah fisy Syu'bil Imaniyah, tanpa tarikh. Dicetak di bahagian tepi kitab nombor 10, oleh Mathba'ah al-Miriyah al-Kainah, Mekah, 1323 Hijrah.
12. Hilyatus Shibyan Syarhu Fat-hir Rahman fi Tajwidil Quran, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba'ah al-Miriyah, Mekah, 1332 Hijrah.
13. Qatrul Ghaits fi Syarhi Masaili Abil Laits, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba'ah al-Miriyah, Mekah, 1321 Hijrah.
14. Mirqatu Su'udi Tashdiq Syarhu Sulamit Taufiq, tanpa tarikh. Cetakan pertama oleh Mathba'ah al-Miriyah, Mekah 1304 Hijrah.
15. Ats-Tsimarul Yani'ah fir Riyadhil Badi'ah, tanpa tarikh. Cetakan pertama oleh Mathba'ah al-Bahiyah, Mesir, Syaaban 1299 Hijrah. Dicetak juga oleh Mathba'ah Mustafa al-Baby al-Halaby, Mesir, 1342 Hijrah.
16. Tanqihul Qaulil Hatsits fi Syarhi Lubabil Hadits, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba'ah Dar Ihya' al-Kutub al-'Arabiyah, Mesir, tanpa tarikh.
17.Bahjatul Wasail bi Syarhi Masail, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba'ah al-Haramain, Singapura-Jeddah, tanpa tarikh.
18. Fat-hul Mujib Syarhu Manasik al- 'Allamah al-Khatib, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba'ah at-Taraqqil Majidiyah, Mekah, 1328 Hijrah.
19. Nihayatuz Zain Irsyadil Mubtadi-in, tanpa tarikh. Diterbitkan oleh Syarikat al-Ma'arif, Bandung, Indonesia, tanpa tarikh.
20. Al-Fushushul Yaqutiyah `alar Raudhatil Bahiyah fi Abwabit Tashrifiyah, tanpa tarikh. Dicetak oleh Mathba'ah al-Bahiyah, Mesir, awal Syaaban 1299 Hijrah.
Penyumbang Ilmu Fiqh
Syekh Nawawi termasuk ulama tradisional besar yang telah memberikan sumbangan sangat penting bagi perkembangan ilmu fiqh di Indonesia. Mereka memperkenalkan dan menjelaskan, melalui syarah yang mereka tulis, berbagai karya fiqh penting dan mereka mendidik generasi ulama yang menguasai dan memberikan perhatian kepada fiqh.
Ia menulis kitab fiqh yang digunakan secara luas, Nihayat al-Zain. Kitab ini merupakan syarah kitab Qurrat al-‘Ain, yang ditulis oleh ulama India Selatan abad ke-16, Zain ad-Din al-Malibari (w. 975 M). ulama India ini adalah murid Ibnu Hajar al-haitami (wafat 973 M), penulis Tuhfah al-Muhtaj, tetapi Qurrat dan syarah yag belakangan ditulis al-Malibari sendiri tidak didasarkan pada Tuhfah.
Qurrat al-‘Ain belakangan dikomentari dan ditulis kembali oleh pengarangnya sendiri menjadi Fath al-Muin. Dua orang yang sezaman dengan Syekh Nawawi Banten di Makkah tapi lebih muda usianya menulis hasyiyah (catatan) atas Fath al-Mu’in. Sayyid Bakri bin Muhammad Syatha al-Dimyathi menulis empat jilid I’aanah at-Thalibbin yang berisikan catatan pengarang dan sejumlah fatwa mufti Syafi’i di Makkah saat itu, Ahmad bin Zaini Dahlan. Inilah kitab yang popular sebagai rujukan utama.
Syekh Nawawi Banten juga menulis dalam bahasa Arab Kasyifah as-Saja’, syarah atas dua karya lain yang juga penting dalam ilmu fiqh. Yang satu teks pengantar Sullamu at-Taufiq yang ditulis oleh ‘Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’lawi (wafat 1272 H/ 1855 M). yang lain ialah Safinah an-Najah ditulis oleh Salim bin Abdullah bin Samir, ulama Hadrami yang tinggal di Batavia (kini: Jakarta) pada pertengahan abad ke-19.
Kitab daras (text book) ar-Riyadh al Badi’ah fi Ushul ad-Din wa Ba’dh Furu’ asy-Syari’ah yang membahas butir pilihan ajaran dan kewajiban agama diperkenalkan oleh Kyai Nawawi Banten pada kaum muslimin Indonesia. Tak banyak diketahui tentang pengarangnya, Muhammad Hasbullah. Barangkali ia sezaman dengan atau sedikit lebih tua dari Syekh Nawawi banten. Ia terutama dikenal karena syarah Nawawi, Tsamar al-Yani’ah. Karyanya hanya dicetak di pinggirnya.
Sullam al-Munajat merupakan syarah Nawawi atas pedoman ibadah Safinah ash-Shalah karangan Abdullah bin ‘Umar al-Hadrami, sedangkan Tausyih Ibn Qasim merupakan komentarnya atas Fath al-Qarib. Walau bagaimanapun, masih banyak yang belum kita ketahui tentang Syekh Nawawi Banten. (ditulis oleh Martin Muntadhim S.M.)
Nasionalisme
Tiga tahun bermukim di Mekah, beliau pulang ke Banten. Sampai di tanah air beliau menyaksikan praktek-praktek ketidakadilan, kesewenang-wenangan dan penindasan dari Pemerintah Hindia Belanda. Ia melihat itu semua lantaran kebodohan yang masih menyelimuti umat. Tak ayal, gelora jihadpun berkobar. Beliau keliling Banten mengobarkan perlawanan terhadap penjajah. Tentu saja Pemerintah Belanda membatasi gara-geriknya. Beliau dilarang berkhutbah di masjid-masjid. Bahkan belakangan beliau dituduh sebagai pengikut Pangeran Diponegoro yang ketika itu memang sedang mengobarkan perlawanan terhadap penjajahan Belanda (1825- 1830 M).
Sebagai intelektual yang memiliki komitmen tinggi terhadap prinsip-prinsip keadilan dan kebenaran, apa boleh buat Syaikh Nawawi terpaksa menyingkir ke Negeri Mekah, tepat ketika perlawanan Pangeran Diponegoro padam pada tahun 1830 M. Ulama Besar ini di masa mudanya juga menularkan semangat Nasionalisme dan Patriotisme di kalangan Rakyat Indonesia. Begitulah pengakuan Snouck Hourgronje. Begitu sampai di Mekah beliau segera kembali memperdalam ilmu agama kepada guru-gurunya. Beliau tekun belajar selama 30 tahun, sejak tahun 1830 hingga 1860 M. Ketika itu memang beliau berketepatan hati untuk mukim di tanah suci, satu dan lain hal untuk menghindari tekanan kaum penjajah Belanda. Nama beliau mulai masyhur ketika menetap di Syi'ib ‘Ali, Mekah. Beliau mengajar di halaman rumahnya. Mula-mula muridnya cuma puluhan, tapi makin lama makin jumlahnya kian banyak. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia. Maka jadilah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi sebagai ulama yang dikenal piawai dalam ilmu agama, terutama tentang tauhid, fiqih, tafsir, dan tasawwuf.
Nama beliau semakin melejit ketika beliau ditunjuk sebagai pengganti Imam Masjidil Haram, Syaikh Khâtib al-Minagkabawi. Sejak itulah beliau dikenal dengan nama resmi ‘Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi.’ Artinya Nawawi dari Banten, Jawa. Piawai dalam ilmu agama, masyhur sebagai ulama. Tidak hanya di kota Mekah dan Medinah saja beliau dikenal, bahkan di negeri Mesir nama beliau masyhur di sana. Itulah sebabnya ketika Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Mesir negara yang pertama-tama mendukung atas kemerdekaan Indonesia.
Syaikh Nawawi masih tetap mengobarkan nasionalisme dan patriotisme di kalangan para muridnya yang biasa berkumpul di perkampungan Jawa di Mekah. Di sanalah beliau menyampaikan perlawanannya lewat pemikiran-pemikirannya. Kegiatan ini tentu saja membuat pemerintah Hindia Belanda berang. Tak ayal, Belandapun mengutus Snouck Hourgronje ke Mekah untuk menemui beliau.
Ketika Snouck–yang kala itu menyamar sebagai orang Arab dengan nama ‘Abdul Ghafûr-bertanya:
“Mengapa beliau tidak mengajar di Masjidil Haram tapi di perkampungan Jawa?”.
Dengan lembut Syaikh Nawawi menjawab:
“Pakaianku yang jelek dan kepribadianku tidak cocok dan tidak pantas dengan keilmuan seorang professor berbangsa Arab”.
Lalu kata Snouck lagi:
”Bukankah banyak orang yang tidak sepakar seperti anda akan tetapi juga mengajar di sana?”.
Syaikh Nawawi menjawab :
“Kalau mereka diizinkan mengajar di sana, pastilah mereka cukup berjasa".
Dari beberapa pertemuan dengan Syaikh Nawawi, Orientalis Belanda itu mengambil beberapa kesimpulan. Menurutnya, Syaikh Nawawi adalah Ulama yang ilmunya dalam, rendah hati, tidak congkak, bersedia berkorban demi kepentingan agama dan bangsa. Banyak murid-muridnya yang di belakang hari menjadi ulama, misalnya K.H. Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdhatul Ulama), K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), K.H. Khalil Bangkalan, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tb. Bakrie Purwakarta, K.H. Arsyad Thawil, dan lain-lainnya.
Konon, K.H. Hasyim Asy’ari saat mengajar santri-santrinya di Pesantren Tebu Ireng sering menangis jika membaca kitab fiqih Fath al-Qarîb yang dikarang oleh Syaikh Nawawi. Kenangan terhadap gurunya itu amat mendalam di hati K.H. Hasyim Asy’ari hingga haru tak kuasa ditahannya setiap kali baris Fath al-Qarib ia ajarkan pada santri-santrinya.
Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi menikah dengan Nyai Nasimah, gadis asal Tanara, Banten dan dikaruniai 3 anak: Nafisah, Maryam, Rubi’ah. Sang istri wafat mendahului beliau.
Gelar-Gelar
Berkat kepakarannya, beliau mendapat bermacam-macam gelar. Di antaranya yang diberikan oleh Snouck Hourgronje, yang menggelarinya sebagai Doktor Ketuhanan. Kalangan Intelektual masa itu juga menggelarinya sebagai al-Imam wa al-Fahm al-Mudaqqiq (Tokoh dan pakar dengan pemahaman yang sangat mendalam). Syaikh Nawawi bahkan juga mendapat gelar yang luar biasa sebagaia al-Sayyid al-‘Ulama al-Hijâz (Tokoh Ulama Hijaz). Yang dimaksud dengan Hijaz ialah Jazirah Arab yang sekarang ini disebut Saudi Arabia. Sementara para Ulama Indonesia menggelarinya sebagai Bapak Kitab Kuning Indonesia.
Karamah
Konon, pada suatu waktu pernah beliau mengarang kitab dengan menggunakan telunjuk beliau sebagai lampu, saat itu dalam sebuah perjalanan. Karena tidak ada cahaya dalam syuqduf yakni rumah-rumahan di punggung unta, yang beliau diami, sementara aspirasi tengah kencang mengisi kepalanya. Syaikh Nawawi kemudian berdoa memohon kepada Allah Ta’ala agar telunjuk kirinya dapat menjadi lampu menerangi jari kanannya yang untuk menulis. Kitab yang kemudian lahir dengan nama Marâqi al-‘Ubudiyyah syarah Matan Bidâyah al-Hidayah itu harus dibayar beliau dengan cacat pada jari telunjuk kirinya. Cahaya yang diberikan Allah pada jari telunjuk kiri beliau itu membawa bekas yang tidak hilang. Karamah beliau yang lain juga diperlihatkannya di saat mengunjungi salah satu masjid di Jakarta yakni Masjid Pekojan. Masjid yang dibangun oleh salah seorang keturunan cucu Rasulullah saw Habib Utsmân bin ‘Agîl bin Yahya al-‘Alawi, Ulama dan Mufti Betawi (sekarang ibukota Jakarta), itu ternyata memiliki kiblat yang salah. Padahal yang menentukan kiblat bagi mesjid itu adalah Sayyid Utsmân sendiri.
Tak ayal , saat seorang anak remaja yang tak dikenalnya menyalahkan penentuan kiblat, kagetlah Sayyid Utsmân. Diskusipun terjadi dengan seru antara mereka berdua. Sayyid Utsmân tetap berpendirian kiblat Mesjid Pekojan sudah benar. Sementara Syaikh Nawawi remaja berpendapat arah kiblat mesti dibetulkan. Saat kesepakatan tak bisa diraih karena masing-masing mempertahankan pendapatnya dengan keras, Syaikh Nawawi remaja menarik lengan baju lengan Sayyid Utsmân. Dirapatkan tubuhnya agar bisa saling mendekat.
“Lihatlah Sayyid!, itulah Ka?bah tempat Kiblat kita. Lihat dan perhatikanlah! Tidakkah Ka’bah itu terlihat amat jelas? Sementara Kiblat masjid ini agak kekiri. Maka perlulah kiblatnya digeser ke kanan agar tepat menghadap ke Ka’bah". Ujar Syaikh Nawawi remaja.
Sayyid Utsmân termangu. Ka’bah yang ia lihat dengan mengikuti telunjuk Syaikh Nawawi remaja memang terlihat jelas. Sayyid Utsmân merasa takjub dan menyadari , remaja yang bertubuh kecil di hadapannya ini telah dikaruniai kemuliaan, yakni terbukanya nur basyariyyah. Dengan karamah itu, di manapun beliau berada Ka’bah tetap terlihat. Dengan penuh hormat, Sayyid Utsmân langsung memeluk tubuh kecil beliau. Sampai saat ini, jika kita mengunjungi Masjid Pekojan akan terlihat kiblat digeser, tidak sesuai aslinya.

Telah menjadi kebijakan Pemerintah Arab Saudi bahwa orang yang telah dikubur selama setahun kuburannya harus digali. Tulang belulang si mayat kemudian diambil dan disatukan dengan tulang belulang mayat lainnya. Selanjutnya semua tulang itu dikuburkan di tempat lain di luar kota. Lubang kubur yang dibongkar dibiarkan tetap terbuka hingga datang jenazah berikutnya terus silih berganti. Kebijakan ini dijalankan tanpa pandang bulu. Siapapun dia, pejabat atau orang biasa, saudagar kaya atau orang miskin, sama terkena kebijakan tersebut. Inilah yang juga menimpa makam Syaikh Nawawi. Setelah kuburnya genap berusia satu tahun, datanglah petugas dari pemerintah kota untuk menggali kuburnya. Tetapi yang terjadi adalah hal yang tak lazim. Para petugas kuburan itu tak menemukan tulang belulang seperti biasanya. Yang mereka temukan adalah satu jasad yang masih utuh. Tidak kurang satu apapun, tidak lecet atau tanda-tanda pembusukan seperti lazimnya jenazah yang telah lama dikubur. Bahkan kain putih kafan penutup jasad beliau tidak sobek dan tidak lapuk sedikitpun.
Terang saja kejadian ini mengejutkan para petugas. Mereka lari berhamburan mendatangi atasannya dan menceritakan apa yang telah terjadi. Setelah diteliti, sang atasan kemudian menyadari bahwa makam yang digali itu bukan makam orang sembarangan. Langkah strategis lalu diambil. Pemerintah melarang membongkar makam tersebut. Jasad beliau lalu dikuburkan kembali seperti sediakala. Hingga sekarang makam beliau tetap berada di Ma’la, Mekah.
Demikianlah karamah Syaikh Nawawi al-Bantani al-Jawi. Tanah organisme yang hidup di dalamnya sedikitpun tidak merusak jasad beliau. Kasih sayang Allah Ta’ala berlimpah pada beliau. Karamah Syaikh Nawawi yang paling tinggi akan kita rasakan saat kita membuka lembar demi lembar Tafsîr Munîr yang beliau karang. Kitab Tafsir fenomenal ini menerangi jalan siapa saja yang ingin memahami Firman Allah swt. Begitu juga dari kalimat-kalimat lugas kitab fiqih, Kâsyifah al-Sajâ, yang menerangkan syariat. Begitu pula ratusan hikmah di dalam kitab Nashâih al-‘Ibâd. Serta ratusan kitab lainnya yang akan terus menyirami umat dengan cahaya abadi dari buah tangan beliau.
Wafat
Masa selama 69 tahun mengabdikan dirinya sebagai guru Umat Islam telah memberikan pandangan-pandangan cemerlang atas berbagai masalah umat Islam. Syaikh Nawawi wafat di Mekah pada tanggal 25 syawal 1314 H/ 1897 M. Tapi ada pula yang mencatat tahun wafatnya pada tahun 1316 H/ 1899 M. Makamnya terletak di pekuburan Ma'la di Mekah. Makam beliau bersebelahan dengan makam anak perempuan dari Sayyidina Abu Bakar al-Siddiq, Asma’ binti Abû Bakar al-Siddîq.
Sumber: http://www.almuhibbin.com