Perjalanan bersama Ilmu Amaliah dan Amal Ilmiah Menyambut Pecinta Kesucian jiwa mengarungi Lautan Tanpa Tepi Mencari Barokah dan Menabur Barokah untuk Sesama.

Sabtu, 24 Maret 2012

Mengenal al-Husain bin Mansur Al Hallaj
Bahan-bahan:
Antara Drama Ilahi dan Tragedi Penyingkapan Rahasia

Abad ketiga hijriyah merupakan abad yang paling monumental dalam sejarah teologi dan tasawuf. Lantaran, pada abad itu cahaya Sufi benar-benar bersinar terang. Para Sufi seperti Sari as-Saqathy, Al-Harits al-Muhasiby, Ma’ruf al-Karkhy, Abul Qasim al-Junaid al-Baghdady, Sahl bin Abdullah at-Tustary, Ibrahim al-Khawwash, Al-Husain bin Manshur al-Hallaj, Abu Bakr asy-Syibly dan ratusan Sufi lainya.

Di tengah pergolakan intelektual, filsafat, politik dan peradaban Islam ketika itu, tiba-tiba muncul sosok agung yang dinilai sangat kontroversial oleh kalangan fuqaha’, politisi dan kalangan Islam formal ketika itu. Bahkan sebagian kaum Sufi pun ada yang kontra. Yaitu sosok Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj. Sosok yang kelak berpengaruh dalam peradaban teosofia Islam, sekaligus menjadi watak misterius dalam sejarah Tasawuf Islam.

Nama lengkapnya adalah al-Husain bin Mansur, populer dipanggil dengan Abul Mughits, berasal dari penduduk Baidha’ Persia, lalu berkembang dewasa di Wasith dan Irak. Menurut catatan As-Sulamy, Al-Hallaj pernah berguru pada Al-Junaid al-Baghdady, Abul Husain an-Nury, Amr al-Makky, Abu Bakr al-Fuwathy dan guru-guru lainnya. Walau pun ia ditolak oleh sejumlah Sufi, namun ia diterima oleh para Sufi besar lainnya seperti Abul Abbad bin Atha’, Abu Abdullah Muhammad Khafif, Abul Qasim Al-Junaid, Ibrahim Nashru Abadzy. Mereka memuji dan membenarkan Al-Hallaj, bahkan mereka banyak mengisahkan dan memasukkannya sebagai golongan ahli hakikat. Bahkan Muhammad bin Khafif berkomentar, “Al-Husain bin Manshur adalah seorang a’lim Rabbany.”

Pada akhir hayatnya yang dramatis, Al-Hallaj dibunuh oleh penguasa dzalim ketika itu, di dekat gerbang Ath-Thaq, pada hari Selasa di bulan Dzul Qa’dah tahun 309 H.

Kelak pada perkembangannya, teori-teori Tasawuf yang diungkapkan oleh Al-Hallaj, berkembang lebih jauh, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Araby, Al-Jiily, Ibnu Athaillah as-Sakandary, bahkan gurunya sendiri Al-Junaid punya Risalah (semacam Surat-surat Sufi) yang pandangan utuhnya sangat mirip dengan Al-Hallaj. Sayang Risalah tersebut tidak terpublikasi luas, sehingga, misalnya mazhab Sufi Al-Junaid tidak difahami secara komprehensif pula. Menurut Prof Dr. KH Said Aqiel Sirraj, “Kalau orang membaca Rasailul Junaid, pasti orang akan faham tentang pandangan Al-Hallaj.”

Pandangan Al-Hallaj banyak dikafirkan oleh para Fuqaha’ yang biasanya hanya bicara soal halal dan haram. Sementara beberapa kalangan juga menilai, kesalahan Al-Hallaj, karena ia telah membuka rahasia Tuhan, yang seharusnya ditutupi. Kalimatnya yang sangat terkenal hingga saat ini, adalah “Ana al-Haq”, yang berarti, “Akulah Allah”.

Tentu, pandangan demikian menjadi heboh. Apalagi jika ungkapan tersebut dipahami secara sepintas belaka, atau bahkan tidak dipahami sama sekali.

Para teolog, khususnya Ibnu Taymiyah tentu mengkafirkan Al-Hallaj, dan termasuk juga mengkafirkan Ibnu Araby, dengan tuduhan keduanya adalah penganut Wahdatul Wujud atau pantheisme.

Padahal dalam seluruh pandangan Al-Hallaj tak satu pun kata atau kalimat yang menggunakan Wahdatul Wujud (kesatuan wujud antara hamba dengan Khaliq). Wahdatul Wujud atau yang disebut pantheisme hanyalah penafsiran keliru secara filosufis atas wacana-wacana Al-Hallaj. Bahkan yang lebih benar adalah Wahdatusy Syuhud (Kesatuan Penyaksian). Sebab yang manunggal itu adalah penyaksiannya, bukan DzatNya dengan dzat makhluk.Para pengkritik yang kontra Al-Hallaj, menurut Kiai Abdul Ghafur, Sufi kontemporer dewasa ini, melihat hakikat hanya dari luar saja. Sedangkan Al-Hallaj melihatnya dari dalam.

Sebagaimana Al-Ghazali melihat sebuah bangunan dari dalam dan dari luar, lalu menjelaskan isi dan bentuk bangunan itu kepada publik, sementara Ibnu Rusydi melihat bangunan hanya bentuk luarnya saja, dan menjelaskannya kepada publik pula. Tentu jauh berbeda kesimpulan Al-Ghazali dan Ibnu Rusydi.

Setidak-tidaknya ada tiga keleompk besar dari kalangan Ulama, baik fuqaha’ maupun Sufi terhadap pandangan-pandangan Al-Hallaj ini. Mereka ada yang langsung kontra dan mengkafirkan; ada pula yang secara moderat tidak berkomentar; dan ada yang langsung menerima dan mendukungnya. Menurut penelitian Dr. Abdul Qadir Mahmud, dalam bukunya Al-Falsafatush Shufiyah fil Islam, mengatakan:



Mereka yang mngkafirkannya, antara lain adalah para Fuqaha’ formalis, dan kalangan mazhab Dzahiriyah, seperti Ibnu dawud dan Ibnu Hazm. Sedangkan dari kalangan Syi’ah Imamiyah antara lain Ibnu Babaweih al-Qummy, ath-Thusy dan al-Hilly. Dari kalangan mazhab Maliki antara lain Ath-Tharthusy, Iyyadh, Ibnu Khaldun. Dari kalangan mazhab Hanbaly antara lain Inu Taymiyah. Dan kalangan Syafi’iyah antara lain Al-Juwainy dan ad-Dzahaby.

Sementara itu dari kalangan Mutakallimin yang mengkafirkan: Al-Jubba’i dan al-Qazwiny (Mu’tazilah); Nashiruddin ath-Thusy dan pengukutnya (Imamiyah); Al-Baqillany (Asy’ariyah); Ibnu Kamal dan al-Qaaly (Maturidiyah).

Dari kalangan Sufi antara lain, Amr al-Makky dan kalangan Salaf, diantaranya juga para Sufi mutakhir, selain Ahmad ar-Rifai’y dan Abdul Karim al-Jily, keduanya tidak berkomentar.


Mereka yang mendukung pandangan Al-Hallaj, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: At-Tusytary dan Al-Amily (Imamiyah); Ad-Dilnajawy (Malikiyah); Ibnu Maqil dan an-Nabulisy (Hambaliyah),; Al-Maqdisy, Al-Yafi’y, Asy-Sya’rany dan Al-Bahtimy (Syafi’iyah). Dari kalangan Mutakallimin, Ibnu Khafif, Al-Ghazaly dan Ar-Razy (kalangan Asy’ary) serta kalangan Mutakallim Salaf.

Dari kalangan Filosuf pendukungnya adalah Ibnu Thufail. Sedangkan dari kalangan Sufi antara lain asSuhrawardy al-Maqtul, Ibnu Atha’ as=Sulamy dan Al-Kalabadzy.


Kelompok yang tidak berkomentar, dari kalangan Fuqaha’ antara lain: Ibnu Bahlul (Hambaliyah), Ibnu Suraij, Ibnu Hajar dan As-Suyuthy (Syafi’iyah).

Dari kalangan Sufi antara lain, Al-Hushry, Al-Hujwiry, Abu Sa’id al-Harawy, Al-Jilany, Al-Baqly, Al-Aththar, Ibnu Araby, Jalaluddin ar-Ruumy, Ahmad Ar-Rifa’y, dan Al-Jiily.


Kontroversi Al-Hallaj, sebenarnya terletak dari sejumlah ungkapan-ungkapannya yang sangat rahasia dan dalam, yang tidak bisa ditangkap secara substansial oleh mereka, khususnya para Fuqaha’ (ahli syariat). Sehingga Al-Hallaj dituduh anti syari’at, lalu ia harus disalib. Padahal tujuan utama Al-Hallaj adalah bicara soal hakikat kehambaan dan Ketuhanan secara lebih transparan.

Tudingan bahwa Al-Hallaj penganut Wahdatul Wujud semata juga karena tidak memahami wahana puncak-puncak ruhani Al-Hallaj sebagaimana dialami oleh para Sufi. Banyak sekali wacana Tasawuf yang mirip dengan Al-Hallaj. Dan Al-Hallaj tidak pernah mengaku bahwa dirinya adalah Allah sebagaimana pengakuan Fir’aun dirinya adalah Tuhan. Dalam sejumlah wacananya, Al-Hallaj senantiasa menyatakan dirinya adalah seorang hamba yang hina dan fakir. Apa yang ditampakkan oleh Al-Hallaj adalah situasi dimana wahana ruhaninya menjadi dominan, sehingga kesadarannya hilang, sebagaimana mereka yang sedang jatuh cinta di puncaknya, atau mereka yang sedang terkejut dalam waktu yang lama.

Toh Al-Hallaj tetap berpijak pada pandangan Al-Fana’, Fana’ul Fana’ dan al-Baqa’, sebagaimana dalam wacana-wacana Sufi lainnya.

Al-Hallaj juga tidak pernah mengajak ummat untuk melakukan tindakan Hulul. Sebab apa yang dikatakan semuanya merupakan Penyaksian kepada Allah atau sebagai etiuk murni dari seorang Sufi yang sangat dalam.

Sejarawan Al-Baghdady mengisahkan tragedi kematian dan peradilannya:

“Ketika mereka hendak membunuh Al-Husain bin Mansur Al-Hallaj, para Fuqaha’ dan Ulama dihadirkan, sementara Al-Hallaj diseret di hadapan Sultan. Para dewan kepolisian juga dihadirkan di sisi barat, tepatnya di hari Selasa, bulan Dzul Qa’dah Minggu kedua, TAHUN 309. Ia dicambuk sekitar seribu kali cambukan, lalu kedua kakinya dipotong, menyusul kedua tangannya, lalu lehernya ditebas. Lalu tubuhnya dibakar dengan api.

Kepalanya yang dipenggal itu diangkat, ditunjukkan kepada publik dalam kerangkeng besi, sementara kedua tangan dan kakinya diletakkan di sisi kepalanya. Ketika Al-Hallaj mendekati saat-saat penyaliban, ia membisikkan kata-kata, “Wahai yang menolong kefanaan padaku…tolonglah diriku dalam kefanaan….Tuhanku, Engkau mengasihi orang yang menyakitiMu, maka bagaimana engkau tidak mengasihi orang yang lara dalam DiriMu…Cukuplah yang satu menunggalkan yang satu bagiNya….”. Lalu ia membaca sebuah ayat, “

Sebelum meninggal dengan hukuman tragis itu, Al-Hallaj mengalami hidup dari satu tahanan ke tahanan lainnya, akibat iri dan kedengkian para Fuqaha’ dan para Ulama yang merasa tersaingi oleh pengaruh Al-Hallaj yang mulai meluas. Bisa jadi penguasa sangat terpengaruh pula oleh bahaya massa Al-Hallaj. Kalau toh Al-Hallaj harus dihukum mati dengan disalib, sebagaimana pernah ia ramalkan sendiri, adalah karena ia harus menghadapi ketidakberdayaan kekuasaan. Tetapi sekali lagi, Al-Hallaj adalah penganut amaliyah Syariat yang sangat patuh, yang digambarkan, sebagai sosok yang hafidz Al-Qur’an, tekun sholat sepanjang malam, puasa sepanjang siang, dan melakukan ibadah haji berulang kali. Hukuman mati baginya, sama sekali tidak ada kaitannya dengan legitimasi bahwa dirinya salah dan benar.

Rasanya Tragedi Al-Hallaj menjadi hikmah yang luar biasa dalam perkembangan Tasawuf. Mereka akan mehamami substansi Al-Hallaj, manakala mereka juga menjalankan dan merasakan apa yang dialami oleh Al-Hallaj. Sekadar menvonis Al-Hallaj begini dan begitu, tanpa pernah menghayati substansi terdalam dalam praktek Sufistik, siapa pun akan selalu gagal memahaminya.

Ada ungkapan Sufi yang sangat arif bisa jadi renungan kita bersama untuk sekadar merasakan sedikit dari rasa Al-Hallaj. “Orang yang sedang tenggelam di lautan, tidak akan pernah bisa bicara, bercerita, berkata-kata, tentang tenggelam itu sendiri. Ketika ia sudah mentas dari tenggelam, dan sadar, baru ia bicara tentang kisah rahasia tenggelam tadi. Ketika ia bicara tentang tenggelam itu, posisinya bukan lagi sebagai amaliyah tenggelam, tetapi sekadar ilmu tentang tenggelam.

Bedakan antara amal dan ilmu. Sebab banyak kesalah pahaman orang yang menghayati tenggelam, tidak dari amalnya, tetapi dari ilmunya. Maka muncullah kesalahpahaman dalam memahami tenggelam itu sendiri.”
Diantara Ucapan-ucapan Al-Hallaj :


Allah menghijab mereka dengan Nama, lantas mereka pun menjadi hidup. Seandainya Dia menampakkan Ilmu Qudrat pada mereka, mereka akan hangus. Seandainya hijab hakikat itu disingkapkan niscaya mereka mati semua.

Tuhanku, Engkau tahu kelemahanku jauh dari rasa bersyukur kepadaMu, karena itu bersykurlah pada DiriMu bukan dariku, karena itulah sesungguhnya Sukur, bukan yang lain.

Siapa yang mengandalkan amalnya ia akan tertutupi dari yang menerima amal. Siapa yang mengandalkan Allah yang menerima amal, maka ia akan tertutupi dari amal.

Asma-asma Allah Ta’ala dari segi pemahaman adalah Nama ansich, tapi dari segi kebenaran adalah hakikat.

Bisikan Allah adalah bisikan yang sama sekali tidak mengandung kontra.

Suatu ketika Al-Hallaj ditanya tentang al-Murid, “Ia adalah orang yang dilemparkan menuju kepada Allah, dan tidak akan berhenti naik sampai ketika ia sampai.”

Sama sekali tidak diperbolehkan orang yang mengenal Allah Yang Maha Tunggal atau mengingat Yang Maha Tunggal, lalu ia mengatakan, “Aku mengenal Al-Ahad” padahal ia masih melihat individu-individu lainnya.

Siapa yang dimabukkan oleh cahaya-cahaya Tauhid, ia akan tertupi dari ungkapan-ungkapan Tajrid (menyendiri bersama Allah). Bahkan, siapa yang dimabukkan oleh cahaya-cayaha Tajrid, ia akan bicara dengan hakikat Tauhid, karenakemabukan itulah yang bicara dengan segala hal yang tersembunyi.

Siapa yang menempuh kebenaran dengan cahaya Iman, maka ia seperti pencari matahari dengan cahaya bintang gemintang.

Ketika Allah mewujudkan jasad tanpa sebab, demikian pula Allah mewujudkan sifat jasad itu tanpa sebab, sebagaimana hamba tidak memiliki asal usul pekerjaannya, maka, hamba itu pun tidak memiliki pekerjaannya.

Sesungguhnya Allah Ta’ala, Maha Pemberi Berkah dan Maha Luhur, serta Maha Terpuji, adalah Dzat Yang Esa, Berdiri dengan DiriNya Sendiri, Sendiri dari yang lain dengan Sifat QidamNya, tersendiri dari yang lainNya dengan KetuhananNya, tidak dicampuri oleh apa pun dan tidak didampingi apa pun, tidak diliputi tempat, tidak pula di temukan waktu, tidak mampu difikirkan dan tidak bisa tercetus dalam imajinasi, tidak pula bisa dilihat pandangan, tidak bisa darusi kesenjangan.

Akulah Al-Haq, dan Al-Haq (Allah) Benar, Mengenakan DzatNya, di sana tak ada lagi perbedaan.

Ketika ditanya tentang Tauhid,ia menjawab, “Memisahkan yang baru dengan Yang Maha Dahulu, lalu berpaling dari yang baru dan menghadap kepada Yang Maha Dahulu, dan itulah hamparan Tauhid. Sedangkan substansinya.

Petunjuk
http://www.sufinews.com
Sumber: http://irdy74.multiply.com

Kamis, 22 Maret 2012

AJARAN KEDUAPULUH SATU

Di dalam mimpiku aku melihat setan dan seakan-akan aku berada di tengah-tengah kumpulan orang banyak. Kemudian aku bersiap-siap hendak membunuh setan, namun setan itupun berkata, “Mengapa kamu hendak membunuhku, apakah dosaku ? Jika Tuhan telah menakdirkan kejahatan itu terjadi, maka aku tidak berkuasa untuk merubahnya dan menjadikannya kebaikan. Demikian sebaliknya, jika Tuhan telah menakdirkan sesuatu kebaikan itu terjadi, maka akupun tidak berkuasa untuk merubahnya menjadi kejahatan. Maka apakah yang berada dalam kekuasaanku ?” Kemudian, kudapati setan itu berupa seperti orang kasim (eunuch), suaranya lembut, rambutnya terurai sampai ke dagunya dan mukanya sangat pucat, seakan-akan ia tersenyum kepadaku, penuh rasa malu dan takut. Itu terjadi pada malam Ahad, 12 Dzul Hijjah 401 H.

AJARAN KEDUAPULUH DUA 
Biasanya Allah SWT menguji hamba-hamba-Nya yang beriman sesuai dengan derajat keimanan mereka. Sekiranya keimanan seseorang itu kuat, maka ujian keimanannya itupun kuat pula. Oleh karena itu, ujian kepada Rasul lebih hebat daripada ujian kepada Nabi, ujian kepada Nabi lebih hebat daripada ujian kepada Abdal dan ujian kepada Abdal lebih hebat daripada ujian kepada Wali. Setiap orang diuji menurut tinggi atau rendahnya keimanannya. Nabi pernah bersabda, “Sesungguhnya ujian bagi kami, para Nabi, lebih hebat daripada ujian bagi orang-orang lain.”
Allah akan terus memberikan ujian ini kepada mereka sesuai dengan tingkatan mereka, agar mereka senantiasa berada di samping Tuhan dan tidak pernah lalai. Allah mengasihi mereka dan Allah tidak mau orang yang dikasihi-Nya itu jauh dari-Nya.
Oleh karena itu, ujian diibaratkan sebagai pengikat hati dan penjara mereka serta menjauhkan mereka dari kecenderungan kepada apa saja yang bukan tujuan hidup mereka dan menjauhkan mereka dari perasaan senang dan condong kepada apa saja selain Allah Yang Maha Pencipta. Apabila ini telah menjadi keadaan mereka yang abadi, maka hancurlah diri dan hawa nafsu amarah dan kebinatangan mereka. Dapatlah mereka membedakan antara yang haq (benar) dengan yang bathil (palsu). Segala tanda-tanda keserakahan dan kehendak mereka terhadap kemewahan dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat hilang lenyap dari sisi mereka dan mereka merasa tenteram berada di sisi Tuhan, ridha dengan Allah, sabar terhadap ujian, selamat dari kejahatan mahluk-Nya dan mereka mendapat kepuasan di sisi Allah SWT.
Dengan demikian, kekuasaan hati akan bertambah hebat dan dapat mengontrol anggota-anggota badan. Ujian dan bencana itu menguatkan hati dan meneguhkan iman dan kesabaran serta melemahkan nafsu- nafsu kebinatangan yang berada dalam diri. Karena, apabila kesusahan datang menimpa si mu’min dan ia menunjukkan kesabaran dan keridhaannya serta berserah bulat kepada Allah, Allah ridha dan menolong mereka serta memberi kekuatan kepada mereka. Allah SWT berfirman, “Jika kamu bersyukur, sesungguhnya aku akan menambah lagi karunia itu.”
Apabila diri manusia itu menggerakkan hatinya untuk mecari sasaran pemuasan hawa nafsu dan berfoya-foya, dan hati itupun menurutinya saja tanpa perintah dan ijin Allah, maka akibatnya adalah lupa kepada Allah, menyekutukan-Nya dan berbuat dosa, lalu Allah akan menimpakan bencana, kesusahan dan derita kepada mereka yang lupa itu dan pikiran serta hati mereka akan sakit.
Jika hati mereka tidak mengindahkan panggilan pemuasan tersebut sampai Allah mengijinkannya melalui ilham (bagi Wali) dan wahyu (bagi Nabi dan Rasul), lalu tindakan diambil atas dasar ilham dan wahyu tersebut, baik berupa pemberian karunia maupun bukan, maka Allah akan memberikan ganjaran kepada hati itu berupa rahmat, ampunan, kesentosaan, keridhaan, cahaya dan ilmu, kedekatan kepada Allah, terlepas dari segala kebutuhan dan selamat dari bahaya dan bencana. Oleh karena itu, ketahuilah dan ingatlah selalu serta selamatkan dirimu dari ujian dengan sungguh-sungguh dan waspada, tanpa tergesa-gesa menuruti panggilan pikiran dan kehendaknya, tetapi hendaklah kamu menunggu dengan sabar ijin Allah, agar kamu selamat di dunia dan di akhirat kelak.
Sumber: Sumber : http://www.scribd.com/doc/28543643/futuhul-ghaib

Kamis, 15 Maret 2012

Tasawuf Embun untuk Jiwa yang Dahaga
Menurut Dr. Lwiss Saliba, pakar tasawuf dan perbandingan agama di Universitas Sorbonne, Prancis, dewasa ini masyarakat Barat sedang gelapan mencari dimensi spiritualis sebagai penyeimbang epistemologi dan cara pandang mereka yang materialistik.
Zaman terus berputar. Kini, di usianya yang semakin senja, zaman seperti hendak mengulang sejarah masa silam. Akhlak yang sudah ditata rapi oleh para ulama sedikit demi sedikit mulai memudar. Manusia hanya disibukkan dengan pelbagai macam dimensi duniawi. Sehingga, semakin larut ke dalam masalah duniawi, jiwa terasa bertambah kering. Maka, membutuhkan oase yang menyejukkan.Apakah zaman benar-benar akan mengulang sejarah?
Syahdan, pada abad ke-2 Hijriyyah manusia terbuwai dengan aneka macam urusan duniawi. Umat Muhamad semakin banyak yang jauh dari ajaran penutup para rasul itu. Orang-orang yang masih bersih hatinya dari godaan dunia pergi menyepikan diri, mejauhi dunia dan kehidupan hedonis. Perilaku kelompok terakhir dewasa ini kita kenal dengan tasawuf.
Kini, di usianya yang senja, dunia semakin dekat menuju ke titik nadi kehancuran atau kembali ke masa silam. Nabi sudah mengingatkan ratusan tahun silam, ”Suatu saat akan datang kerusakan di mana manusia tidak lagi bersifat humanis.” Ronggowarsito, seorang pujangga jawa, sudah membuktikan sabda nabi dalam kata kesaksiannya, ”Ngamenagni zaman edhan.” Atau dalam istilah mentereng¬ Alvin Toffler-nya ”The shock age.”
Saat ini—pada zaman yang sudah benar-benar edhan–keberadaan tasawuf semakin dibutuhkan sebagaimana saat kehadirannya pada abad ke-2 Hijriyah. Ia jadi embun yang bisa menghilangkan dahaga. Jiwa yang kering bisa merasakan kesejukan dengan membaca dzikir-dzikir bersama para mursyid. Dari pelosok desa sampai gemerlap ibu kota pesona tasawuf memancar indah. Dari gubung reot sampai hotel mewah, kajian-kajian tasawuf selalu ramai peminat.
Fenomena itu terjadi tidak lain karena jiwa manusia dewasa ini tidak memiliki dimensi penyeimbang sehingga seperti kafilah yang berjalan di gurun sahara tanpa bekal air dan makanan: terasa kering dan gersang. Maka dari itu, membutuhkan mata air untuk sekedar minum dan mengisi perbekalan secukupnya agar mereka bisa melanjutkan perjalanan dan sampai pada tujuan. Air itu adalah spiritualis-sufistik.
Bukan hanya masyarakat di nusantara yang merasakan kekeringan jiwa. Fenomena ini sudah jadi ”wabah” dunia, khususnya nun jauh di Barat sana. Di era global ini kebutuhan materi tidak bisa memberikan jaminan ketenangan bagi masyarakat Barat. Justru sebaliknya: kehidupan materialistik malah membuat mereka bagaikan–meminjam istilah Dr. Lwiss Saliba, pakar tasawuf dan perbandingan agama di Universitas Sorbonne–orang dewasa berkaki bayi. Akibatnya, mereka berjalan pincang.
Oleh sebab itu, lanjut pakar tasawuf dan perbandingan agama di Universitas Sorbonne, Prancis itu, orang Barat sedang gelagapan (Jawa: ngoyo) mencari dimensi lain yang dapat mengimbangi epistemologi dan cara pandang mereka yang materialistik. Sehingga, mereka berharap, perkembangan materi dan rohani bisa berjalan secara seimbang. Inilah bukti petapa dibutuhkannya kehadiran tasawuf dewasa ini sekaligus bukti tasawuf Islam juga mempengaruhi epistema pemikiran Barat.
***
Kehadiran tasawuf tidak pernah kering dari kritik dan menjadi lahan studi kritis. Bukan hanya kalangan muslim yang melakukakannya, non-muslim pun tidak sedikit yang ikut andil. Bahkan banyak cendikiawan dan ilmuwan Barat yang terpengaruh pemikiran sufistik Islam. Misalnya—untuk menyebutkan beberapa contoh—Annimare Schimmel, Pierre Lorry, Louis Massignon, dan CF. Hatman.
Diantara orientalis yang megkaji tasawuf secara intens adalah nama yang saya sebutkan di atas, Lwiss Saliba. Dalam disertasi doktoralnya, L’Hindouisme et Son Influence sur La Pens?e Musulmane Selon Al Biruni, Saliba menguraikan pemetaan korelasi mistis antara tasawuf Hindu-India dengan Islam.
Dari kalangan santri yang mengkaji tasawuf secara intens, antara lain, adalah Prof DR. K.H. Said Aqiel Siradj, MA dan Dr. K.H. A. Najib Afandi, MA.
Selain itu, tasawuf pun tidak sepi dari tudingan miring dan pandangan sinis. Oleh golongan terakhir ini, term tasawuf hanya diidentikkan dengan hal-hal yang ”ketinggalam zaman,” anti kemajuan, darwisy (pakaian para sufi), menyepi, dan lain-lain.
Benarkah demikian? Sesempit itukah tasawuf? Apakah haram bagi esoterisme (baca: kaum sufi) mempunyai mobil mewah, menjadi apatur negara dengan batik dan sepatu mengkilap?
Sayyid Ali Abu Hasan Al Syadzili, pendiri tarekat Sadiliyyah, dengan moderat menerjemahkan zuhud (asketis) dengan bahasa elegan, yaitu bentuk rasa syukur terhadap Sang Pencipta. Sederhanya, ketika kita berpakaian batik dan sepatu mengkilap sambil mengemudikan mobil mewah, misalnya, (asalkan di hati kita tidak terbersit rasa sombong) tidak akan keluar dari tasawuf. Dengan cacatan: niat mensyukuri nikmat Tuhan yang telah limpahkan pada kita.
Bukankah nabi, dan para sahabatnya juga para sufi?
Ahl shuffah adalah santri-santri pilihan nabi yang memilih tinggal di masjid bersama nabi dari pada bergumul dengan masalah duniawi secara berlebihan. Nabi seorang pemimpin agama, sekaligus pemimpin pemerintahan. Lalu, kenapa tidak, jika sufi juga merangkap sebagai (misalnya) kepala daerah atau bahkan RI satu.
Contoh lain bahwa tasawuf tidak haram terjun ke ”dunia” ialah tarekat Sanusiyyah di Libya. Tarekat yang dibidani oleh Ali El Sanusi, pria kelahiran Aljazair, ini bukan hanya gerakan Islam esoterik, tetapi juga kekuatan politik yang solid. Bahkan Ali El Sanusi, sang pendiri, termasuk salah seorang yang punya andil saat renainsanse Eropa. Tokoh Sanusiyyah yang lain, Omar El Mukhtar, adalah pejuang yang gigih melawan penjajah Italia sampai akhirnya Libya meraih kemerdekaan, cucu pendiri tarekat ini mendapat kepercayaan rakyat Libya untuk jadi raja Libya pertama. Mulai saat itu, Libya jadi ”Negara Sufi.”
Syeikh Ahmad Musthafa Al Khulli, muryid tarekat Al Syadziliyyah Al Hamidiyyah Mesir, meluruskan pemahan keliru itu. Menurutnya, justru orang sufi harus beretos kerja tinggi. Nabi pernah mencium tangan (kasar) salah seorang sahabatnya karena ia pekerja keras. Jadi, seorang sufi harus tetap berkeja keras; orang perkasa yang tidak akan menelantarkan keluarga. Harta hanya di tangan buka di hati; hati hanya untuk mengingat Tuhan sebagaimana statemen Sayid Abu Bakar dalam Kifayah Al Atqiya’,
?????? ????????? ????????? ?????????? ? ???????? ???? ?????? ????????
”Menghilangkan ketergantungan hati terhadap harta benda (dunia), bukan berarti tidak punya harta.”
Ibnu Thufail jadi representasi seorang sufi yang filosop, pakar ilmu kedokteran, dan seorang menteri, Al Ghazali adalah cerita lain. Ia perwakilan dari seorang sufi yang mahir ilmu fikih, kalam, dan filsafat. Magnum opusnya, Ihya Ulumuddin, jadi rudal yang meroketkan namanya di dunia ini. Dari sini bisa diambil benang merah esensi tawasuf atau kehidupan zuhud adalah tidak menggantungkan kehidupan kita pada dunia; harta hanya di tangan sedangkan hati tetap untuk (mengingat) Tuhan.
Sufi juga tidak harus selamanya menyepi. Sebaliknya, seorang sufi tidak selayaknya hanya mengenal dzikir-dzikir, tetapi juga pakar dalam bidang yang lain, seperti nama-nama di atas.
Sumber: http://www.muntahaafandi.web.id

Kamis, 08 Maret 2012

NANA ASMA’U FODIYO: Sufi Wanita
Mbah Kanyut
Beliau adalah Sufi wanita, anggota Tarekat Qadiriyyah, yang juga terkenal sebagai penyair, ulama, guru dan aktivis perempuan. Beliau menjadi legenda di kalangan wanita Muslim di Afrika Barat karena perjuangannya dalam memajukan pendidikan wanita, karena kegiatannya dalam persoalan-persoalan sosial dan juga kecerdasan dan kesalehannya.
Asma’u binti Utsman Dan Fodiyo lahir pada 1793, putri dari Shehu Utsman Dan Fodiyo, pemimpin gerakan Sokoto Jihad di Afrika Barat. Sebagai anggota dari klan Fulani Fodiyo, Asma’u menganut Islam Sunni dan menjadi anggota Tarekat Qadiriyyah. Ajaran tarekat inilah yang menjadi pedoman hidupnya di sepanjang hayatnya. Saat masih anak-anak, beliau tinggal bersama dua istri lain ayahnya, Aisha dan Hauwa. Mereka mengajarinya praktik suluk tarekat dan zuhud. Sejak kecil beliau telah menyadari bahwa tugas mengurusi rumah adalah bagian dari pelatihan spiritualnya. Selain mempelajari berbagai macam ilmu agama dan umum, beliau juga belajar menghafal al-Qur’an hingga menjadi hafizah. Beliau mempelajari empat bahasa (Arab, Fulfude, Hausa dan Tamchek). Belakangan beliau menjadi penyair dan cendekiawan yang terkenal hingga ke luar wilayah maghribi.
Asma’u berperan penting dalam proses transformasi tatanan sosial Hausa-Fulani setelah terjadi pergolakan yang disebabkan oleh jihad yang dilancarkan oleh ayahnya. Beliau mengorganisir guru perempuan yang dikenal sebagai jajis untuk mengajar wanita pedesaan. Sajak-sajaknya dipakai sebagai alat untuk mengajarkan prinsip Islam kepada para pengungsi dan wanita pedesaan. Salah satu puisi panjangnya memuat beragam tema seperti pentingnya al-Qur’an, Tauhid, Wali Allah wanita, tanda-tanda kiamat, jihad, cinta kepada Rasulullah SAW, dan puji-pujian kepada para Awliya. Sebagai penganut Tarekat Qadiriyyah beliau menganjurkan kepada umat agar mencari kebenaran tertinggi (hakikat), mementingkan kehidupan akhirat dan bersikap zuhud terhadap dunia. Beliau meninggal pada 1864, dan makamnya yang berada Sokoto, Nigeria, masih menjadi tempat ziarah banyak umat Muslim.
Sumber: http://warkopmbahlalar.com