Perjalanan bersama Ilmu Amaliah dan Amal Ilmiah Menyambut Pecinta Kesucian jiwa mengarungi Lautan Tanpa Tepi Mencari Barokah dan Menabur Barokah untuk Sesama.

Senin, 03 Desember 2012

Syekh Abu Nashr as-Sarraj —rahimahullah— berkata: Dikisahkan dari asy-Syibli, bahwa suatu hari ia pernah berusaha untuk wajd (tawajud) di majelisnya, lalu ia berkata, “Ah, tak ada yang tahu apa yang ada dalam hatiku selain Dia.”
Kemudian ditanya, “Ah dari apa?” Ia menjawab, “Ah dari segala sesuatu.”
Juga disebutkan darinya, bahwa pada suatu hari ia pernah ber-tawajud, kemudian memukulkan tangannya ke tembok hingga luka memar. Kemudian para sahabatnya memanggil seorang dokter. Ketika dokter itu datang, ia berkata, “Dengan bukti (syahid)
apa Anda datang kemari?” Dokter itu menjawab, “Saya datang kemari untuk mengobati tangan Anda.” Lalu asy-Syibli menempeleng dokter itu dan mengusirnya.
 
Kemudian para sahabatnya mengundang dokter lain yang lebih lembut daripada dokter pertama. Ketika dokter yang kedua ini datang, asy-Syibli berkata, “Celaka kau! Dengan bukti apa engkau datang kemari?” “Dengan bukti-Nya,” jawab dokter itu. Kemudian ia memberikan tangannya kepada dokter, lalu ia mengobatinya. Sementara itu asy-Syibli tenang dan tidak melakukan reaksi apa-apa. Tatkala dokter itu mengeluarkan obat dan ia meletakkannya di atas tangannya yang terluka maka ia menjerit dan bertawajud dengan tetap meletakkan jarinya di atas bagian yang terluka sembari berkata:
“Kerinduan-Mu telah menimbulkan luka di hatiku Semalaman aku dalam kesedihan-Mu laksana tawanan yang terbelenggu”
Disebutkan dari Abu al-Husain an-Nun —rahimahullah— bahwa ia berkumpul dengan sekelompok guru Sufi dalam suatu undangan. Saat itu terjadi perbincangan di antara mereka tentang masalah ilmu. Sementara an-Nun diam membisu. Kemudian ia mengangkat kepalanya dan menyenandungkan bait-bait syair berikut:
“Mungkin suara pohon kecil di pagi hari memiliki suara indah di rantingnya.
Mungkin tangisanku akan melembutkannya dan tangisannya akan melembutkanku.
Jika ia mengadu ku tak tahu apa maknanya.
Jika ku mengadu dia tak paham artinya.
Namun dengan cintaku kumengerti dia.
Dan dia dengan cintanya dia mengerti aku.”
Setelah an-Nun membacakan syair ini tak ada seorang pun dari mereka yang tidak berdiri dan berusaha wajd.
Sebagian kaum Sufi mengatakan, “Itulah dia yang sejak bertahun-tahun aku ingin mendengar suatu kalimat tentang cinta dari seseorang yang mengungkapkan tentang wajd-nya.”
Dikatakan, bahwa Abu Said al-Kharraz —rahimahullah— banyak ber-tawajud tatkala mengingat tentang kematian. Kemudian al-Junaid ditanya tentang hal itu. Maka ia menjawab, “Sesungguhnya seorang ‘arif telah yakin, bahwa Allah Swt. tidak akan berbuat sesuatu yang tidak menyenangkan karena Dia benci atau sebagai hukuman. Ia juga menyaksikan pada ciptaan Allah, bahwa di dalam hal-hal yang tidak disuka manusia terdapat kejernihan cinta antara dia dengan Allah Azza wa-Jalla. Bencana-bencana ini sengaja Allah turunkan untuk mengembalikan ruhnya kepadaNya, sebagai pilihan dan berbuat baik kepadanya. Ketika seorang ‘arif telah disingkapkan semua rahasia ini, maka tidak aneh bila ruhnya melayang kepada-Nya karena sangat merindukan-Nya, dan ia akan berangkat meninggalkan negerinya karena tak kuat menahan kerinduannya. Oleh karenanya, saya tidak pernah melihat tawajud tatkala disebutkan tentang kematian. Mungkin saja hal itu datang saat dekat dengan ajalnya. Dan Allah berbuat terhadap wali-Nya sesuai dengan apa yang Dia kehendaki dan Dia sukai.”
“Sebagian guru Sufi ditanya tentang perbedaan wujud dengan tawajud. Maka ia menjawab, “Wujud adalah segala apa yang tampak dan yang gaib dari kiriman-kiriman hakikat. Sedangkan tawajud masuk dalam usaha yang kembali pada sifat-sifat hamba sebagaimana Ia adalah seorang hamba.”
Sedangkan orang yang tidak suka wajd adalah karena Ia melihat adanya cacat pada orang yang ber-tawajud. Sebagaimana yang dikisahkan dari Abu Utsman al-Hiri al-Wa’izh, bahwa ia pernah melihat seseorang yang ber-tawajud, kemudian ia berkata kepadanya, “Jika Anda benar dan jujur, maka Anda telah membuka rahasia-Nya, dan jika Anda berbohong maka Anda telah syirik.” — Sementara hanya Allah Yang Mahatahu apa yang dimaksud. Dengan maksud itu tampaknya ia sangat kasihan terhadap orang tersebut dan khawatir timbul fitnah dan aib. Dan hanya Allah Yang Mahatahu.
Sumber: http://sufinews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar