Perjalanan bersama Ilmu Amaliah dan Amal Ilmiah Menyambut Pecinta Kesucian jiwa mengarungi Lautan Tanpa Tepi Mencari Barokah dan Menabur Barokah untuk Sesama.

Kamis, 31 Desember 2015

Dr. Hj. Sri Mulyati, MA

Para ahli berpendapat bahwa islamisasi Indonesia sampai sekarang masih berlanjut.
Ini harus diartikan bahwa Islam yang datang ke Indonesia harus melewati jalan, rentang waktu, serta corak pemikiran yang panjang, dimulai dari Islam datang di pelabuhan-pelabuhan, diperkenalkan, disebarkan, dikembangkan, dimantapkan dan diperbarui.

Islam yang datang ke Indonesia melalui transportasi laut harus menyusuri pantai Laut Merah, negeri Yaman, Hadramaut, Gujarat, Pulau Seylon, mungkin Teluk Benggala, selanjutnya sampai Patani-Thailand Selatan, baru sampai ke Perlak. Dari Perlak menyusuri Banten, Gresik terus ke timur melalui Mataram (Lombok) ke Maluku, tempat-tempat itu masing-masing mempunyai peranan dalam perkembangan Islam. Dalam perkembangannya kemudian, jaringan hubungan seperti itu terus berlanjut timbal balik dari abad ke abad, generasi ke generasi, mula-mula berupa jaringan perdagangan, berlanjut kepada jaringan ulama sebagaimana disebutkan oleh Azyumardi Azra, selanjutnya kepada jaringan tasawuf tarekat sehingga perubahan apa pun yang terjadi di pusat Islam Timur Tengah akan sangat mempengaruhi keadaan Islam di Indonesia.
Ajaran Islam dibawa oleh Nabi Muhammad yang pada masa awal dilaksanakan secara murni. Ketika Rasulullah wafat, cara beramal dan beribadah para sahabat dan tabi’in masih tetap memelihara dan membina ajaran Rasul, disebut amalan salaf al-shalih.


Pada abad pertama Hijriyah mulai ada perbincangan tentang teologi, dilanjutkan mulai ada formalisasi syariah. Abad kedua Hijriyah mulai muncul tasawuf. Tasawuf terus berkembang dan meluas dari mulai terkena pengaruh luar. Salah satu pengaruh luar adalah filsafat, baik filsafat Yunani, India maupun Persia. Muncullah sesudah abad ke-2 Hijriyah golongan sufi yang mengamalkan amalan-amalan dengan tujuan kesucian jiwa untuk taqarrub kepada Allah. Para sufi kemudian membedakan pengertian-pengertian syariah, thariqat, haqiqat, dan makrifat. Menurut mereka syariah itu untuk memperbaiki amalan-amalan lahir, thariqat untuk memperbaiki amalan-amalan batin (hati), haqiqat untuk mengamalkan segala rahasia yang gaib, sedangkan makrifat adalah tujuan akhir yaitu mengenal hakikat Allah baik zat, sifat maupun perbuatanNya. Orang yang telah sampai ke tingkat makrifat dinamakan wali. Kemampuan luar biasa yang dimilikinya disebut karamat atau supranatural, sehingga dapat terjadi pada dirinya hal-hal luar biasa yang tidak terjangkau oleh akal, baik di masa hidup maupun sesudah meninggal. Syaikh Abdul Qadir Jaelani (471-561/1078-1168) menurut pandangan sufi adalah wali tertinggi disebut quthub al-auliya (wali quthub).
Pada abad ke-5 Hijriyah atau 13 Masehi barulah muncul tarekat sebagai kelanjutan kegiatan kaum sufi sebelumnya. Hal ini ditandai dengan setiap silsilah tarekat selalu dihubungkan dengan nama pendiri atau tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad itu. Setiap tarekat mempunyai syaikh, kaifiyah zikir dan upacara-upacara ritual masing-masing. Biasanya syaikh atau mursyid mengajar murid-muridnya di asrama latihan rohani yang dinamakan rumah suluk atau ribath.
Mula-mula muncul Tarekat Qadiriyah yang dikembangkan oleh Syaikh Abdul Qadir di Asia Tengah Tibristan tempat kelahiran dan operasionalnya, kemudian berkembang ke Baghdad, Irak, Turki, Arab Saudi sampai ke Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand, India, Tiongkok. Muncul pula Tarekat Rifa’iyah di Maroko dan Aljazair. Disusul Tarekat Suhrawardiyah di Afrika Utara, Afrika Tengah, Sudan dan Nigeria. Tarekat-tarekat itu kemudian berkembang dengan cepat melalui murid-murid yang diangkat menjadi khalifah, mengajarkan dan menyebarkan ke negeri-negeri Islam, bercabang dan beranting sehingga banyak sekali.
Organisasi tarekat pernah mempunyai pengaruh yang sangat besar di dunia Islam. Sesudah khalIfah Abbasiyah runtuh oleh bangsa Mongol tahun 1258 M, tugas memelihara kesatuan Islam dan menyiarkan Islam ke tempat-tempat yang jauh beralih ke tangan kaum sufi, termasuk ke Indonesia. Ketika berdiri Daulah Usmaniyah, peranan tarekat (Bahtesyi) sangat besar baik dalam bidang politik maupun militer. Demikian juga di Afrika Utara, peranan Tarekat Sanusiyah sangat besar terutama di negeri Aljazair dan Tunisia, sedangkan di Sudan berpengaruh Tarekat Syadziliyah. Khusus di Indonesia, pengembangan Islam pada abad ke- 16 dan selanjutnya, sebagian besar adalah atas usaha kaum sufi sehingga tidak heran apabila pada waktu itu pemimpin-pemimpin spiritual Islam di Indonesia bukanlah ahli syariah melainkan syaikh tarekat.
Tentang kapan pribumi nusantara memeluk Islam, para ahli berbeda pendapat. Mungkin orang muslim asing memang sudah ada yang menetap di pelabuhan dagang di Sumatra dan Jawa beberapa abad sebelum abad ke-16, namun baru menjelang abad ke-10 ada bukti-bukti orang pribumi memeluk Islam di suatu kerajaan kecil Perlak, dilanjutkan pada abad ke-13 oleh kerajaan Samudera Pasai. Selama abad ke-14 dan 15 Islam secara berangsur-angsur menyebar ke pantai utara Jawa dan ke Maluku.
Ketika orang pribumi Nusantara mulai menganut Islam corak pemikiran Islam diwarnai oleh tasawuf, pemikiran para sufi besar seperti Ibn al-‘Arabi dan Abu Hamid al-Ghazali sangat berpengaruh terhadap pengamalan-pengamalan muslimin generasi pertama. Justru karena tasawuf ini penduduk nusantara mudah memeluk agama Islam, apalagi ulama generasi pertama juga menjadi pengikut sebuah tarekat atau lebih.
Secara relatif corak pemikiran Islam yang pernah dipengaruhi oleh tasawuf selanjutnya berkembang menjadi tarekat. Justru ketika abad ke-13 Masehi ketika masyarakat nusantara mulai memantapkan diri memeluk Islam, corak pemikiran Islam sedang dalam puncak kejayaan tarekat.
Tasawuf secara harfiah berasal dari kata shuuf yang berarti bulu. Waktu itu para sufi memakai pakaian dari bulu domba sebagai lambang merendahkan diri. Secara istilah Ibn Khaldun mengartikan tasawuf adalah salah satu ilmu syariah yang timbul kemudian dalam Islam. Asalnya tekun beribadah dan memutuskan perhatian dengan segala selain Allah, hanya mengharap kepada Allah semata, menolak hiasan dunia, serta membenci perkara yang selalu memperdaya orang kepada kelezatan harta benda dan kemegahan dunia, menyendiri menuju jalan Tuhan dalam khalwat dan ibadah. Sedangkan kata “tarekat” secara harfiah berarti “jalan”, mengacu kepada suatu sistem latihan meditasi maupun amalan-amalan (muraqabah, zikir, wirid dan sebagainya) yang dihubungkan dengan sederet guru sufi. Tarekat juga berarti organisasi yang tumbuh seputar metode sufi yang khas. Pada masa permulaan, setiap guru sufi dikelilingi oleh lingkaran murid mereka dan beberapa dari murid ini kelak akan menjadi guru pula. Boleh dikatakan bahwa tarekat itu mensistematiskan ajaran dari metode-metode tasawuf. Guru tarekat yang sama mengajarkan metode yang sama, zikir yang sama, muraqabah yang sama. Seorang pengikut tarekat akan memperoleh kemajuan melalui sederet amalan-amalan berdasarkan tingkat yang dilalui oleh semua pengikut tarekat yang sama. Dari pengikut biasa (mansub) menjadi murid selanjutnya pembantu Syaikh (khalifah-nya) dan akhirnya menjadi guru yang mandiri (mursyid).
Seorang pengikut tarekat ketika melakukan amalan-amalan tarekat berusaha mengangkat dirinya melampaui batas-batas ke-dirian-nya sebagai manusia dan mendekatkan diri ke sisi Allah. Dalam pengertian ini sering kali perkataan tarekat dianggap sinonim dengan istilah tasawuf, yaitu dimensi esoteris dan aspek yang mendalam dari agama Islam. Sebagai istilah khusus, perkataan tarekat lebih sering dikaitkan dengan suatu “organisasi tarekat”, yaitu suatu kelompok organisasi yang melakukan amalan-amalan zikir tertentu, dan menyampaikan suatu sumpah yang formulanya telah ditentukan oleh pimpinan organisasi tarekat tersebut. Dalam tradisi pesantren dijawa, istilah tasawuf dipakai semata-mata dalam kaitan aspek intelektual dari “jalan=thariqat” itu, sedangkan aspeknya yang bersifat etis dan praktis (yang dalam lingkungan pesantren dianggap lebih penting daripada aspek intelektualnya) diistilahkan dengan tarekat.
Sebuah tarekat biasanya terdiri dari pensucian batin, kekeluargaan tarekat, upacara keagamaan, dan kesadaran sosial.” Yang dimaksud pensucian jiwa adalah melatih rohani dengan hidup zuhud, menghilangkan sifat-sifat jelek yang menyebabkan dosa, dan mengisi dengan sifat-sifat terpuji, taat menjalankan perintah agama, menjauhi larangan, taubat atas segala dosa dan muhasabah introspeksi, mawas diri terhadap semua amal-amalnya. Kekeluargaan tarekat biasanya terdiri dari syaikh tarekat, syaikh mursyid (khalifahnya), mursyid sebagai guru tarekat, murid dan pengikut tarekat, serta ribath (zawiyah) tempat latihan, kitab-kitab, sistem dan metode zikir. Upacara keagamaan bisa berupa baiat, ijazah atau khirqah, silsilah, latihan-latihan, amalan-amalan tarekat, talqin, wasiat yang diberikan dan dialihkan seorang syaikh tarekat kepada murid-muridnya.
Dari unsur-unsur tersebut di atas, salah satunya yang sangat penting bagi sebuah tarekat adalah silsilah. Silsilah itu bagaikan kartu nama dan legitimasi sebuah tarekat, yang akan menjadi tolok ukur sebuah tarekat itu mu’tabarah (dianggap sah) atau tidak. Silsilah tarekat adalah “nisbah”, hubungan guru terdahulu sambung-menyambung antara satu sama lain sampai kepada Nabi. Hal ini harus ada sebab bimbingan keruhanian yang diambil dari guru-guru itu harus benar-benar berasal dari Nabi. Kalau tidak demikian halnya berarti tarekat itu terputus dan palsu, bukan warisan dari Nabi.
Silsilah tarekat berisi rangkaian nama-nama guru yang sangat panjang, yang satu bertali dengan yang lain. Biasanya tertulis rapi dalam bahasa Arab, di atas sepotong kertas yang diserahkan kepada murid tarekat sesudah ia melakukan latihan dan amalan-amalan dan sesudah menerima petunjuk (irsyad) dan peringatan (talqin) serta sesudah membuat janji (bai’ah) untuk tidak melakukan ma’siyat sekaligus menerima ijazah sebagai tanda boleh meneruskan pelajaran tarekat kepada orang lain. Oleh karena itu, anggota sebuah tarekat akan sangat menganggap penting sebuah silsilah karena silsilah tarekat berperan sebagai sarana untuk menerangkan bahwa tarekat itu sah (mu’tabarah) atau tidak, bahwa dasar-dasar ajaran tarekat dan pengamalan-pengamalan tarekat yang mereka ajarkan itu berasal dari Nabi atau bukan. Setiap guru akan sangat hati-hati menjaga silsilah yang menunjukkan siapakah gurunya dan siapa guru-guru sebelum dia, terus-menerus sambung-menyambung sampai kepada Nabi.
Pada silsilah seorang guru abad ke-20 biasanya tercantum antara tiga puluh sampai empat puluh orang. ldealnya setiap guru yang tercantum dalam silsilah seharusnya merupakan murid langsung dari guru sebelumnya. Kenyataan tidak selalu demikian. Kadang-kadang dua orang yang berurutan dalam silsilah dapat saja tidak pernah berjumpa karena yang pertama wafat sebelum yang kedua lahir atau karena mereka tinggal di negara yang berjauhan. Sebagian kaum sufi menolak silsilah semacam ini dan menganggapnya palsu. Sebab hubungan yang bertemu langsung atau tidak antara guru dengan guru sebelumnya merupakan ukuran sebuah tarekat dianggap mu’tabarah atau tidak. Walaupun demikian, sebagian sufi tidak menolak kemungkinan bahwa seorang wali menerima pelajaran dari guru yang mendahuluinya bukan lewat komunikasi langsung tetapi lewat komunikasi spiritual, melalui pertemuan secara ruhaniyah. Hubungan semacam ini disebut barzakhi atau uwaisi.
Sebuah silsilah tarekat juga akan berhubungan dengan peran “wasilah”, yaitu mediasi (perantara), melalui seorang pembimbing spiritual (mursyid) sebagai sesuatu yang sangat diperlukan demi kemajuan spiritual. Untuk sampai kepada perjumpaan dengan Yang Mutlak, seseorang tidak hanya memerlukan bimbingan, tetapi campur tangan aktif dari pihak pembimbing spiritualnya dan para pendahulu sang pembimbing, termasuk yang paling penting adalah Nabi Muhammad sendiri, dan melalui wasilah dengan Nabi, sampai kepada Tuhan. Oleh karena itu, bagian yang penting dalam pencarian spiritual adalah menemukan seorang mursyid yang dapat diandalkan yang dapat menjadi wasilah dan mengantarkan kepada Tuhan. Para ahli tarekat memang yakin bahwa cara-cara pengamalan tarekat dapat dianggap sah bila dilakukan di bawah bimbingan seorang guru. Kondisi seperti ini menjadikan para guru tarekat ini bertindak sebagai perantara bagi para murid yang ingin berhubungan dengan Tuhan dan memiliki otoritas mutlak atas murid-muridnya, baik persoalan kehidupan spiritual maupun material. Sang guru tarekat berusaha dengan segala cara untuk membimbing muridnya sampai kepada Tuhan.
Masalah lain yang erat hubungannya dengan silsilah adalah proses tawajjuh (tatap muka). Tawajjuh semula mempunyai arti mengajar langsung, seorang guru berhadap-hadapan mengajar langsung kepada murid-muridnya. Dalam perkembangannya kemudian mempunyai arti khusus: tawajjuh merupakan perjumpaan di mana seseorang membuka harinya kepada syaikhnya dan membayangkan hatinya disirami berkah sang syaikh, sang syaikh membawa hati tersebut ke hadapan Nabi Muhammad Saw. Hal ini dapat berlangsung sewaktu pertemuan pribadi antara murid mursyid dan baiat merupakan pertemuan pertama.
Pemahaman silsilah juga membawa pada pemakaian teknik rabithah mursyid, “mengadakan hubungan batin dengan sang pembimbing” sebagai pendahuluan zikir, yaitu proses penghadiran (visualisasi) sang mursyid oleh murid dengan membayangkan hubungan yang sedang dijalani dengan sang mursyid. Hubungan itu sering kali dalam bentuk cahaya yang memancar dari sang mursyid. Sang penganut tarekat membayangkan gambar pembimbingnya dan semua wali dalam silsilahnya, lalu ia bayangkan seberkas cahaya memancar dari Allah dan turun ke kening Rasulullah. Dari sana cahaya itu memantul melalui wali-wali satu per satu berurutan, kemudian dari kening sang pembimbing langsung masuk ke hati sang murid yang ketika itu sedang menyebut “Allah, Allah”, maka mulailah zikir nama Tuhan.
Islamisasi Indonesia tidak terdokumentasi dengan baik sehingga banyak spekulasi di kalangan ilmuwan yang menimbulkan perdebatan yang belum selesai. Karena luasnya wilayah Indonesia tidak mungkin islamisasi menurut pola yang seragam. Ada yang melalui perdagangan, atau aliansi politik antar pedagang dengan putri bangsawan, atau mungkin juga melalui penaklukan. Namun, secara umum proses tersebut berlangsung secara damai melalui peranan tasawuf dan tarekat.
Abad-abad pertama islamisasi Indonesia berbarengan dengan masa merebaknya tasawuf abad pertengahan dan pertumbuhan tarekat. Dalam abad-abad ini bermunculan tokoh-tokoh sufi yang terkenal seperti Abu Hamid al-Ghazali (w. 1111) dengan konsep tasawuf yang diterima oleh para fuqaha, Ibn al-Arabi (w. 1240) yang mempengaruhi hampir semua sufi yang muncul belakangan, Abdul al-Qadir al-Jilani (w. 1166) yang ajarannya menjadi dasar Tarekat Qadiriyah, Abu al-Najib al-Suhrawardi (w. 1167) yang darinya nama tarekat Suhrawardi diambil, Najmu al-Din al-Kubra (w. tahun 1221) tokoh sufi Asia Tengah pendiri tarekat Kubrawiyah dan sangat berpengaruh terhadap tarekat Naqsyabandiyah, Abu al-Hasan al-Syadzili (w. 1258) sufi Afrika Utara pendiri tarekat Syadziliyah, Rifa’iyah telah mapan sebagai tarekat menjelang 1320, Khalwatiyah menjelma menjadi tarekat ± 1300 dan 1450, Naqsyabandiyah menjadi tarekat khas pemberi namanya Baha al-Din Naqsyabandi (w. 1389), dan Abdullah al-Syaththar pendiri Tarekat Syattariyah (w. 1428-1429).
Sejarawan mengemukakan bahwa karena faktor tasawuf dan tarekatlah islamisasi Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dapat berlangsung dengan damai. Ajaran kosmologis dan metafisis tasawuf Ibn ‘Arabi dapat dengan mudah dipadukan dengan ide-ide sufistik India dan ide-ide sufistik pribumi yang dianut masyarakat setempat. Konsep Insan Kamil sangat potensial sebagai legitimasi religius bagi para raja. Bahkan sampai sekarang Islam Indonesia masih diliputi sikap sufistik dan kegemaran kepada hal-hal yang mengandung keramat. Di antara naskah-naskah Islam paling tua dari Jawa dan Sumatra yang masih ada sampai sekarang (dibawa ke Eropa sekitar tahun 1600) terdapat risalah-risalah tasawuf dan cerita-cerita keajaiban yang berasal dan Persia dan India. Di dalam tulisan-tulisan Jawa masa belakangan, kita temukan adanya ajaran tasawuf yang Iebih kental sedangkan perihal tarekat mendapatkan banyak pengikut sekitar abad ke-18 dan 19 Masehi.
PARA SUFI NUSANTARA YANG MENGAJAR TAREKAT
Pada masa awal, pusat penting yang mempengaruhi perkembangan tarekat di Indonesia adalah India (Gujarat) yang dari tempat ini diduga Hamzah Fansuri, Syamsuddin al-Sumatrani (w. 1630) dan Nuruddin al-Raniri belajar mendapatkan ijazah serta menjadi khalifah. Namun, pada abad-abad berikutnya berbagai cabang India dan beberapa tarekat besar sampai ke Indonesia melalui jalur Makkah dan Madinah. Melalui cara ini pula Tarekat Syattariyah yang berasal dari India berkembang di Makkah dan Madinah dan kemudian berpengaruh Luas di Indonesia.
Sufi pertama Indonesia yang karangannya tentang tarekat sampai kepada kita sekarang adalah Hamzah Fansuri. Dan namanya dapat diketahui bahwa beliau berasal dan Fansur (sebutan orang Arab untuk kota Barus, sekarang kota kecil di pantai barat Sumatera, terletak antara Sibolga dan Singkel). Dalam bidang sufi ia mengungkapkan gagasan-gagasannya melalui syair bercorak wahdat al-wujud, yang mendorong kepada penafsiran panteistik. Dalam syairnya dia juga bercerita tentang kunjungannya ke Makkah, al-Quds, Baghdad (di mana ia mengunjungi makam Abdul Qadir al-JilanI) dan Ayuthia. Di tempat terakhir dia menerima ijazah. Namun dalam syairnya disebutkan dia menerima ijazah di Baghdad dan berafiliasi dengan Tarekat Qadiriyah, bahkan pernah diangkat menjadi khalifah dalam tarekat ini. Dengan demikian Hamzah (wafat sekitar 1590) adalah orang Indonesia pertama yang kita ketahui secara pasti menganut Tarekat Qadiriyah.
Qadiriyah adalah tarekat pertama yang disebut dalam sumber-sumber pribumi. Di Jawa juga terdapat pengaruh Tarekat Qadiriyah, terutama di Direbon dan Banten. Menurut tradisi rakyat setempat, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani pernah datang ke Jawa, bahkan mereka masih dapat menunjukkan kuburannya. Indikasi lain tentang pengaruh Qadiriyah di Banten adalah pembacaan kitab manaqib Abdul Qadir al-Jilani pada kesempatan tertentu di kehidupan beragama di sana.
Tarekat Syadziliyyah tak dapat dilepaskan hubungannya dengan pendirinya, yakni Abu Hasan al-Syadzili. Secara lengkap nama pendirinya adalah Ali bin Abdullah bin Abd. Al-Jabbar Abu Hasan al-Syadzili (w.1258). Silsilah keturunannya mempunyai hubungan dengan mereka yang bergaris keturunan Hasan bin Ali bin Abi Thalib dan Siti Fatimah, anak perempuan Nabi Muhammad Saw. Al-Syadzili sendiri pernah menuliskan silsilah keturunannya sebagai berikut: Ali bin Abdullah bin Abd. Jabbar bin Yusuf bin Ward bin Batthal bin Ahmad bin Isa bin Muhammad bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib. Ciri utama tarekat ini pun masih dapat dirasakan hingga saat ini yaitu dengan variasi hizb-nya dan terutama hizb al-bahr yang dikenal sangat memberi pengaruh yang kuat bagi pengamalnya. Tokoh terkenal Syadziliyah lainnya yaitu Ibn ‘Afhaillah al-Iskandari (al-Sakandari), dan ‘Abd al-Wahhab al-Sya’rani.
Sufi lain yang juga terkenal di Indonesia adalah Syamsuddin (w. 1630), murid Hamzah yang menulis dalam bahasa Arab dan Melayu. Dia perumus ajaran martabat tujuh pertama di nusantara beserta pengaturan nafas pada waktu zikir (yang dianggap oleh Hamzah sebagai pengaruh yogi pranayama dari India). Ajaran martabat tujuh merupakan adaptasi dari teori emanasi Ibn al-‘Arabi yang tidak lama kemudian sangat populer di Indonesia. Ajaran ini berasal dari ulama besar asal Gujarat bernama Muhammad bin Fadhlullah Burhanpuri yang mengarang kitab Al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi. Ajaran martabat tujuh Syamsuddin termasuk ajaran wujudiyah yang oleh Nuruddin al-Raniri dalam kitabnya, Hujjatu al-Shiddiq lidaf’i al-Zindiq, dianggap sebagai ajaran wujudiyah yang menegakkan tauhid (al-muwahhidah), di samping ada ajaran wujudiyah yang dianggap menyimpang.
Burhanpuri berafiliasi kepada Tarekat Syattariyah, diduga Syamsuddin juga demikian karena tidak ada kepastian tentang hal ini dalam tulisan-tulisannya. Tarekat Syattariyah menjadi sangat populer di kalangan orang Islam Indonesia yang kembali dari Tanah Arab, sesudah kematiannya. Tidak diketahui secara jelas tahun kelahirannya, tetapi dalam kitab Bustan al-Salatin karya Nuruddin, tahun wafatnya disebutkan tahun 1039 H dan oleh A. Hasjmi disamakan dengan tahun 1630 M.
Nuruddin al-Raniri adalah sufi terkenal selanjutnya. Nama lengkapnya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid al-Raniry, berasal dari keluarga Arab Ranir (Rander) Gujarat. Tahun kelahirannya tidak diketahui, wafat tahun 1068/1658. Ibunya seorang Melayu, ayahnya imigran dari Hadrami. Tidak ada kejelasan kapan al-Raniry pertama kali menetap di wilayah Melayu, namun al-Raniry pernah menjabat Syaikh al-Islam atau mufti di kerajaan Aceh pada zaman Sultan Iskandar Tsani dan Sultanah Shafiatu al-Din.
Ia hidup di Aceh selama tujuh tahun (1637-1644) sebagai alim, mufti dan penulis produktif yang menentang doktrin wujudiyah. Ia mengeluarkan fatwa untuk memburu orang yang dianggap sesat, membunuh orang yang menolak bertobat dari kesesatan, serta membakar buku-buku yang berisi ajaran sesat. Pada tahun 1054/1644 al-Raniry meninggalkan Aceh kembali ke Ranir karena mendapatkan serangan balik dari lawan-lawan polemiknya yang tajam dan murid Syamsuddin yang dituduh menganut paham panteisme.
Al-Raniry memiliki banyak keahlian sebagai sufi, teolog, fiqh, ahli hadits, sejarawan, ahli perbandingan agama, dan politisi. Ia seorang khalifah Tarekat Rifa’iyah dan menyebarkan ajaran tarekat ini ke wilayah Melayu. Di samping itu, ia juga menganut tarekat Aydarusiyah dan Qadiriyah. Ia banyak menulis masalah kalam dan tasawuf, menganut aliran Asy’ariyah, dan menganut paham wahdat al-wujud yang moderat.
Al-Raniry merupakan tokoh terakhir yang terdokumentasi sebagai pengaruh langsung tarekat yang berkembang di Indonesia dari India. Sepeninggalnya, cabang-cabang tarekat dari India berkembang dulu di Makkah-Madinah baru kemudian dibawa ke Indonesia, di antaranya adalah Tarekat Syattariyah yang dibawa oleh Abdul Rauf Singkel.
Abdul Rauf beIajar ke Makkah-Madinah selama 19 tahun dengan para guru besar aI-Qusyasyi, Ibrahim al-Kurani, serta putranya Muhammad Thahir di Madinah. Sekembalinya dari Makkah tahun 1661, ia menjadi ahli fiqh terkenal di Aceh serta seorang sufi yang mencari keseimbangan antara berbagai pandangan para pendahulunya dengan mengajarkan zikir dan wirid Syattariyah. Muridnya menyebarkan tarekat ini ke Sumatra Barat melalui Burhanuddin Ulakan, serta ke Jawa melalui Muhyidin dan Pamijahan yang sampai sekarang ajarannya masih diamalkan di pedesaan.
Al-Qusyasyi (w. 1660) dan al-Kurani (w. 1691) mewakili sintesa antara tradisi intelektual sufi India dan Mesir. Mereka adalah pewaris keulamaan Zakariya al-Anshari dan ‘Abd al-Wahab aI-Sya’ranI dalam bidang fiqh dan tasawuf, sekaligus mereka berbaiat menjadi pengikut sejumlah tarekat India, yang paling berpengaruh, di antaranya Tarekat Syattariyah dan Naqsyabandiyah. Kedua tarekat ini pada mulanya diperkenalkan di Madinah oleh seorang Syaikh India pada tahun 1605 bernama Sibghatullah.
Di antara tarekat yang diajarkan al-Qusyasyi dan al-Kurani, Tarekat Syattariyah banyak menarik murid-murid Indonesia, padahal di Timur Tengah kedua syaikh ini lebih dikenal sebagai penganut Tarekat Naqsyabandiyah. Keduanya merupakan ulama paling terkenal di kalangan murid yang berasal dari Indonesia. Selama beberapa generasi murid-murid Indonesia belajar kepada pengganti al-Kurani dan berbaiat menjadi pengikut Tarekat Syattriyah, kadang-kadang dipadukan dengan tarekat lain. Tarekat Syattariyah sendiri relatif mudah berpadu dengan berbagai tradisi nusantara sehingga menjadi tarekat yang paling “mem-pribumi”. Pada sisi lain melalui Syattariyah berbagai gagasan metafisis sufi dan berbagai klasifikasi simbolik yang didasarkan atas ajaran martabat tujuh menjadi bagian dari kepercayaan populer orang Jawa.
Salah seorang ulama yang sezaman dengan Abdul Rauf adalah Yusuf al-Makassari (1626-1699) yang menulis tentang Tarekat Naqsyabandiyah di bawah judul Al-Risalah al-Naqsyabandiyah. Risalah ini memberi kesan bahwa al-Makassari benar-benar mengajarkan tarekat ini. Naskah antara lain berisi teknik-teknik meditasi dan ketentuan-ketentuan zikir sehingga tarekat ini menjadi tarekat yang pertama terkenal secara luas. Tarekat ini sudah ada di Indonesia dua abad sebelum Belanda mengenalnya untuk pertama kali. Ulama dan sufi Indonesia yang pertama sekali menyebut tarekat dalam tulisannya adalah Syaikh Yusuf al-Makassari.
Al-Makassari mempelajari Tarekat Naqsyabandiyah di Yaman melalui Syaikh Arab bernama Muhammad Abdul Baqi, walaupun kemudian belajar dan berguru lagi kepada tokoh Naqsyabandi terkenal lainnya di Madinah bernama Ibrahim al-Kurani (guru ini di Indonesia lebih terkenal sebagai seorang syaikh Tarekat Syattariyah yang mengirim Abdul Rauf Singkel sebagai khalifah untuk menyebarkan Tarekat Syattariyah di Indonesia). Selanjutnya ketika al-Makassari belajar di Damaskus, ia berguru dan berbaiat menjadi khalifah Tarekat Khalwatiyah dan mendapat ijazah untuk mengajar tarekat ini. Namun tarekat ini nanti hanya disebarkan kepada suku Makassar saja, sehingga secara etnis tarekat ini dikaitkan dengan suku ini. Barangkali dialah orang pertama yang memperkenalkan Tarekat Khalwatiyah di Indonesia. Di Sulawesi tarekat ini dihubungkan dengan namanya melalui “Si buta” yang merupakan salah seorang muridnya bernama Abdul Basir al-Dharir al-Khalwati yang lebih terkenal dengan nama Tuang Rappang I Wodi.
Syaikh Yusuf al-Makassari sebenarnya dibaiat oleh sejumlah tarekat dan memperoleh ijazah untuk mengajarkan Tarekat Naqsyabandiyah, Qadiriyah, Syattariyah, Ba’alawiyah, Khalwatiyah, juga mengaku pernah menjadi pengikut Tarekat Dasuqiyah, Syadziliyah, Chistiyah, ‘Aydarusiyah, Ahmadiyah, Kubrawiyah dan beberapa tarekat kurang terkenal lainnya. Ketika pulang ke Indonesia tahun 1670 dia mengajarkan ajaran spiritual yang dia sebut Khalwatiyah yang ternyata merupakan gabungan berbagai teknik spiritual Khalwatiyah dengan berbagai teknik yang dipilih dari tarekat-tarekat lainnya. Tarekat Khalwatiyah Yusuf ini sekarang mengakar di Sulawesi Selatan, terutama di kalangan para bangsawan Makassar.
Hampir satu abad kemudian orang Indonesia yang bermukim di Arab tertarik kepada ajaran Muhammad bin Abdul Karim al-Samman (w. 1775) di Madinah, pendiri Tarekat Sammaniyah yang merupakan gabungan Tarekat-tarekat Khalwatiyah, Qadiriyah dan Naqsyabandiyah dengan tarekat Afrika Utara Syadziliyah. Ia mengembangkan cara berzikir baru yang ekstatik dan menyusun sebuah ratib (bacaan yang mengandung doa-do’a dari ayat al-Qur’an) sendiri. Secara formal tarekat ini merupakan salah satu cabang Tarekat Khalwatiyah, dalam arti silsilah Samman hanya menyebut afiliasi Khalwatiyahnya melalui gurunya Musthafa al-Bakri, namun ia telah menjadi sebuah tarekat tersendiri, dengan zawiyah sendiri, dengan kelompok pengikut lokal ketika sang syaikh masih hidup. Murid Indonesia al-Samman yang paling terkenal adalah Abdul Shamad al-Palimbani, pengarang sejumlah kitab penting berbahasa Melayu. Beberapa ulama Palembang lainnya berafiliasi dengan tarekat ini sehingga tarekat ini mendapat kedudukan yang kokoh di kesultanan Palembang di mana Sultan Palembang menyediakan sejumlah dana untuk membangun zawiyah Samman di Jeddah.
Orang Indonesia yang bermukim di Arab sesudah syaikh Samman wafat belajar ke khalifahnya yang bernama Shiddiq bin Umar Khan. Salah seorang yang menyebarkan tarekat ini ke Indonesia adalah Nafis al-Banjari yang menulis karyanya al-Durr al-Nafis dalam bahasa Melayu, dan menyebarkan tarekat ini di Kalimantan. Nafis al-Banjari diketahui juga menganut berbagai tarekat lain seperti Qadiriyah, Syattariyah, Naqsyabandiyah, Khalwatiyah dan Sammaniyah.
Tarekat Tijaniyyah didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Muhammad al-Tijani (1150-1230 H/1737-1815 M) yang lahir di ’Ain Madi, Aljazair Selatan, dan meninggal di Fez, Maroko, dalam usia 80 tahun. Perkembangan yang cukup mencolok dari Tarekat Tijaniyyah ini ternyata dinilai dapat menyaingi otoritas Usmaniyyah sehingga al-Tijani dan para pengikutnya dipaksa meninggalkan Aijazair. Al-Tijani kemudian pindah ke Fez pada 1798, dan hidup di sana hingga wafat. Ketika bangkit gerakan Wahhabiyah yang memusuhi kaum sufi dan tarekat yang menjauhi dunia dan melestarikan tradisi penghormatan kuburan syaik-syaikh tarekat, Tarekat Tijaniyyah justru Iebih berkembang. Perkembangan tarekat ini semakin pesat terutama setelah mendapat dukungan dan penguasa Maroko, Maulay Sulaiman, yang berkepentingan mendekati al-Tijani untuk menghadapi persaingan dengan zawiyah-zawiyah para syarif yang dinilai dapat merongrong kekuasaannya. Tarekat Tijaniyyah masuk ke Indonesia di tahun dua puluhan, dan banyak mendapat pengikut terutama di Pulau Jawa.
Di Sulawesi Selatan Tarekat Sammaniyah bertemu dengan Tarekat Khalwatiyah Yusuf. Keduanya bersaing dan saling mempengaruhi sehingga menjadi tarekat Khalwatiyah Samman. Tarekat Khalwatiyah Samman ini telah berkembang menjadi sedikit berbeda dengan ritual cabang-cabang Sammaniyah lainnya di nusantara. Keanggotaannya terbatas pada kelompok etnis Bugis.
Qadiriyah wa Naqsyabandiyah merupakan tarekat gabungan serupa dengan Sammaniyah, yakni teknik-teknik spiritual Tarekat Qadiriyah dan Naqsyabandiyah menjadi unsur utamanya ditambah dengan unsur-unsur tarekat lain. Tarekat ini merupakan satu-satunya tarekat di antara tarekat-tarekat mu’tabarah, yang didirikan oleh ulama asli Indonesia Ahmad Khatib Sambas (Kalimantan Barat) yang lama belajar di Makkah dan sangat dihormati. Ia ahli dalam bidang fiqh, ajaran tentang ketuhanan dan amalan-amalan sufi. Ia mempunyai banyak pengikut, menjadi guru Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah yang menggantikan Tarekat Sammaniyah sebagai tarekat paling populer di Indonesia. Ketika ia wafat tahun 1873 atau 1875, khalifahnya, Abdul Karim dari Banten, menggantikannya sebagai syaikh tertinggi tarekat ini. Abdul Karim harus ke Makkah untuk menggantikan kedudukan sang syaikh. Dua orang khalifah utama lainnya adalah Kiai Thalhah dari Cirebon dan seorang Kiai Madura bernama Kiai Ahmad Hasbullah. Abdul Karim adalah pimpinan pusat terakhir tarekat ini. Sejak wafatnya tarekat ini terpecah menjadi sejumlah cabang yang masing-masing berdiri sendiri yang berasal dari ketiga orang khalifah tersebut.
Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah sekarang merupakan salah satu dari dua tarekat yang memiliki jumlah pengikut paling besar di Indonesia. Tarekat lainnya adalah Naqsyabandiyah Khahidiyah yang tersebar ke seluruh Indonesia berkat zawiyah yang didirikan oleh khalifah dan Maulana Khalid bernama Abdullah al-Arzinjani di Jabal Abu Qubais di Makkah. Para pengganti Abdullah, Sulaiman al-Qirimi, Sulaiman al-Zuhdi dan Ali Ridha mengarahkan penyebaran tarekatnya kepada orang-orang Indonesia yang mengunjungi Makkah dan Madinah dalam jumlah yang Iebih besar lagi selama dasawarsa terakhir abad ke-19. Ribuan orang dibaiat menjadi pengikut tarekat ini dan menjalani latihan selama berkhalwat di zawiyah tersebut. Di tempat ini pula lusinan orang Indonesia menerima ijazah untuk mengajarkan tarekat ini di kampung halamannya.
Tarekat Chisytiyah, sebuah tarekat kelahiran India. Syaikh Mu’in al-Din Chisyti (w. 1236) telah berhasil mempopulerkan tarekat ini keluar India. Di awal pendirinya, tarekat ini berideologi Sunni. Hal ini terbukti bahwa para sufi awal Chisti di India menjadikan ‘Awarifal-Ma’arif karya Syaikh Syihab al-Din Abu Hafs Umar Suhrawardi (539 H./1 145 M -632 H/i 234 M) sebagai kitab pegangan mereka. Kitab itu juga menjadi dasar bagi mereka para guru Chisytiyah dalam mengajar murid-muridnya. Selain ‘Awarif, Kasyf al-Mahjub karya al-Hujwiri juga sangat populer digunakan kaum Chisti. Syaikh Nizam al-Din Auliya sampai mengatakan, “Siapa pun (seorang salik) yang tak memiliki referensi spiritual, maka Kasyf al-Mahjub cukup baginya (untuk dijadikan pegangan). Selain kedua kitab di atas, Malfhuzat Syaikh Nizam al-Din Auliya, Syaikh Nashir al-Din Chiragi Dihli, Syaikh Burhan al-Din Gharib, Khwajah Bandah Nawaz Gizu Daraz, juga menjadi gagasan-gagasan yang kuat dan akurat bagi pembentukan ajaran Tarekat Chisytiyah.
Tarekat Mawlawiyah kelahiran Turki ini dikenal luas baik di negeri Muslim ataupun di Barat, terutama melalui ‘whirling darvish’nya. Maulana Jalal al-Din Rumi (w. 1273) dengan ‘Matsnawi’ nya, menjadikan puisi-puisi karangannya sebagai salah satu pusat inspirasi karya puitis spiritual. Seorang orientalis yang telah sangat berjasa dalam memperkenalkan Rumi ke dunia Barat adalah Reynold A. Nicholson yang telah bukan hanya mengedit secara kritis semua naskah matsnawi, tetapi juga menerjemahkan dengan baik seluruh naskah tersebut (sebanyak 6 buku) ke dalam bahasa Inggris. Demikian juga ia telah menerjemahkan dan menyeleksi dari Divani Syams-i Tabriz. Sedangkan karya Rumi yang lain, Fihi Ma Fihi, telah diterjemahkan oleh Arberry dengan judul Discourse of Rumi. Tokoh lain yang sangat berjasa dalam memperkenalkan Rumi ke dunia Barat adalah Prof. Annemarie Schimmel (w. 2003), yang telah menulis dengan penuh penghargaan dan kebanggaan tentang karya-karya Rumi, seperti 'l am Wind You Are Fire: The Life and Work of Rumi', dan 'The Triumphal Sun: A Study of the Works of Jalaludin Rumi'.
Tarekat Ni’matullahi, sebuah tarekat kelahiran Iran, dikenal di dunia Muslim Syi’i baik di tanah kelahirannya ataupun di dunia Barat. Tokoh tarekat ini di masa kontemporer sekarang yaitu Javad Nurbakhsy yang cukup produktif menulis karya-karyanya. Menurutnya Tarekat Ni’matullah saat ini mempunyai banyak pengikut di Amerika Serikat, Eropa, dan khususnya di Persia. Dalam spiritualitas Ni’matullahi dan disiplin-disiplin kontemplatif, tarekat Nimatullahi ini menekankan persaudaraan dan kesetaraan seluruh umat manusia, penghormatan tanpa prasangka pada semua di dunia ini, juga pengabdian dan cinta kepada sesama manusia tanpa mempedulikan perbedaan keyakinan, budaya, dan kebangsaan. Dalam tarekat ini praktik tasawuf bertujuan menciptakan karakter yang sangat etis dalam kepribadian lahiriah (zhahir), dan membimbing hati untuk menghimpun pelbagai kualitas dan keutamaan manusia serta mencapai pemahaman dan visi tunggal dan utuh dalam jiwa batiniah (bathin). Penyebaran tasawuf mestilah bertujuan membidik realitas Islam agar dapat dibangkitkan sikap cinta yang mampu menyatukan para pemeluk dari pelbagai agama dan keyakinan. Dengan energi tasawuf, segala perbedaan dan perselisihan sektarian dihilangkan, karena seorang sufi mengarahkan perhatiannya pada wilayah Keesaan Ilahi (tauhid), dan dari sudut pandang ini memandang setiap orang dalam persaudaraan dan persamaan.
Tarekat Sanusiyah yang didirikan oleh Muhammad bin ‘Ali al-Sanusi (1787-1859), pengarang kitab al-Salsabil al-Ma’infi al-Thara’iq al-Arba’in dan al-Masa’il al-’Ashar. Di antara literatur lainnya, melalui kitab ini sejumlah tarekat mu’tabarah disebut dan dijelaskan. Kedua kitab ini termasuk rujukan yang digunakan oleh Jam’iyah Ahlith Thoriqoh Mu’tabaroh An-Nahdliyyah. Trimingham mencatat bahwa beliau telah mendirikan sebuah zawiyah di Abu Qubais Makkah. Beliau terpaksa meninggalkan Makkah pada tahun 1840 dan kemudian tinggal di bukit yang bernama Jabal Akhdhar di daerah Cyrenaica.
Sumberhttp://sufinews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar