Perjalanan bersama Ilmu Amaliah dan Amal Ilmiah Menyambut Pecinta Kesucian jiwa mengarungi Lautan Tanpa Tepi Mencari Barokah dan Menabur Barokah untuk Sesama.

Senin, 23 Juli 2012


Seperti didalam kitab al-munqidz min al-dhalal (Pengetasan Kesesatan) adalah karya Imam Ghazali yang ia tulis sebagai memoar pengembaraan intelektual, dalam upaya menemukan titik-titik KENYAKINAN dari BISIK-BISIK KERAGUAN. Memoar itu ia maksudkan sebagai semacam motivasi untuk para Pencari: mesti bersungguh-sungguh dan pantang berhenti untuk menemukan apa yang ia cari, sampai ia tidak tahu apa yang harus dicarinya lagi. Dan semuanya itu ia lakukan lewat jalan pengembaraan Sufisme.

Pengembaraan intelektual Imam Ghazali bermula dari obsesinya mengetahui hakikat dari setiap sesuatu, dan itu mengharuskan adanya perangkat keilmuan yang ia sebut dengan al-ilmu al-yaqini; istilah abstrak untuk menyebut seperangkat keilmuan yang mampu menyingkap hakikat sesuatu, tanpa ada sisa-sisa keraguan dan kemungkinan kekeliruan.

Ia melakukan pencarian. Dalam tempo itu, ia sempat terperangkap dalam masa krisis intelektual. Hatinya terjebak oleh struktur intelektual yg ia bangun sendiri dengan argumentasi yang kuat, ia ingin berpaling dari struktur itu, namun ia belum memiliki argumentasi tandingan untuk melawannya. Baginya, melepaskan diri dari argumentasi mesti dengan argumentasi yg lebih argumentatif. Demikian bisik idealismenya, saat itu.

Seperti tercerahkan bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dijangkau hanya dengan nalar, argumentasi dan buku. Sebagaimana ia pikir saat menempuh jalan ilmu kalam dan filsafat, melainkan dengan kedalaman rasa(al-dzauq) dan laku raga(al-suluk).

Maka dari itu ia harus menemukan sandaran dan kendaraan baru untuk mengobati penyakitnya.

(”Apa yang bisa ditempuh dengan nalar telah aku jalani dan aku raih hasilnya, tidak ada yang tersisa, kecuali apa yang bisa ditempuh hanya dengan kedalaman rasa dan laku raga”).

Sejak saat itu Imam Ghazali mengubah arah haluan hidupnya dari orientasi intelektual yang serba nalar, argumentatif, dan tak lepas dari teks menjadi kecenderungan spiritual yang serba rasa.

(”Aku melihat, selama ini seonggok hatiku telah terikat pada tali-tali dunia. Aku mengamati, selama ini aktifitas mengajar dan mendidikku hanya berkutat pada keilmuan yang tak penting. Aku niti-niti, selama ini aktifitas mengajar dan mendidikku hanya termotivasi jabatan dan ketenaran. Aku menyaksikan diriku berada di tepi jurang yang runtuh(syafaa jurufhar). Sungguh, aku telah dekat dengan neraka.”)

Sang Imam hanya merenung dan merenung, meninggalkan semua aktifitasnya. Dari sinilah ia memulai titik baliknya. Hatinya yang rapuh ia rebahkan kepangkuan Tuhan, bersimpuh dihadapan-Nya mengemis perlindungan. Ia menikmati itu, dan dengan mudah memantapkan hati memalingkan syahwat dunia.
* * *
Satu dasawarsa mejalani laku suluk, tersingkap dalam dirinya hal-hal yang tak terkira, sampai ia pada kenyakinan, sufismem adalah jalan terbaik dan terbenar untuk sampai pada KESADARAN akan Tuhan. Gerak, diam, lahir, dan batin sufisme adalah binar cahaya kenabian( nur misykah al-nubuwwah).
Menurutnya, al-dzuaqa dal al-suluka adalah langkah awal yang pernah dilakukan para calon nabi, sebelum akhirnya mereka benar-benar menjadi nabi.
Keasyikan itulah yang ingin didapatkan oleh para sufi dengan al-dzuaqa tanpa harus menjadi nabi. Akhirnya jalan sufisme menjadi titik akhir pengembaraan Imam Ghazali.
Sumber: http://sufimedan.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar